Keesokan harinya, Bi Ijah kembali datang seperti biasa. Tampaknya, ia hanya bisa menemui Lisa saat sore setelah jam kerjanya selesai.
"Saya sudah bicara dengan Tuan Alex, kalau Tuan Alex sendiri nggak masalah, bahkan dia bersedia menyiapkan sopir atau motor untuk aktivitas pulang pergi Lisa. Kalau Lisa nggak mau pakai sopir, jadi di sana nanti Lisa bisa pulang sekitar jam 4 sore, dengan jam kerja setelah pulang sekolah.”
Lisa dan Nenek Mirna mengangguk-angguk mendengarkan, “Jadi Lisa nggak kelamaan di sana, kalau Tuan Alex sendiri memang lebih memperhatikan kualitas. Dia pengennya sesuatu yang bagus, kalaupun harus Nak Lisa di sana dalam waktu singkat nggak apa-apa, nggak masalah. Nanti Lisa bisa siapkan cadangan untuk diminum Tuan Muda ketika malam hari. Tuan Alex juga menyiapkan makanan khusus Ibu Menyusui, nanti Lisa dipastikan setidaknya harus siap untuk makan makanan sehat demi agar Tuan Muda menerima asi yang sehat. Bagaimana?"
Lisa mengangguk setuju, "Selama ini, Nenek juga gak ngebolehin jajan sembarangan. Jadi, aku makan makanan yang baik terus."
Bi Ijah pun mengangguk, begitupun juga Mirna yang telah menyetujui. Alhasil Bi Ijah berkata kalau, "Lisa bisa mulai kerja besok dan saya akan mengajak Lisa ke rumah Tuan Alex dulu hari ini untuk memperkenalkannya kepada Tuan Alex karena besok Tuan Alex tidak di rumah beliau harus perjalanan bisnis ke luar negeri, jadi hari ini perkenalan dan besok langsung kerja,” jelasnya.
Lisa menurut saja, sehingga mereka pun langsung menuju ke rumah besar Alexander itu.
+++
Ketika tiba, Lisa melongo melihat kemewahan rumah bossnya itu. Selama ini, ia hanya bisa melihat itu di TV, tapi sekarang ada di depan matanya!
Ia tidak tahu kalau ia bisa sampai menginjakkan kaki di rumah itu sebagai salah satu dari pekerja di sana dan benar saja, di sepanjang jalan menuju ke rumah istana itu ia melihat beberapa bodyguard menatapnya. Ketika ia baru masuk, ia juga menemukan beberapa bodyguard yang menatapnya penuh damba sekaligus kagum. Meskipun begitu, Bi Ijah sudah berkata kalau mereka steril dari perilaku jahat.
"Lis, tenang aja dah. Meskipun mereka mungkin kaget dengan kecantikan kamu, mereka nggak akan ngapa-ngapain karena mereka udah dididik dengan baik juga sama Tuan Alexander."
Lisa pun mengangguk dan menjadi lebih tenang mendengarnya.
Setelah mereka sampai di sebuah ruangan yang konon katanya ruang kerja Tuan Alex, pun Bi Ijah langsung mnegetuk pintu dan izin masuk. Langsung saja dari dalam sudah terdengar suara agar mereka masuk.
"Masuk!"
Lisa bisa melihat seorang pria dewasa sedang membaca dokumen dan sesekali mengetik di komputernya. Pria itu tampan, berbadan besar alias kekar, tidak terlalu besar tapi pas untuk dikatakan pria hot yang selalu dibicarakan perempuan masa kini. Namun, Lisa agak ngeri ketika melihat beberapa tato di tangannya dan tindik di telinga kanan kirinya yang berwarna perak kecil tapi memberi kesan sangar.
Lisa jadi ingat kalau dulu ia juga pernah melihat orang tersebut di TV, mungkinkah dia artis, atau orang penting di Indonesia. Ingatan Lisa buruk, ia menyesalkan hal itu di saat-saat seperti ini, ingatannya harusnya bekerja dengan baik.
