Lea menoleh bergantian antara Vin dan Dani. Tentu saja harus memilih diantara keduanya secepat mungkin.Dani sudah geber knalpot, hingga meraung seperti akan berlari lagi, sedangkan di belakang Vin, suara klakson bergantian dari kendaraan yang terhalang jalan mobil berCC besar milik Vin, sudah bersaing bersautan agar menyingkir."Saya...sudah sama Dani, Pak...maaf." Lea beri anggukan hormat, lalu menutupkan pintu mobil, sebelum akhirnya mundur, untuk memberi jalan bagi beberapa motor yang ingin gunakan jalur kiri mobil Vin untuk menyalip.Napas Lea tertahan, Vin kemudikan mobilnya bagai kesetanan. Sudah tentu, atasannya telah luapkan kekecewaan lewat tindakannya ini."Lea...ayo!" ajak Dani, lewat goyangan lembut di pundak, untuk pecahkan lamunan Lea, membeku, menatap mobil Vin yang mulai menjauh. "Keburu hujan," tambah Dani, agar Lea bergegas."Ok," sahut Lea lemah, lalu naik ke atas boncengan motor. Selama perjalanan, Lea banyak diam, hanya menyahuti pertanyaan Dani singkat-singkat
Setelah selesai makan, Dani masih tampakkan ekspresi kaku. Bila dulu saat masih berpacaran, situasi seperti ini, Lea akan jadi pihak yang di tuntut untuk peka, tapi setelah perasaan cinta itu mulai pudar larena kecewa, tentu akan membuat Lea sulit melakukannya."Dan, jangan marah dong. Kita masih bisa jadi teman. Aku butuh kamu, dan kamu juga bisa andalkan aku," ucap Lea, agar Dani mau mengerti.Dani berikan helm pada Lea, setelah membayar uang parkir pada penjaga dan berbasa- basi sebentar.Dahulu, area wisata kuliner pinggir jalan itu adalah tempat dimana keduanya mencari makan malam, sembari berbagi cerita. Tempat yang sama, namun waktu dan masalah berbeda, jadikan keduanya harus berdamai dengan keadaan."Aku kecewa sama kamu." Dani masih saja memperpanjang bahasan. "Tega banget sama aku. Itu semua karena posisiku jauh lebih rendah dari Presdir V--""Dan!" selaan bernada bentakan Lea. "Aku tidak mencintai Pak Vin. Dia kuanggap atasan saja.""Benarkah? Tapi ok. Bagiku, itu sudah j
"Kok anda disini, sih?"Satu alis Vin terangkat, heran."Memangnya kenapa kalau aku kesini? Nggak boleh? Pertanyaan yang aneh." Meskipun isi pertanyaannya berkesan respon tersinggung dan amarah Vin, tapi nadanya lembut, bukan seperti Vin biasanya.Lea sadar, keberadaan ibunyalah yang membuat Vin mendadak jadi kalem begini."Soalnya...tadi itu...saya lihat ada tamu mau ke kondominium bapak." Lea ungkapkan setengah terpaksa, karena sudah terlanjur dapat omelan, meski sedikit malu. Vin sempat pernah menggodanya, saat mereka berdua membahas soal Aida."Oh, Aida." Jawaban singkat dan tenang dari Vin, justru membuat Lea terkejut."Iya, gadis yang bernama Aida itu yang saya lihat.""Pak Vin. Mari kalau mau nambah lagi makannya. Lea ternyata sudah makan. Masih banyak, kok." Sarah menyela pembicaraan dari bibir sekaligus bahasa batin antara Vin dan Lea.Lea segera mengarah pada meja makan depan dapur, lalu ke meja ruanh tamu. "Pak Vin habis makan?" tanya Lea dengan polosnya."Memang nggak b
Siapa yang nggak akan kaget, bila mendengar kata 'penyakit mental' dimana sebagian orang awam akan mengira sebagai sebutan 'gila.'"Kok bisa?!" pekik Lea."Ya bisa! Kamu gimana nanyanya. Lha kamu sendiri, kenapa bisa begitu? Punya penyakit plonga-plongo, hah hih huh, apa-apa nggak langsung ngerti kalau belum diterangin, itu gimana kamu jelasinnya, hah?!" semprot Vin, kembali pada sifat aslinya.Lea sampai mundurkan kepala, karena sahutan keras Vin ini. Satu hal yang akhirnya Lea sadari, Vin jadi terbuka seperti ini, hanya dilakukan didepannya, kala berduaan saja. Vin justru akan alami kecemasan, atau ketidakberdayaan komunikasi bila itu berhadapan dengan wanita-wanita agresif dan terobsesi padanya.Apa ini yang dinamakan sebagai bentuk kenyamanan? Entahlah, Lea belum kepikiran sampai kesana. Tapi paling tidak, kalau memang benar, Lea jadi tersanjung, karena gadis polos nan biasa seperti dirinya ini, bisa mengalahkan para wanita dengan label 'high class.'Memang ada benarnya, kadangk
