Vin berjalan bergegas ke arah kantor, tapi saat dilobby, sengaja diperlambat, untuk berbicara dengan Morgan."Yes, tuan muda?" respon cepat Morgan."Kamu tidak perlu melakukannya, Morg," ucap Vin kecewa.Morgan merunduk, meminta maaf."Saya lakukan itu, karena tidak tega dengan anda. Tidak sepatutnya anda diperlakukan seperti telah lakukan dosa besar, padahal an--""Tapi kamu lakukan itu kalau aku sedang bersama wanita, bukannya lagi berdebat sesama pria," sahut Vin lirih dan geregetan."Sekali lagi maaf, tuan muda." Vin dan Morgan, memiliki kebiasaan unik, dimana Morgan dituntut peka, bila Vin sedang dalam masalah argumentasi dengan seseorang, terutama wanita.Morgan akan ikut ambil skenario, dengan memberikan ponsel pada Vin, dengan alasan sekretaris Li sedang menelpon, dengan tujuan, membantu Vin keluar dari situasi tak mengenakkan, misalnya si wanita menuntut kejelasan hubungan dengan Vin, atau saat kencan buta yang membosankan."Tapi saya tidak menyukai pegawai pria anda tadi,
"Oh, rasanya lelah banget, tapi puas!"Lea dan Winda bersamaan menoleh ke asal suara. Terpenggal sudah pembicaraan yang masih menyisakan jawaban belum Lea berikan."Natalie," lirih Winda tak suka, bahkan sebelum gadis seumuran Lea tersebut belum sepenuhnya masuk ke dalam. "Yuk, Lea. Kita keluar," ajak Winda kemudian.Wangi harum semerbak tercium, ketika perfume branded yang dipakai Natalie sesuai dengan statusnya sebagai anak orang kaya."Eh, tunggu! Kebetulan, nih!" Natalie bukan saja memberi sapaan meremehkan, tapi juga sebuah perlakuan diluar dugaan, dimana bagian ujung rambut ekor kuda Lea ditarik, lalu didekatkan padanya, hingga Lea terpekik kesakitan."Awww!" keluh Lea."Hei! Apa-apaan, kamu?! Iri ya iri, tapi nggak usah main kasar begini, dong!" amarah Winda, tak terima sahabatnya diperlakukan seperti aksi perundungan ala gadis remaja belum dewasa.Natalie tak menggubris, tapi berbicara lirih didekat telinga Lea."Kalau kamu berontak, maka pernikahan kontrakmu dengan Vin, aka
Sore telah menjelang. Setelah pekerjaan selesai, Vin memanggil Lea dan Natalie ke dalam ruangannya.Cahaya temaram dari langit mendung diluar ruangan Vin yang hanya tertutupi vitrase setengah, jadi seperti cerminan kelamnya ketakutan dari dua gadis di hadapan Vin ini."Coba jelaskan, apa ini?" pertanyaan yang Vin lontarkan memanglah pelan, tapi Natalie tetap berjingkat kaget. Hal ini dikarenakan suara hentakan dari flash dish yang dilemparkan Vin ke arah tengah meja, dari genggamannya.Natalie ketakutan setengah mati. Kalau sudah dalam kondisi seperti ini, Vin bagaikan seekor singa lapar, yang siap melahap mangsa."Vin...please...aku lakuin semua ini cuma demi kamu." Natalie mulai terisak. "Kamu tahu aku sangat mencintaimu...aku merasa frustasi, karena kamu selalu acuhkan aku...kamu seperti anggapku tak ada," perih Natalie tercurah dalam sesenggukan tangisan.Lea menoleh, berikan simpati dengan menundukkan kepala. Lea bisa rasakan bilamana diposisi Natalie beserta keluhannya saat ini.