Maxelio Derix Alexander, seorang pewaris utama keluarga Alexander yang merupakan keluarga bangsawan yang berasal dari Spanyol. Namun, ayah Max menikah dengan seorang putri Duke dari Inggris, sehingga Max bersama kedua kakaknya memiliki masa kecil di dua negara itu.
Hingga Max merantau ke Asia dan membangun perusahaan di Indonesia, lalu ia memilih menetap di sini dan berumah tangga dengan Eva Jianka si model papan atas keturunan China-Sunda. Makanya ia sering melakukan perjalanan bisnis, jadi tidak bisa mencurahkan banyak waktunya bersama sang anak dan istri, sampai istrinya muak dan memilih berpisah.
"Tuan, ini saya datang membawa Lisa, Ibu Susu untuk Tuan Muda Axel."
Orang yang disebut sebagai Tuan itu pun mendongak dan meletakkan pulpennya, melepaskan kacamata bacanya dan menatap lekat orang yang datang bersama Bi Ijah.
Max seketika tertegun melihat sosok itu, sosok berhijab dan bergamis dengan jaket berhodie oversize yang membungkus tubuh berisinya itu. Gadis itu tersenyum polos, tapi Max buru-buru menyadarkan diri agar tidak terpesona. Ia sedikit mendengar dari Bi Ijah kalau gadis yang akan ia bawa masih kuliah, intinya kalau dibandingkan dengannya, mereka memiliki perbedaan usia yang jauh.
"Namanya, Lisa?" tanya Max dingin.
Bi Ijah mengangguk, "Benar Tuan," jawab Bi Ijah.
Max terus menatap Lisa dengan tatapan menyelidik, "Serius kamu masih kuliah?" tanyanya.
Meski gugup, Lisa memberanikan diri menatap lawan bicaranya yang bermata biru muda itu, "I--iya, Tuan. Semester 7, sebentar lagi lulus."
Itu jawaban yang tak terduga bagi Max, Lisa terlihat sekali polos, padahal awalnya ia curiga kalau meskipun Lisa anak kuliahan, ia adalah anak nakal yang melakukan pergaulan bebas.
Ia pun tersenyum tipis, lalu mengangguk-angguk dan mengisyaratkan agar Lisa duduk.
Bi Ijah tentu sangat terkejut dengan reaksi Max, bagaimana bisa Max tersenyum padalah seluruh mansion tau bagaimana tuan mereka yang sangat irit senyum. Di tengah lamunannya, Max mengusirnya keluar agar ia dan Lisa leluasa membicarakan kontrak.
"Kamu keluar dulu," ujarnya.
Lisa terkejut ketika Bi Ijah juga dengan cepat mengangguk, "Baik, Tuan," ujar Bi Ijah sambil mengelus pundak Lisa agar Lisa tidak takut.
Max tau Lisa takut karena harus berdua dengan orang asing di sebuah ruangan, sementara itu Bi Ijah membiarkan pintu sedikit terbuka.
Ditinggal Bi Ijah, Lisa duduk di sebrang Max yang dibatasi meja kerjanya yang menurut ukuran Lisa itu sangat besar.
"Jadi kamu menghasilkan asi?" tanya Max.
Lisa mengangguk, "Iya, Tuan."
"Kenapa?"
Lisa terkejut dengan pertanyaan itu, "Maksudnya, Tuan?"
"Ya, saya perlu tau bagaimana orang yang nantinya akan mengalirkan asi untuk makanan anak saya, saya harus memastikan orang itu adalah orang baik-baik. Kamu pernah mendengar kan, kalau sifat orang tua bisa menurun dan bisa saja dengan kontak asi."
Lisa mengangguk mengerti dengan penjelasan itu, "Kata dokter karena saya kelebihan hormon."
"Sejak?"
"Sejak kelas 7 SMP ketika saya mulai haid, pertumbuhannya sangat pesat, sehingga Nenek saya membawa saya ke dokter."
