Sejak percakapan dengan Ibu sore itu, aku tetap bekerja seperti biasa. Tak pernah terbersit di pikiran tentang wanita bernama Nadia itu. Hingga suatu hari, saat libur, Ibu mengajakku bicara serius. "Qin, sesuai janji kamu hari itu, kamu harus bersedia menikah dengan Nadia. Ibu sudah melamarnya untukmu," ujar wanita paruh baya itu. Aku tersentak. Masih kurang percaya dengan apa yang kudengar. Dia seorag guru dan juga kepala PAUD, bersedia menjadi istri kedua dengan syarat harus mau mengurus tiga anak? Rasanya mustahil. "Ibu gak salah ucap, kan?" tanyaku."Ya enggak lah, Nak. Dia itu sangat penyayang sama anak-anak. Dia sering loh main ke sini, sepulang sekolah, tapi kamu masih kerja," jelas Ibu. Aku curiga kalau Ibu menceritakan hal-hal yang manis saja. Aku tidak mau kalau gadis itu merasa dimanfaatkan dan akhirnya menyesal. Aku tidak akan tahan kalau dia bersikap manja dan merengek mencari perhatianku, sementara hatiku tidak mencintainya. "Kalau begitu, aku ingin bertemu dengann
Hari ini aku pulang lebih cepat dari kantor dan sengaja mengajak Nurul duduk di ruang tamu untuk menunggu anak-anak kami kembali dari sekolah. Sekolah untuk anak pra sekolah dan merangkap tempat penitipan anak milik Nadia memang tutup jam 4.00. Beberapa wanita karir menitipkan anak mereka di sana dan akan menjemput sepulang kerja. Mereka lebih percaya menitipkan anak di lembaga resmi daripada sama pengasuh sendirian di rumah. Nadia juga memiliki kamar yang luas di sana, lengkap dengan fasilitas dapur juga sehingga anak-anak tidak bosan dan tetap bisa tidur sambil menunggui Nadia siap bertugas bersama tenaga pendidiknya yang berjumlah 10 orang. Soal makan pun, mereka bergantian memasak menu untuk para anak yang dititipkan. Jiwa penyayangnya pada anak-anak tidak pilih kasih sehingga tak pernah kudengar Pita atau Wandi mengeluhkan ibu tiri mereka.Mobil antar jemput milik yayasan Nadia berhenti di halaman dan mereka keluar dengan wajah ceria. Pintu yang terbuka lebar membuatku leluasa
Aku menghidupkan lampu, celingukan mencari keberadaan Nadia. Gak mungkin juga dia terjatuh dari ranjang besar ini. "Nad? Kamu di dalam?" tanyaku saat mendengar suara kran air di kamar mandi tamu. Tidak ada sahutan. Mungkin suara air membuat ucapanku tidak terdengar olehnya.Gegas aku bersiap mandi di kamar mandi yang terletak di kamar utama yang biasa kutempati dengan Nurul. Kulihat wajah teduh itu masih terlelap. Kuperbaiki selimutnya yang sedikit melorot dan mencium keningnya. Selesai mandi junub, aku bersiap menunaikan ibadah sholat shubuh dimesjid yang letak ya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya menangis di atas sajadah yang membuat hati lebih lega. Mengadukan semua ketentuan Allah yang menyesakkan dada. Makhluk lemah ini hanya bisa menjalani apa yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak peduli apakah orang menilaiku pria yang lemah karen itu memang benar adanya. Butiran hangat menggenangi netra diiringi lantunn kalam Allah. Kusempatkan membaca surah pendek sebelum menin
Aku memberikan minum untuk Nurul dengan canggung, lantas menaruh piring dan gelas yang baru kami gunakan ke dapur. Aku jadi serba salah, bergegas masuk ke kamar utama untuk bersiap berangkat ke kantor. Soal pakaian, kaus kaki, sepatu dan semua keperluanku ke kantor sudah disiapkan Nadia semuanya disertai catatan dimana benda-benda itu ia letakkan. Ia melakukan itu karena segan keluar masuk kamar utama. Ah, dia memang wanita yang baik. Tak sekali pun dia menghasud agar meninggalkan istriku, Nurul. Padahal di luaran sana banyak wanita yang dengan egois merampas seorang istri dari suaminya. Perasaan bersalah pada Nadia kembali menyusup, mengobrak-abrik perasaan yang terbungkus rapi untuk Nurulku seorang.Apakah saatnya aku membiasakan diri berlaku adil dengan perbuatan untuk kedua istriku, meski perasaan belum tentu bisa disesuaikan porsinya seperti yang diharapkan.Bismillah, aku harus bisa, karena ini memang jalan hidup yang harus kujalani. Aku mengambil tas kerja dan bergegas ke
