Siapa yang nggak akan kaget, bila mendengar kata 'penyakit mental' dimana sebagian orang awam akan mengira sebagai sebutan 'gila.'"Kok bisa?!" pekik Lea."Ya bisa! Kamu gimana nanyanya. Lha kamu sendiri, kenapa bisa begitu? Punya penyakit plonga-plongo, hah hih huh, apa-apa nggak langsung ngerti kalau belum diterangin, itu gimana kamu jelasinnya, hah?!" semprot Vin, kembali pada sifat aslinya.Lea sampai mundurkan kepala, karena sahutan keras Vin ini. Satu hal yang akhirnya Lea sadari, Vin jadi terbuka seperti ini, hanya dilakukan didepannya, kala berduaan saja. Vin justru akan alami kecemasan, atau ketidakberdayaan komunikasi bila itu berhadapan dengan wanita-wanita agresif dan terobsesi padanya.Apa ini yang dinamakan sebagai bentuk kenyamanan? Entahlah, Lea belum kepikiran sampai kesana. Tapi paling tidak, kalau memang benar, Lea jadi tersanjung, karena gadis polos nan biasa seperti dirinya ini, bisa mengalahkan para wanita dengan label 'high class.'Memang ada benarnya, kadangk
Aku nggak salah dengar, kan? batin Lea. Suami kontraknya ini mengharapkan bayi darinya?"Anda sakit mental, cuma karena pengen punya anak?" pertanyaan polos Lea dikala kalut, antara terkejut dan takut gagal memahami maksud Vin. "Memang ada ya, sakit psikologis begituan?" imbuhnya.Vin hela napas kesal, ditatap tajam Lea dengan tinggi badan hanya sebatas dadanya ini."Lea. Bisa nggak sih, setelan otakmu ini di upgrade?" gerutunya. "Tidak tahukah kamu, bagaimana bingungnya aku, mencari cara dan waktu tepat buat tanyakan ini padamu? Sampai Aida harus jauh-jauh terbang dari Italia ke Indonesia, cuma ingin bantu aku bisa katakan ini padamu!" tambah Vin lantang. Keseriusannya, seperti hanya ditanggapi Lea dengan tanggapan pikiran pendek saja. "Ma ma maaf.""Bisa nggak sih, kamu itu lebih berpikir dewasa? Jangan jadi gadis lagi, jadilah wanita dewasa!" sembur Vin geregetan. Sikap arogannya secara spontan keluar.Untuk beberapa detik, suasana hening, baik Lea maupun Vin belum keluarkan ucapan
Setelah mendekati lantai trmpat unitnya berada, Lea bergegas berdiri, mengusap air mata dari balik kacamata, terpaksa dengan ujung lengan kemeja dalaman blazernya.Lea berikan senyuman pada seorang office girl yang berpapasan dengannya, sebagai pemanasan menutup tangisan sebelum bertemu ibunya.Tidak seperti sebelumnya, Lea tak terlalu antusias ketika menekan bel unit apartemen yang sekarang jadi tempat tinggalnya.Setelah Sarah membukakan pintu, Lea langsung ngelonyor berniat ke kamar barunya."Aku ngantuk, Ma," ucapnya menutupi, tapi upayanya tidak berhasil, karena Sarah menahan lengannya."Sebentar saja, Sayang. Mama pengen bicara sama kamu dulu."Lea menoleh malas, kedua matanya di tutup separuh untuk menguatkan dramanya. "Mau obrolin apa, Ma? Sudah malam nih, besok harus⁰ kerja. Hari jumat, biasanya banyak kerjaan, soalnya mau libur," alasan Lea."Eh, Mama pengen tanya-tanya soal Pak Vin."Lea lepaskan genggaman Sarah, perlahan lalu ditepuk-tepuk punggung tangan ibunya."Nggak
"Nggak mau! Nggak mau!"Sambil berteriak histeris, Lea berlari ke arah kamarnya lagi, tanpa koper yang segera dilemparkan begitu saja. Meskipun Vin pernah menidurinya dan beberapa kali dicumbu, tapi Lea masih saja kikuk bila harus berhadapan dengannya dalam kondisi setengah telanjang begini.Di area meja makan, Vin tak bisa menahan ketawa, meski sudah coba disembunyikan dengan menunduk ke arah piring, berniat mengambil satu suapan, namun terpaksa dibatalkan."Maaf, Pak. Begitulah Lea. Kadang masih kayak anak kecil. Saya juga heran, anak itu kapan dewasanya, mungkin karena anak tunggal, jadi manja," ujar Sarah meminta maklum untuk putrinya."Tak apa, tapi jadi rame kalau ada Lea," jujur Vin, meletakkan sendok dan garpu, karena tak kuasa menahan tawanya. "Memangnya kalau dikantor bagaimana, Pak? Apa masih suka bawel sama membantah?" Sarah jadi penasaran dengan keluhan yang pernah sempat Vin ucapkan.Vin gelengkan kepala, seraya tersenyum memberi jawaban pembelaan, "Sudah tidak lagi, mu