"Hasilnya?" tanya Max lagi.
Lisa agak gugup sebenarnya, tapi ia tetap menjawab karena ia tidak melakukan kesalahan, jadi ia tak perlu takut.
"Karena faktor genetik, saya kelebihan hormon. Sehingga sejak saat itu, saya mulai menjual asi ke bank asi."
Pembicaraannya sudah cukup, Max juga tak tahan berlama-lama dengan gadis molek itu. Entah mengapa, ia merasa takut tak bisa menahan hasratnya yang sejak lama terpendam.
"Oke, kita training kamu dulu seminggu. Kalau anak saya nyaman baru kita tanda tangan kontrak," ujar Max.
Tanpa mengatakan apa-apa Lisa langsung tersenyum dan mengangguk.
"Sekarang kamu keluar dan minta Ijah untuk mengantar kamu bertemu anak saya agar dia berkenalan dengan calon ibu susunya," lanjutnya dingin dan mengalihkan pandangan dari Lisa.
Meski bingung, Lisa hanya bisa mengangguk lagi dan segera pamit. "Baik Pak, saya pamit keluar dulu."
Perempuan muda itu terus melangkah meninggalkan Max yang mengusap wajahnya frustasi. Pria itu tampak tidak menyangka pertemuannya dengan calon ibu susu sang anak akan berakhir 'kekalahan' pada bagian bawahnya.
"Gue harus menghindar, gila cuma liat mukanya aja gue tegang gini. Brengsek banget, dia keliatan polos dan gak tau apa-apa," lirihnya.
Jujur saja, Max tidak pernah sebegitu mudah terangsangnya dengan seorang wanita, apalagi ini seorang gadis kuliahan yang polos!
"Lisa ...."
See u next part :D
"Huaaaaa!" Lisa merasa kaget begitu mendengar suara bayi menangis. Ketika ia menaiki tangga, tangisan itu semakin kencang terdengar. Seketika, Lisa merasa sangat kasihan. Tangisan kejar itu seolah menandakan sang bayi tidak baik-baik saja, sementara suara dua perempuan juga berusaha menenangkan sang bayi dengan tabah. Bi Ijah mengantarkan Lisa ke kamar sang Tuan Muda. Sebuah kamar dengan pintu putih yang biasa saja, tetapi ketika dibuka tampak mewah dalam warna pastel yang sarat akan anak-anak. "Permisi, Mbak Resti!" sapa Bi Ijah ketika membuka pintu dan mendapati seorang baby sitter dan bayi di gendongannya yang sedang menangis. Sementara di sebelahnya ada Mbak Mami yang memegang mainan mencoba membantu menenangkan. Melihat itu, Bi Ijah mendekat, "Ya ampun ini Aden kenapa lagi?" tanyanya panik. "Enggak tau Bi, dia keliatan laper tapi gak mau minum susu," jawab Mbak Resti. "Susu apa?" tanya Bi Ijah mengambil alih baby Axel. "Formula Bi, tadi Pak Alex menghentikan pembelian
Bibi Ijah pun pamit keluar dari kamar baby Axel dan melihat Max yang terlihat sedang berjalan menuju ke kamar anaknya. "Gimana, Lisa udah ketemu sama Axel?" tanyanya berhenti setelah berada di depan pintu kamar baby Axel. "Iya Tuan Muda Axel kelihatan banget suka sama Lisa dan dia sekarang sudah tidur, tapi sayangnya Aden gak mau ngelepasin ...." Bi Ijah agak ragu untuk menceritakan detailnya. Max memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana panjang casualnya menatap Bi Ijah penasaran. "Melepaskan apa?" tanya Alex tidak mengerti. "Anu... itu Tuan Muda nggak mau melepaskan susu ... em ... maksudnya payudara Lisa, jadi sekarang Lisa nggak bisa pulang," ujarnya menyesal. Max terkejut, ia jadi langsung membayangkan apa yang dikatakan Bi Ijah, ia merasa sangat kurang ajar kalau begini, sedikit-sedikit langsung terbayang dan itu wajar karena meskipun ia seorang pebisnis dan terkenal memiliki kehidupan yang bebas, ia tidak pernah jajan di luar karena semenjak ia tidak berhubungan de