"Jangan pernah katakan hal seperti itu, Dek. Abang ingin kamu cepat sembuh. Melihatmu sakit saja sudah membuat Abang kehilangan separuh semangat. Kamu mau membunuh Abang dengan bercerai saat raga masih menyatu dengan ruh? Bunuh saja Abang sekarang, Dek," sentak Bang Yaqin, meletakkan tanganku di lehernya.Ia menitikkan air mata di hadapanku gara-gara kalimat yang juga menyakitiku. Aku sama terlukanya karena memang cintaku semakin subur melihat kesabaran Bang Yaqin mengurus keluarga. Rumah tangga kami tidak seoleng yang kukira. Dia tetap bisa berpikir waras di saat keadaanku seperti ini. Aku sengaja mengatakan akan berpisah karena merasa sudah banyak hutang budi pada Nadia. Perlahan juga binar cinta mulai terlihat di netra suamiku. Jika aku sudah sembuh, berarti bisa beraktivitas tanpa membebani mereka lagi. Hampir setahun menjadi manusia tak berguna itu rasanya menyakitkan. Angan-angan banyak, tapi raga tak mampu melakukannya. Berbagai cita-cita yang sempat kami rencanakan tinggal
Selesai sarapan, aku tak melewatkan kesempatan untuk memeluk ketiga anakku. Seperti mau pergi jauh dalam waktu yang lama. Padahal aku akan pulang jika sudah sembuh dan semoga saja pengobatan ini cocok padaku. Aku tak sempat lagi bicara dengan Olin karena gadis itu seolah menjauh dariku. Dari wajahnya aku menduga kalau Olin seperti takut dengan salah satu anggota keluarga ini.Jika itu memang benar, aku akan menelponnya nanti saat dia sudah pulang ke rumahnya. Dia berhutang penjelasan padaku. "Baik-baik di sini, ya, Nak. Kamu harus bisa jaga adik-adikmu," ujarku, lalu mengecup kening putriku. "Iya, Ma. Mama cepat sembuh, ya," balasnya. Aku menggangguk, lantas memeluknya sekali lagi. Aku dan Bang Yaqin berangkat sekitar tengah delapan menuju tempat pengobatan yang dimaksud oleh bos suamiku. Menghabiskan sekitar dua jam perjalanan melewati jalan raya, lalu masuk lagi ke dalam. Jalannya sudah beraspal, tapi jarak rumah lumayan jauh-jauh. Mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat w
"Jangan suka mempengaruhi pikiran pasien, Pak Dokter! Dokter suka kalau seorang istri membenci suaminya? Kalau iya, berarti kamu tak lebih seperti saudara setan," cibirku. "Jangan terlalu tegang, Bu Nurul. Saya cuma bercanda. Gak mungkinlah suami Anda yang kelihatan baik itu tega berbuat jahat pada istri yang ia cintai," tepisnya dengan seulas senyum. Aku beristighfar. Betapa mudahnya aku terpengaruh dan sedikit curiga pada suami sendiri hanya karena ucapan orang yang baru kukenal ini. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dalam menjalani bahtera rumah tangga. Jika memang Bang Yaqin tidak mencintaiku lagi dan ingin melabuhkan cinta seutuhnya pada wanita lain, kenapa tidak dari dulu? Rasa curiga masih menguasai hati. Olin, Nadia ataupun suamiku pun memang berpotensi menjadi pelakunya. Atau bahkan ibu mertua yang sering menjengukku. Namun aku tak ingin langsung menuduh salah satu di antara mereka, apalagi suamiku sendiri. Dia bagai malaikat dalama hidupku. Berkat kemurahannhatinya,
"Jangan tegang begitu, Bu Nurul! Saya cuma bercanda. Saya tidak lupa kalau Anda itu sudah punya suami yang sangat mencintai Anda tentunya. Lina, tolong suapi pasien kita," ujar Dokter Endru, lalu tertawa sekilas. Ia menggeleng-gelengkan kepala seolah yang ia katakan barusan adalah lelucon. Padahal hatiku sudah ketar-ketir, takut kalau dia beneran mau menyuapiku. Entah kenapa, sejak pertama bertemu, aku merasa tatapannya aneh padaku. Apakah itu perasaanku saja atau memang ada sesuatu? Tapi seingatku, kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku juga pertama kalinya menginjakkan kaki di desa yang asri ini. Aku menepis pikiran agar tidak berkelana pada sang dokter. Aku ini sudah bersuami dan punya tiga anak yang harus kupikirkan masa depannya. Ikhtiarku sekarang hanyalah dengan berusaha cepat sembuh. Memunguti keping-keping ingatan kebersamaanku dengan anak dan suami sebelum semuanya terlambat menjadi debu yang tak bisa lagi direkatkan. Mereka segalanya bagiku. Selesai makan, aku diban