Aku nggak salah dengar, kan? batin Lea. Suami kontraknya ini mengharapkan bayi darinya?"Anda sakit mental, cuma karena pengen punya anak?" pertanyaan polos Lea dikala kalut, antara terkejut dan takut gagal memahami maksud Vin. "Memang ada ya, sakit psikologis begituan?" imbuhnya.Vin hela napas kesal, ditatap tajam Lea dengan tinggi badan hanya sebatas dadanya ini."Lea. Bisa nggak sih, setelan otakmu ini di upgrade?" gerutunya. "Tidak tahukah kamu, bagaimana bingungnya aku, mencari cara dan waktu tepat buat tanyakan ini padamu? Sampai Aida harus jauh-jauh terbang dari Italia ke Indonesia, cuma ingin bantu aku bisa katakan ini padamu!" tambah Vin lantang. Keseriusannya, seperti hanya ditanggapi Lea dengan tanggapan pikiran pendek saja. "Ma ma maaf.""Bisa nggak sih, kamu itu lebih berpikir dewasa? Jangan jadi gadis lagi, jadilah wanita dewasa!" sembur Vin geregetan. Sikap arogannya secara spontan keluar.Untuk beberapa detik, suasana hening, baik Lea maupun Vin belum keluarkan ucapan
Setelah mendekati lantai trmpat unitnya berada, Lea bergegas berdiri, mengusap air mata dari balik kacamata, terpaksa dengan ujung lengan kemeja dalaman blazernya.Lea berikan senyuman pada seorang office girl yang berpapasan dengannya, sebagai pemanasan menutup tangisan sebelum bertemu ibunya.Tidak seperti sebelumnya, Lea tak terlalu antusias ketika menekan bel unit apartemen yang sekarang jadi tempat tinggalnya.Setelah Sarah membukakan pintu, Lea langsung ngelonyor berniat ke kamar barunya."Aku ngantuk, Ma," ucapnya menutupi, tapi upayanya tidak berhasil, karena Sarah menahan lengannya."Sebentar saja, Sayang. Mama pengen bicara sama kamu dulu."Lea menoleh malas, kedua matanya di tutup separuh untuk menguatkan dramanya. "Mau obrolin apa, Ma? Sudah malam nih, besok harus⁰ kerja. Hari jumat, biasanya banyak kerjaan, soalnya mau libur," alasan Lea."Eh, Mama pengen tanya-tanya soal Pak Vin."Lea lepaskan genggaman Sarah, perlahan lalu ditepuk-tepuk punggung tangan ibunya."Nggak
"Nggak mau! Nggak mau!"Sambil berteriak histeris, Lea berlari ke arah kamarnya lagi, tanpa koper yang segera dilemparkan begitu saja. Meskipun Vin pernah menidurinya dan beberapa kali dicumbu, tapi Lea masih saja kikuk bila harus berhadapan dengannya dalam kondisi setengah telanjang begini.Di area meja makan, Vin tak bisa menahan ketawa, meski sudah coba disembunyikan dengan menunduk ke arah piring, berniat mengambil satu suapan, namun terpaksa dibatalkan."Maaf, Pak. Begitulah Lea. Kadang masih kayak anak kecil. Saya juga heran, anak itu kapan dewasanya, mungkin karena anak tunggal, jadi manja," ujar Sarah meminta maklum untuk putrinya."Tak apa, tapi jadi rame kalau ada Lea," jujur Vin, meletakkan sendok dan garpu, karena tak kuasa menahan tawanya. "Memangnya kalau dikantor bagaimana, Pak? Apa masih suka bawel sama membantah?" Sarah jadi penasaran dengan keluhan yang pernah sempat Vin ucapkan.Vin gelengkan kepala, seraya tersenyum memberi jawaban pembelaan, "Sudah tidak lagi, mu
Namun, baru saja Lea akan mendatangi Vin, pintu serambi tempatnya berada terbuka, Lea segera0 mundur, lalu berikan sapaan hormat."Sekretaris Li. Selamat pagi," sambut Lea pada pria bermata eksotis dan merupakan salah satu orang yang paling berpengaruh di kerajaan bisnis keluarga Dharmawan."Pagi," balas Sekretaris Li. Berbeda dengan orang berposisi tertinggi di perusahaan, tangan kanannya ini cenderung kebalikan dari Vin. Sekretaris Li lebih hangat, meskipun mempunyai kesan lebih pendiam dan misterius.Kesempatan bagi Lea untuk mengikuti Sekretaris Li masuk ke dalam, dan berusaha mencari perhatian Vin. "Bisa saya buatkan sesuatu? Kopi? Teh?" penawaran Lea pada sang sekretaris mendiang Presdir Anthony."Well, boleh kalau itu kopi pahit.""Baik, Sekretaris Li...lalu anda, Pak?" Lea beralih pada Vin.Vin berikan gelengan, tapi kata itu tertuju pada Sekretaris Li."Mana dokumen yang ku minta?" pintanya dingin, bahkan tak sedikitpun menoleh pada Lea.Merasa dianggurin, Leapun berpamitan