'Bila kau lelah...di jalanmu...tetaplah melangkah... ku bersamamu.'Ucapan Vin jadi kepasrahan Lea, membiarkan diri dalam rengkuhan atasan sekaligus suami kontraknya.Persetan, bila Vin telah memberinya label 'lemah' karena sesungguhnya, itulah yang selalu Lea alami ketika tubuhnya tersentuh oleh Vin.Malam pertama sialan! umpatan yang seringkali memenuhi pikiran Lea. Dimana, satu kesalahan sudah membuat hidupnya jadi jungkir balik, bahkan di luar bayangannya selama ini.Dani. Lea kira, pria itu adalah pemilik hati dan masa depannya, namun meski sudah berusaha buka kesempatan untuk mantannya tersebut, tapi Lea masih saja tak bisa kesampingkan keberadaan seorang atasan arogan bernama Vincenzo."Pak...sudah...sore," ucap Lea terpaksa, tak ingin berlarut dalam gairah yang sudah Vin gugah.Lea letakkan kedua telapak tangannya berada di dada Vin. Meski bukan mendorong paksa, tapi Lea ingin ini di jadikan pertanda, agar Vin menjauh, menyudahi cumbuannya."Please," hibah Lea terengah-engah,
Lea menoleh bergantian antara Vin dan Dani. Tentu saja harus memilih diantara keduanya secepat mungkin.Dani sudah geber knalpot, hingga meraung seperti akan berlari lagi, sedangkan di belakang Vin, suara klakson bergantian dari kendaraan yang terhalang jalan mobil berCC besar milik Vin, sudah bersaing bersautan agar menyingkir."Saya...sudah sama Dani, Pak...maaf." Lea beri anggukan hormat, lalu menutupkan pintu mobil, sebelum akhirnya mundur, untuk memberi jalan bagi beberapa motor yang ingin gunakan jalur kiri mobil Vin untuk menyalip.Napas Lea tertahan, Vin kemudikan mobilnya bagai kesetanan. Sudah tentu, atasannya telah luapkan kekecewaan lewat tindakannya ini."Lea...ayo!" ajak Dani, lewat goyangan lembut di pundak, untuk pecahkan lamunan Lea, membeku, menatap mobil Vin yang mulai menjauh. "Keburu hujan," tambah Dani, agar Lea bergegas."Ok," sahut Lea lemah, lalu naik ke atas boncengan motor. Selama perjalanan, Lea banyak diam, hanya menyahuti pertanyaan Dani singkat-singkat
Setelah selesai makan, Dani masih tampakkan ekspresi kaku. Bila dulu saat masih berpacaran, situasi seperti ini, Lea akan jadi pihak yang di tuntut untuk peka, tapi setelah perasaan cinta itu mulai pudar larena kecewa, tentu akan membuat Lea sulit melakukannya."Dan, jangan marah dong. Kita masih bisa jadi teman. Aku butuh kamu, dan kamu juga bisa andalkan aku," ucap Lea, agar Dani mau mengerti.Dani berikan helm pada Lea, setelah membayar uang parkir pada penjaga dan berbasa- basi sebentar.Dahulu, area wisata kuliner pinggir jalan itu adalah tempat dimana keduanya mencari makan malam, sembari berbagi cerita. Tempat yang sama, namun waktu dan masalah berbeda, jadikan keduanya harus berdamai dengan keadaan."Aku kecewa sama kamu." Dani masih saja memperpanjang bahasan. "Tega banget sama aku. Itu semua karena posisiku jauh lebih rendah dari Presdir V--""Dan!" selaan bernada bentakan Lea. "Aku tidak mencintai Pak Vin. Dia kuanggap atasan saja.""Benarkah? Tapi ok. Bagiku, itu sudah j
"Kok anda disini, sih?"Satu alis Vin terangkat, heran."Memangnya kenapa kalau aku kesini? Nggak boleh? Pertanyaan yang aneh." Meskipun isi pertanyaannya berkesan respon tersinggung dan amarah Vin, tapi nadanya lembut, bukan seperti Vin biasanya.Lea sadar, keberadaan ibunyalah yang membuat Vin mendadak jadi kalem begini."Soalnya...tadi itu...saya lihat ada tamu mau ke kondominium bapak." Lea ungkapkan setengah terpaksa, karena sudah terlanjur dapat omelan, meski sedikit malu. Vin sempat pernah menggodanya, saat mereka berdua membahas soal Aida."Oh, Aida." Jawaban singkat dan tenang dari Vin, justru membuat Lea terkejut."Iya, gadis yang bernama Aida itu yang saya lihat.""Pak Vin. Mari kalau mau nambah lagi makannya. Lea ternyata sudah makan. Masih banyak, kok." Sarah menyela pembicaraan dari bibir sekaligus bahasa batin antara Vin dan Lea.Lea segera mengarah pada meja makan depan dapur, lalu ke meja ruanh tamu. "Pak Vin habis makan?" tanya Lea dengan polosnya."Memang nggak b
Siapa yang nggak akan kaget, bila mendengar kata 'penyakit mental' dimana sebagian orang awam akan mengira sebagai sebutan 'gila.'"Kok bisa?!" pekik Lea."Ya bisa! Kamu gimana nanyanya. Lha kamu sendiri, kenapa bisa begitu? Punya penyakit plonga-plongo, hah hih huh, apa-apa nggak langsung ngerti kalau belum diterangin, itu gimana kamu jelasinnya, hah?!" semprot Vin, kembali pada sifat aslinya.Lea sampai mundurkan kepala, karena sahutan keras Vin ini. Satu hal yang akhirnya Lea sadari, Vin jadi terbuka seperti ini, hanya dilakukan didepannya, kala berduaan saja. Vin justru akan alami kecemasan, atau ketidakberdayaan komunikasi bila itu berhadapan dengan wanita-wanita agresif dan terobsesi padanya.Apa ini yang dinamakan sebagai bentuk kenyamanan? Entahlah, Lea belum kepikiran sampai kesana. Tapi paling tidak, kalau memang benar, Lea jadi tersanjung, karena gadis polos nan biasa seperti dirinya ini, bisa mengalahkan para wanita dengan label 'high class.'Memang ada benarnya, kadangk