Seperti perkataan Fathir, untuk sementara Luna tinggal di rumah Ibu untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan terjadi karena kurang pengawasan.
Hari ini tumben Luna bangun pagi sekali, rasa mual dan muntah yang dialami membuatnya susah tidur. Kali ini ia ingin sekali makan rujak buah pakai petis Madura. Dulu saat masih gadis, ia sering sekali makan rujak buah bersama teman-teman seprofesinya. Mengingat, kebanyakan temannya berasal dari berbagai daerah. Jadi jika salah satu dari mereka ada yang libur, maka wajib hukumnya balik bekerja harus membawa oleh-oleh khas daerah masing-masing.Karena Amoy, temannya yang berasal dari Madura itu sering pulang. Jadilah Luna sering kebagian petis Madura yang rasanya uhlalaaaaa. Tinggal belanja buah, jadi deh rujakan bersama. Seru sekali jika mengingat sebagian dari masa lalunya, walaupun kelam.Luna hampir saja meneteskan ludah, saat membayangkan makan rujak buah petis merah. Air liur menggenang di dalamLuna dan Frans saling berdebar-debar saat Fathir bersama teman-temannya lewat, terdengar riuh karena mereka saling bercanda. Luna dan Frans mematung membelakangi jalan, tak berani menoleh sedikitpun.Setelah dirasa aman, barulah keduanya kembali ke posisi semula. Luna dan Frans mengelus dada bersama, bernafas lega.Dibalik kaca mata hitamnya, Luna melihat Fathir Cs duduk di pojok, sedikit jauh darinya.Luna menghembuskan nafas panjang."Gilaaaa, rasanya tuh lebih heboh dari naik jetcoaster gak sih? Hampir copot nih jantung" Luna berbisik pelan ke arah Frans."Asli deh! Aku takut banget, mana dia bawa pasukan lagi. Merinding jadinya" Frans menyedot es tehnya hingga tandas."Yuk ah pulang, aku takut banget nih. Mumpung dia belum nyurigain kita" Luna beranjak berdiri, membalikkan badan dan langsung berjalan ke arah parkiran dengan langkah
Pov NingsihSaat ini seperti biasa, waktunya berkunjung ke rumah Ibu, Mas Rival sudah siap mengantarkanku dan Alea sebelum ia berangkat kerja.Aku juga mengajak Chintya untuk bergabung, tapi Chintya baru bisa menyusul besok karena Kiara sedang demam, Chintya takut merepotkan Ibu nantinya disana.Kami akan menginap dua hari seperti biasa.Sesampainya di rumah Ibu, aku melihat mobil Fathir sudah terparkir rapi di garasi. Apa mungkin Fathir juga menginap disini?, 'Aduh bakal ketemu lagi nih sama Luna' geramku dalam hati."Assalamualaikum," aku menggandeng Alea masuk ke dalam rumah Ibu."Waalaikumsalam" suara sahutan wanita dari dalam sangat kukenal, baru juga tadi aku bilang, makhluk astral satu itu rupanya sudah asyik rebahan di sofa sambil menonton TV. Berbagai macam buah tertata rapi di atas meja, tepat di samping sofanya.
Rival mengetuk pelan pintu kamar Ningsih, mencoba menjelaskan."Sayang, ayo buka dong pintunya"Ningsih tak menyahut, tentu saja ia kesal bukan main."Ningsih, Mas mau jelasin semuanya. Tapi pintunya buka dulu ya?"Cklek.....Suara pintu terbuka dari dalam, Rival masuk dan menutup kembali pintu kamar."Ningsih sayang, Mas gak ada maksud apa-apa. Soal omongan Mas ke Luna, Mas sungguh minta maaf. Kalimat itu meluncur begitu saja, waktu Mas nolongin Luna tadi itu dia menangis kakinya terkilir, Mas cuma bilang kalau lebih baik tersenyum daripada menangis. Senyum bikin keliatan jadi manis, itu semata untuk menghibur saja. Sama sekali gak ada maksud atau tujuan lain. Kamu yang bener aja, aku masij tau batesan dong. Luna kan istri Fathir, adik ipar aku. Aku niat tulus cuma pingin bantuin dia aja sekaligus menghibur tadi. Kamu tau juga kan bawaan Ibu hamil gimana? Mas cuma kasihan aja