“Nah, soalnya kalau masalah suka ya kita perlu cari jalan keluar, kalo kiranya hubungan ini bakal bahaya lo bisa hindarin dia, tapi situasinya kan kita gak tau,” ujar Hans lagi. Maka, Max menceritakan detail perkaranya, mulai dari ia yang mencari ibu susu, sampai datanglah seorang gadis kuliahan yang polos tetapi menghasilkan asi dan kecantikannya memikat dirinya. Tentu ini pembahasan yang serius di antara mereka. "Jadi gitu ...." gumam Pamungkas setelah mendengar cerita dari sahabatnya. Kevin sampai bengong sendiri, ia berpikir keras. Si otak matematikanya mulai mengeluarkan percikan api seperti listrik yang konslet akibat dari arus listrik yang rusak. Lalu Hans, ia mengusir kedua jalangnya sebelumnya dan fokus pada pembahasan masalah Max. "Rumit sih, masalahnya si Axel udah bucin ama tuh cewek," ujarnya. "Nah itu masalahnya," ujar Kevin. "Tapi emang salah kalo lo suka ama cewek yang umurnya beda jauh ama lu?" tanya Pamungkas. Kevin dan Hans kembali memikirkan itu, "Tentu aja
“Dor!” “Astaghfirulloh, Meiiii!” kaget Lisa ketika mendapati satu-satunya temannya mengagetinya ketika ia sedang serius nugas di gazebo taman kampus. Mereka satu kampus tetapi beda jurusan, tetapi gedung mereka bersebelahan, jadi Mei tak perlu jalan jauh untuk menemui Lisa yang selalu sendiri itu. Mei duduk di samping Lisa, disusun Hanum yang baru-baru ini berkenalan dengan Lisa, mereka bertemu di grup magang. “Assalamu’alaikum, semua!” sapanya ceria. “Wa’alaikumsalam, Num,” balas Lisa dan Mei. “By the way, lu berdua enak banget gak ada KKN, gue ada,” keluh Mei yang benci harus tinggal di luar rumah. “Makanya masuk jurusan ekonomi,” ledek Hanum. “Yeu, gue juga mana tau kalau jurusan ekonomi diistimewakan,” balas Mei. “Tapi emang jurusan lu ribet si, Mei.” “Dih ngatain, lagi kesel juga ….” Lisa hanya terkekeh mendengarkan keduanya berdebat masalah kampus mereka yang tidak adil itu. Memang kampus itu membuat aturan istimewa bagi mahasiswa jurusan ekonomi yang dibebaskan dari
Lisa meletakkan ponselnya di tas, mengabaikan pesan agresif dari kakak tingkatnya yang seperti kata Hanum, dia memang menyukainya. Tentu Lisa sadar akan hal itu, tetapi ia juga menyadari kalau pria itu terlihat jelas, bukan pria baik-bik seperti yang dikatakan Mei, dia buaya darat alias playboy. Pacarnya ada di mana-mana, gebetannya pun tak terhitung, ia memang tampan tapi auranya jelas tak bisa dikatakan baik. Sejauh ini Lisa sudah banyak menemui pria semacam Baron, wajah tampan tetapi kelakuan bak iblis, otaknya hanya berisi tentang wanita dan hal berbau zina. Ia menghela napas berat, menatap gerbang yang ada di depannya. Pukul 16.45 WIB ia baru keluar dari perpustakaan karena baru selesai mengerjakan tugas kelompok, tetapi ia yang menyelesaikannya seorang diri karena tiga anggota lainnya pulang terlebih dahulu dengan alasan ingin malam mingguan karena itu hari Sabtu. "Duh, aku jadi gak enak sama Bi Ijah dan Baby Axel, aku sering ijin kek gini ...." Ia sudah ijin tadi pagi kal
