"Ma-malam Yan. Aku kesini karena ingin menjenguk Fajar. Apa boleh?" tanya Slamet dengan ragu-ragu. Yana menoleh pada Bagas. Bagas menganggukkan kepalanya. "Boleh saja. Masuk saja dulu ke dalam," sahut Yana.Slamet mengangguk. Sejenak ragu untuk menyalami Yana dan Bagas atau tidak. Namun akhirnya, Slamet pun mengulurkan tangannya ke arah Bagas dan Yana.Bagas tetap terdiam dan masuk ke rumahnya dengan kaku, sementara itu Slamet mengikuti langkah kedua pasutri itu dengan canggung. "Duduk, Mas," tukas Yana basa basi. "Sebentar ya, aku bawa Fajar kesini."Slamet mengangguk dan segera duduk di sofa empuk di rumah Bagas. Sedangkan sang empunya langsung berlalu menuju kamar. Slamet memandang ke sekeliling ruang tamu rumah Bagas. Tampak besar dan indah. 'Kamu kayaknya hidup enak sekarang, Yan. Jauh daripada dibandingkan denganku,' batin Slamet minder.Rumah Bagas memang besar. Berbentuk L dan terdapat dua pintu depan. Bangunan yang menghadap utara digunakan untuk rumah Bagas dan Yana. S
"Berhenti! Fajar tidak akan kemana-mana!"Yana dan Slamet menoleh. Terlihat Bagas dengan langkah tegak melangkah ke arah Slamet. "Jangan bawa Fajar kemana-mana!" seru Bagas tegas. Slamet berdiri dari posisi jongkoknya dan memandang nyalang ke arah Bagas. Keduanya berhadapan. Wajah Ani tampak ketakutan. "Mbak, ayo kita pindahkan anak-anak ke kamar," pinta Yana. Ani mengangguk. Kedua perempuan itu lalu menggendong Fajar dan si kembar kembali ke kamarnya. "Tunggu. Mau dibawa kemana anakku? Aku masih ingin menggendongnya."Slamet berlari ke arah Yana untuk merebut Fajar. "Tunggu! Kamu sedang emosi. Tidak baik menggendong anak kecil saat hati sedang emosi," tukas Bagas sambil menahan bahu Slamet. Slamet menoleh. "Lepaskan! Tahu apa kamu tentang anakku? Akulah ayah kandungnya. Aku lebih berhak padanya. Kamu ayah sambung, nggak akan bisa menyayangi Fajar."Bagas tersenyum."Oke. Aku lepas."Bagas melepaskan cekalan tangannya dari bahu Slamet. "Apa kamu sadar kalau kamu telah melakuk
Bugh!Slamet mengayunkan tendangan kaki kanannya ke arah Bagas, dengan sigap Bagas menangkis tendangan yang diberikan oleh Slamet dengan mencengkeram betis lelaki kurus itu. Lalu Bagas memberikan pukulan siku pada tulang kering Slamet.Bugh!"Aargh!"Slamet berteriak keras. Bagas melepaskan kaki Slamet. Lelaki itu meringis kesakitan dan berjalan terhuyung."Jangan membuat gaduh di rumahku!" seru Bagas berkacak pinggang dengan satu tangan. Sedangkan tangan lainnya untuk menuding Slamet. "Kamu yang jangan sembarangan! Aku berhak terhadap anakku! Siapa kamu? Hanya bapak sambungnya saja belagu!""Apa kamu bilang? Kamu bapaknya Fajar? Jangan melawak ya?! Kemana saja kamu selama ini? Kamu tidak pernah memberikan perhatian, kasih sayang, dan uang untuk kebutuhan anak kamu. Dan sekarang kamu kesini dan mengklaim dia anak kamu? Udah nggak waras kamu? Atau jangan-jangan ada udang di balik batu sampai kamu mendadak mendekati Yana? Kamu benar-benar mencurigakan. Ada niat apa kamu kemari sekar
"Oh ya? Bagaimana caranya?" tanya Yana antusias. "Aku akan menyewa satpam dan memasang CCTV di sini. Kalau perlu aku akan memasang alarm maling di sini."Yana mendelik. "Memang perlu seekstrim itu ya?" tanya Yana bingung. "Tentu saja. Slamet itu makhluk paling berbahaya sekarang. Terlihat sekali dia mengincar kamu. Mungkin mengincar harta kita juga dengan memanfaatkan Fajar."Yana menghela nafas. "Maaf ya gara-gara aku, Mas Bagas dan Mama jadi bertemu dengan mas Slamet yang aneh.""Enggak apa-apa. Kamu dan Fajar memang harus dilindungi. Aku tidak keberatan untuk melindungi kalian berdua."Yana tersenyum dan memandang Bagas penuh cinta. Mamanya seketika berdehem."Duh manten baru. Dunia milik berdua ya? Yang lain ngontrak atau ngekost. Kalau mau ehem-ehem, nunggu Mama dan anak-anak tidur lah. Apa-apaan kalian ini," tegur Mama Bagas mengulum senyum.Bagas dan Yana tersipu dan tersenyum malu-malu. "Ya sudah. Kalau begitu ayo kita suapin anak-anak sampai kenyang biar tidur," tukas Bag