Namun, baru saja Lea akan mendatangi Vin, pintu serambi tempatnya berada terbuka, Lea segera0 mundur, lalu berikan sapaan hormat."Sekretaris Li. Selamat pagi," sambut Lea pada pria bermata eksotis dan merupakan salah satu orang yang paling berpengaruh di kerajaan bisnis keluarga Dharmawan."Pagi," balas Sekretaris Li. Berbeda dengan orang berposisi tertinggi di perusahaan, tangan kanannya ini cenderung kebalikan dari Vin. Sekretaris Li lebih hangat, meskipun mempunyai kesan lebih pendiam dan misterius.Kesempatan bagi Lea untuk mengikuti Sekretaris Li masuk ke dalam, dan berusaha mencari perhatian Vin. "Bisa saya buatkan sesuatu? Kopi? Teh?" penawaran Lea pada sang sekretaris mendiang Presdir Anthony."Well, boleh kalau itu kopi pahit.""Baik, Sekretaris Li...lalu anda, Pak?" Lea beralih pada Vin.Vin berikan gelengan, tapi kata itu tertuju pada Sekretaris Li."Mana dokumen yang ku minta?" pintanya dingin, bahkan tak sedikitpun menoleh pada Lea.Merasa dianggurin, Leapun berpamitan
Setelah dari pantry, tantangan Lea sebelum kembali ke ruangannya adalah melewati kumpulan meja para pegawai di area tengah, yang hampir kesemuanya adalah wanita."Itu Lea?" ujar salah seorang diantaranya, secara terang-terangan, bahkan terdengar oleh Lea sendiri. "Wih, pasti tiap malam servis pak presdir itu, jadi langsung kinclong begitu," cibirnya, sengaja membuat kuping Lea panas, sekaligus pemantik."Ya kali, mana mungkin bisa beli, kalau gaji pertama naik jabatan saja baru minggu depan. Ya, nggak guys?" timpal yang lain, menambah tersulutnya bara api."Betul!" jawaban hampir serentak, membuat langkah Lea sempat gontai.Kalaupun ada prasangka, dia mendapatkan semua ini karena dugaan pernah tidur dengan Vin, memang itu benar adanya, Lea tak bisa kesampingkan itu, bahkan untuk berbalik dan menyangkal, Leapun tak sanggup.Yang Lea bisa lakukan saat ini, hanya bisa bersikap acuh,, untuk terima kenyataan, dan berharap bisa hadapi ke depannya.Lea sengaja membuka pintu ruangan serambi
Waktu jam makan siang menjelang, Lea segera berdiri setelah Bin terlihat keluar dari ruangan hanya berbatas kaca besar."Selamat makan siang, Pak," ucap Lea, ketika Vin menutup pintu kaca, tanpa menatapnya."Hmm."Lea kembali duduk. Pintu keluar belum dibuka Vin, tapi dari jawabannya, sudah membuat Lea memutuskan tak menunggu atasannya ini sampai meninggalkan ruangan.Vin berdehem sekali, tapi lumayan kencang."Iya, Pak?" reaksi Lea. "Apa ada yang tertinggal?" tanyanya datar."Sejak kapan aku mau ketemu klien, asistenku ga ikut?"Lea gelagapan, diraih dua tas wajib dibawanya, sebelum akhirnya berdiri, sebelum Vin ngomel lebih panjang, jadi dia memilih pergi tanpa persiapan.Selama berjalan didepan banyak orang, Lea memilih disamping belakang, daripada bersanding seperti biasanya.Uring-uringan?Tentu saja. Gelagat ala wanita, bila diperlakukan tak sesuai harapan, padahal sudah berusaha keras membuat suasan lebih baik, justru ditanggapi Vin dingin, membuat Lea masih tak mampu menutup
Vin tangkup wajah Lea dengan kedua tangannya, lalu didekatkan untuk dicumbu bibir mungil nan menggoda milik Lea.Ujung bibir Vin tertarik, ketika bisa rasakan bagaimana respon Lea pada aksi memulai membakar hasratnya ini, ternyata ditanggapi tak kalah agresifnya.Tidak seperti biasanya, Lea memang telah memejamkan kedua matanya, tapi kali ini ia juga ikut memberi percikan bara hasrat agar semakin tersulut untuk keduanya.Lea sambut pagutan Vin dengan menekankan bibirnya, kedua tangannya beralih ke pundak Vin, lalu beringsut mengalungkan keduanya dibelakang leher Vin."Saya benci anda!" ucap Lea lirih tapi bermuatan ujaran buruk.Vin jauhkan wajahnya, terkejut tiba-tiba."What?!" sahut Vin tajam. "Apa maksudmu?" Vin jeda terlebih dulu hasratnya, karena ucapan Lea barusan."Kenapa anda begitu jahat pada saya? Padahal saya nggak pernah jahat sama anda?" Momen intim ini, Lea manfaatkan untuk ungkapkan kekesalannya hampir seharian ini.Tangan Vin beralih pada rambut bagian depan Lea, yang