Max sengaja memperpanjang perjalanan bisnisnya pasca ia yakin bahwa perasaannya pada Lisa adalah spesial, tetapi ketika kembali bukannya perasaan itu berkurang, tetapi malah meledak, meluap bak lumpur lapindo. Perasaan itu meletup-letup tanpa bisa dihindari. Ia sampai tak keluar kamar, tak berani menemui baby Axel ketika Lisa belum pulang kerja hingga ketika baby Axel menahan Lisa untuk menginap di rumahnya, ia memilih pergi ke kantor dan tidur di sana. Ia benar-benar niat untuk menjauhkan perasaannya pada Lisa, tetapi itu tak berhasil. Oleh sebab itu, ia menghubungi Hans dan curhat pada si pakar perrcintaan cap buaya darat itu tentang perasaannya yang tak bisa dibendung lagi. Hingga ia mendapat kesimpulan bahwa ia harus menerimanya dan belajar cara menikmati perasaan itu tanpa diketahui oleh Lisa. "Gini ya, Bro. Masalahnya lo udah suka ama dia, kalo misal lo baru tertarik mungkin bisa tuh lo cari kekurangan dia biar lo ilfil sama dia, tapi kalo udah suka mah susah ngilanginnya.
"Aku masih gak ngerti, sebenarnya apa yang Mbak Resti maksud," ujar Lisa bingung. Resti menghela napas dengan gadis tidak peka di depannya itu, "Gini loh, kamu gak tau kalau Pak Boss kita bukan orang biasa?" Lisa meringis, "Iya tau, dia orang kaya kan?" "Bukan itu maksudku," balas Resti gemas. Baby Axel tiba-tiba merengek, ia sepertinya tidak puas dengan susu dari dot, padahal itu juga asi stok yang disiapkan Lisa untuknya. "Oeeeek!" maka pecahlah taangis bayi itu. Lisa langsung meminta baby Axel dari gendongan Resti, "Siniin Mbak, mungkin dia mau nenen langsung ke aku." "Iya kali yah, padahal asinya belum basi loh, kan ditaruh di kulkas," ujar Resti sambil menyeragkan baby Axel ke dalam gendongan Lisa. Lisa pun menggendong baby Axel lalu bersiap menyusuinya, "Uluh-uluh, si ganteng tau yah kalau ada Kakak, iya?" Melihat itu Resti terkekeh, ia membantu merapihkan posisi baby Axel agar Lisa nyaman juga, ia masih diinfus karena masih membutuhkan asupan pada tubuhnya selain m
Tatapan tajam Lisa membuat Max tersadar dan menatap balik gadis bermata jernih itu. Ia menutup ponselnya dan menaikkan sebelah alis. "Kenapa?" tanyanya sembari mengantongi ponselnya lagi. "Eng ...." Lisa menggeleng takut, "Gak kenapa-napa, Pak?" "Kamu tadi natap saya kayak gitu," ujar Max. Lisa menggeleng lagi, "Gak Pak, gak papa. Maaf sudah mengganggu." "Jangan-jangan kamu terpesona pada saya?" +_+_+ Pada akhirnya Lisa tak bisa tidur lagi, ia tak nyaman ada Max di ruangan itu. Max tidur di sofa setelah menggodanya tadi, pria itu menuduh Lisa terpesona karena menatapnya lama. Padahal Lisa sedang mengamati tato-tato di tangan Max, lalu mengepaskan dengan teori-teori yang dibuat Resti yang suka nonton YouTube dengan chanel cerita-cerita hororr. Lisa juga terpengaruh oleh cerita Resti, takut Max melakukan hal buruk padanya sebagai persembahan. Sampai ketika jam 1 malam, baby Axel terbangun dari tidurnya dan menangis, sepertinya Lisa tak akan tidur malam ini. Resti pun langsung ter