Saat tersadar, Luna sudah berada di ruangan serba putih, bau khas obat-obatan tercium sangat tajam. Luna mengingat samar apa saja yang sudah teradi padanya.Setelah tersadar sempurna, Luna melihat Fathir yang tertidur sambil duduk memegangi tangannya.Luna memandang Fathir dengan tatapan sendu, ada sedikit nyeri di hatinya, merasa bersalah sekali sudah menghianati orang sebaik dan se sempurna suaminya ini.Luna mengingat dengan jelas apa yang sudah terjadi, lidahnya kelu. Matanya menatap Fathir dengan sendu, dielus lembut rambut Fathir yang tak begitu banyak.Fathir segera terbangun saat terasa kepalanya disentuh seseorang. Ia mendongak dan bergegas terseyum menatap Luna yang telah siuman. Ada sedikit kekhawatiran tercetak di matanya."Alhamdulillah Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Mas khawatir banget sama kamu, jangan capek-capek lagi dan jangan sampai stres. Untung anak kita kuat, anak yang hebat" ujar Fat
"Sejak kapan, Mas?" Ningsih menatap tajam sosok lelaki yang tengah bersimpuh di depannya."Maaf, sungguh maafin aku. Aku khilaf, kamu harus paham satu hal Sayang, aku sama Luna hanya teman main, sebatas untuk hiburan saja, tak lebih. Itupun jauh sebelum Luna kenal dan menikah dengan adikmu, Fathir" Rival masih saja menggenggam kedua tangan Ningsih, berlutut untuk meyakinkan istrinya."Aku hanya tanya sejak kapan, Mas?" kembali Ningsih mengulangi pertanyaannya."Ssee..sejak kamu hamil Alea, maafkan aku Ningsih, ampuni aku. Aku memang khilaf" ucap Rival dengan serak."Berapa kali?" tanya Ningsih dingin.Rival mendongak, bingung akan pertanyaan Ningsih, Rival hanya mengedikkan bahu.Ningsih terkekeh, mencoba menyembunyikan tangis yang sebentar lagi akan pecah."Kamu bilang khilaf, Mas? Tapi kamu tidak tau sudah berapa kali melakukannya. Itu doyan, Mas
Hari Minggu telah tiba, seperti yang tersusun dalam rencana. Keluarga besar Basuki tengah berkumpul bersama.Ningsih datang bersama Rival dan Alea, memakai polo couple berwarna coklat muda. Terlihat Chintya juga datang bersama Arif dan Kiara yang asyik menjilati ice cream varian vanilla.Mereka menunggu kedatangan Fathir dan Luna untuk memulai acara makan-makan. Tak sampai dua puluh menit menunggu, akhirnya Fathir datang bersama Luna. Fathir tampak macho dengan kaos hitam polos dipadu kemeja flanel dan celana jeans berwarna light blue, auranya terlihat seperti remaja yang baru saja lulus sekolah. Serasi dengan Luna yang memakai dress slimfit panjang berwarna hitam dipadu cardigan bermotif floral, rambutnya dicepol membuatnya semakin terlihat cantik."Karena semua udah kumpul, ayo kita makan dulu" Ningsih mengajak semua untuk berkumpul di meja makan.Tersedia aneka lauk, buah, sayur
Semua tergopoh-gopoh membopong Luna ke dalam kamar, mereka tampak khawatir, kecuali Fathir. Lelaki yang beberapa menit lalu masih perhatian dan penuh kasih sayang, kali ini tak lagi peduli. Hanya amarah dan kebencian yang terlihat dari sorot matanya. Ia sungguh kecewa besar dengan apa yang sudah dilakukan Luna padanya.Memang benar jika kecewa levelnya jauh lebih tinggi diatas marah, terbukti dengan Fathir saat ini, bahkan tak berniat sedikit pun melihat kondisi Luna.Ibu dengan cekatan membalur tubuh Luna dengan minyak kayu putih dan memijitnya lembut. Beliau sangat khawatir dengan kondisi Luna, teruma calon cucunya. Ningsih juga tak tinggal diam, ia mengoleskan minyak angin di hidung Luna, berbagai upaya dilakukan, namun Luna tak kunjung sadar.Chintya menemui Fathir yang sedang duduk melamun di ruang tamu."Thir, sebaiknya kita bawa saja Luna ke rumah sakit, ya?" tawar Chintya dengan lembut.
Luna gelisah di dalam kamar bernuansa coklat muda. Ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik jam dinding yang tergantung tepat di atas pintu. Sudah larut malam Fathir tak kunjung pulang, ponselnya pun tak aktif. Luna khawatir akan kondisi Fathir, ia takut Fathir tak terkontrol di luar sana karena sakit hati akibat perbuatannya.Kembali Luna melihat arah jarum yang berjalan di angka sebelas, Luna keluar dari kamar menuju ruang tamu, berniat menunggu Fathir disana.Luna tak bisa tidur, matanya enggan terpejam. Padahal tubuhnya letih, ingin rebahan. Namun, dorongan dalam hatinya lebih kuat untuk tetap menunggu Fathir pulang.Satu jam kemudian...Terdengar deru motor memasuki garasi, Luna mengu