Pak Suryo terdiam dan terlihat berpikir.Lalu tak lama kemudian dia melihat Tita dari atas ke bawah dan mencebik. "Ck, kamu mencoba merayu saya ya? Saya sudah punya anak istri, tahu?!" Tita mendekat ke arah pak Suryo lalu menyentuh dada lelaki berusia 45 tahun itu. "Yah, barangkali aja bosen makan pecel terus pengen makan sate, ya kan?" tanya Tita mengedipkan sebelah matanya. "Emang kalau aku mau tidur sama kamu, kamu mau bunga berapa?" 'Yes, akhirnya kena kan kamu, Pak?! Gayanya tadi sok nggak mau,' batin Tita. "Yah, kalau bisa tanpa bunga dong. Yang penting dibayar kan?" Pak Suryo terlihat berpikir sejenak. Diam-diam lelaki itu menelan ludah melihat Tita yang bergaya memilin-milin rambutnya dengan duduk menopang kaki di atas meja. "Oke. Baiklah, kalau begitu deal ya? Aku akan menghilangkan bunga pembayaran atas pinjaman kamu. Tapi rahasiakan pada keluarga dan orang lain," tukas pak Suryo sambil menjilat bibir bawahnya sendiri. Mata Tita berbinar. Meskipun di dalam hatiny
"Astaga, kenapa istrimu bisa kemari, Pak? Bapak menjebak saya? Bapak mau saya digerebek dan dilaporkan ke polisi? Tega bener Bapak!" seru Tita dengan mata berkaca-kaca."Aku belum gila, Tita! Aku tidak memanggilnya kesini. Entah kenapa mendadak istriku kemari."Pak Suryo pun terlihat panik. Sedangkan Tita segera membetulkan bajunya yang masih amburadul. Ketukan di pintu berubah menjadi gedoran. "Mas! Kamu ngapain sih di dalam? Ada siapa? Kamu mencurigakan sekali! Buka pintunya, Mas!"Suryo memandang Tita yang juga memucat. Bayangan Tita tentang dia yang diseret dan dijambak tergambar jelas dalam kepalanya. "Pak, saya harus bagaimana?"Suryo berpikir cepat. "Kamu harus keluar lewat jendela. Sekarang!"Suryo membuka jendela di ruangannya. Jendela kaca besar dengan bingkai kayu. Jendela itu tanpa teralis. Tita mendelik. "Apa Bapak tega menyuruh saya untuk melalui jendela ini? Kenapa saya jadi seperti kucing?" protes Tita. "Woy, Mas Suryo! Kalau kamu tidak mau membukakan pintu, akan k
"Bagas, persiapkan dirimu untuk bertemu dengan pelakor cantik seperti aku!"Tita masuk ke dalam restoran Bagas lalu mengamati ruangan. Restoran Bagas cukup besar, namun didekorasi sederhana, sehingga warga menengah ke bawah bisa makan tanpa rasa malu dan warga menengah ke atas bisa datang tanpa rasa risih. "Permisi, silakan ini daftar menunya," sapa seorang pramusaji dengan ramah seraya menyodorkan kertas menu. Tita tersenyum sekilas dan mulai membaca satu per satu menu yang ada. "Mbak, apa pemilik restoran ini bernama Pak Bagas?" pancing Tita. "Iya Mbak, ada apa?""Oh, enggak apa-apa. Sepertinya saya kenal."Tita terus menatap lembar menu tersebut dan menuliskan menu yang diinginkannya. Lelah bercinta, membuatnya ingin melahap banyak makanan."Baiklah, ini menu yang saya pesan." Tita menyerahkan kertas menu yang telah bertuliskan pesanannya pada pramusaji. Pramusaji itu tersenyum dan pamit meninggalkan Tita. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sedang di
Tita menoleh dan tangannya mulai basah serta gemetaran mendengar kata-kata Bagas. "Kenapa kamu diam saja, Bu? Kalau hal ini adalah fitnah, saya tidak akan tinggal diam lo. Restoran saya ini merupakan peninggalan almarhum Ayah saya. Jadi saya tidak akan membiarkan ada orang yang merusak nama baik restoran ini!" tukas Bagas tegas. 'Baiklah. Kita coba cara ini. Siapa tahu bisa mendapat nomor telepon Bagas,' bisik hati Tita. "Saya memilih untuk melihat CCTV saja," sahut Tita tegas. "Baiklah. Saya minta satu orang karyawan saya dan satu orang pengunjung lain secara sukarela ikut ke ruangan saya sebagai saksi. Bagaimana? Siapa yang mau?"Beberapa pengunjung yang benar-benar penasaran akhirnya mengangkat tangannya dan menawarkan diri untuk menjadi saksi cctv. Akhirnya Bagas mempersilahkan Tita untuk memilih saksi diantara para pengunjung restoran. Akhirnya lima orang menuju ke ruangan Bagas dan mulai menyaksikan cctv yang menayangkan bagian ruang makan untuk para pengunjung.Dan sepert