Ayleen perlahan mengunduh video yang dikirimkan oleh sang pengacara. Tak lama berselang, matanya membola saat melihat isi dari rekaman video tersebut.Bahkan dengan kikuk Ayleen menyodorkan ponsel Abraham ke tangan lelaki itu. "P-pak,"Abraham menoleh sekilas pada Ayleen, keningnya sedikit berkerut. "Apa, Ay?"Wajah Ayleen bersemu merah saat mendengar panggilan yang terlontar dari bibir Abraham. Ayleen terlihat malu-malu.Kening Abraham semakin berkerut, merasa bingung dengan perubahan mendadak wajah Ayleen. "Kenapa kamu, Ayleen?" tanyanya, tidak bisa menahan rasa penasarannya.Ayleen tersentak kaget. Ia lantas meneguk ludah kasar. "Oh ... bu-bukan apa-apa, Pak," kekehnya kikuk. Ayleen bahkan mengeluarkan cengiran lebar, merasa sangat malu. Kepalanya menunduk dalam.Abraham hanya mendengkus. Tangan kirinya menengadah hingga membuat Ayleen mengangkat kepalanya dengan sorot bertanya."Ponsel saya, Ayleen," tegas Abraham, berharap Ayleen tidak salah faham.Ayleen seketika tersenyum kikuk
Bab 35"Bagaimana?" desak Bu Emil kembali, tidak sabar menunggu jawaban Ayleen."Sa-saya—,"Ponsel Ayleen berdering, membuat ucapannya terpotong sekaligus menyelamatkannya dari pertanyaan Bu Emil."Saya ijin ngangkat telepon dulu, ya, Bu," ijinnya.Bu Emil mengangguk singkat, "iya. Angkatlah! Mungkin itu Abra yang nelepon," celetuknya santai. "kangen katanya."Ayleen sedikit terkejut. Ia bahkan menghentikan langkahnya seketika. "Eh."Bu Emil menyunggingkan senyum tipis, semakin gemas dengan tingkah Ayleen. "Dah, sana angkat! Nanti Abra marah-marah kalau gak kamu angkat teleponnya," suruhnya, mendorong kedua pundak Ayleen agar gegas mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.Ayleen menjadi semakin kikuk. "I-iya, Bu." Ia gegas bangkit berdiri, meraih ponselnya dan benar saja, Abra lah yang kini tengah berusaha menghubunginya.Ayleen menggeser layar ponselnya dengan sedikit canggung karena Bu Emil memandangnya lekat. Ia lantas meletakkan ponsel di telinga kanannya. "Assalamualaikum.
Bab"Sa-saya tidak mikirin Pak Abra, Bu," elak Ayleen, kepalanya menunduk dalam. Kedua tangannya kini saling bertaut di depan perut."Yakin?" ledek Bu Emil sembari mengulum senyum."Y-yakin, Bu!" sahut Ayleen cepat, berusaha menegaskan. Namun suaranya justru terdengar begitu gugup."Baiklah. Ibu percaya sama kamu," tukas Bu Emil mengalah. Senyumnya tersungging semakin lebar. "oh ya, Abra nelepon kamu itu, kenapa? Tumben, gak biasanya? Apalagi kayak panik gitu suaranya!" desaknya lagi. Merasa benar-benar gemas karena Ayleen selalu mengelak. Namun tidak punya kuasa untuk memaksa.Ayleen kembali bungkam. Kepalanya semakin menunduk dalam. Dengan lirih Ayleen pun berucap. "S-saya cuman kepikiran omongan Pak Abra, Bu."Bu Emil terpana. Dirinya gegas meraih punggung tangan Ayleen kembali, menggenggamnya erat. "Dia ngomong apa sama kamu? Ibu boleh tau, kan? Soalnya Ibu penasaran." Matanya nampak berbinar penuh semangat.Ayleen kembali bungkam. Di satu sisi dirinya enggan berterus-terang, namu
Namun Ayleen bergeming. Ia justru meneruskan aksinya, menggendong Sam, berusaha menenangkannya. Tidak berusaha memperdulikan ucapan Abra, meskipun tidak menampik jika dirinya sedikit tersentil sekaligus berdebar saat ini.Abra memangkas jarak mereka, berdiri di belakang Ayleen. "Ay," panggilnya pelan.Ayleen perlahan membalikkan badannya. "Kenapa, Pak?" tanyanya, ikut bersuara pelan saat dirinya melihat Sam mulai kembali terlelap dalam buaian nya.Abra melihatnya. Ia lantas bergeming sesaat. Kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan hingga membuat mata Ayleen membola. Namun Abra memilih tidak perduli. "Kalau kamu sudah selesai ngurus Sam, keluar, ya! Ada yang ingin saya bicarakan. Saya tunggu di dapur. Sekalian, tolong bikinin kopi, bisa?" Abra menegakkan punggungnya kembali, menikmati raut merona yang Ayleen perlihatkan."Bi-bisa, Pak," jawab Ayleen gugup, berusaha menenangkan debar jantungnya yang berdegup kencang."Ok. Saya tunggu di dapur," tukas Abra seraya membalikkan badannya, l
Ayleen perlahan keluar dari kamar Sam setelah bayi itu tertidur pulas. Ia gegas menemui Abraham yang telah menunggunya di stool bar."Pak," tegur Ayleen, menyapa Abra yang nampak sibuk dengan ponselnya.Abra lantas menoleh ke belakang sekilas, kemudian kembali menekuri layar ponselnya. "Bikinkan saya kopi hitam dengan sedikit gula, ya, Ay. Nanti malam saya banyak kerjaan yang harus saya selesaikan."Ayleen mengangguk sekilas, sedikit merasa aneh, mengapa tiba-tiba dia yang diminta untuk membuatkan kopi? Padahal biasanya itu menjadi tugas ART di rumah ini. Namun ia segera menepis tanya dan melaksanakan titah majikannya."Baik, Pak," sahutnya. Ia lantas berjalan ke arah kompor, mengambil teko listrik yang berada di samping tempat penyimpanan pisau dapur, membawanya ke arah wastafel, lalu mengisi air ke dalamnya.Wajah Ayleen terlihat serius saat melakukannya. Dimana hal itu tidak luput dari perhatian Abra yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya, dimulai sejak Ayleen mengambil teko lis
"Ba-bapak, gak serius, kan?" tanya Ayleen gugup dengan jantung berdegup kencang. Dirinya bahkan terpaksa mengekor di belakang Abraham karena kuatnya tarikan tangan lelaki itu.Abraham terkejut. Iar menghentikan langkahnya cepat hingga membuat Ayleen hampir menabrak punggung lebar lelaki itu. Namun untungnya Ayleen berhasil mengerem laju kakinya, meskipun keningnya justru berhasil menabrak punggung Abraham.Ayleen gegas mengusap keningnya yang terbentur bersamaan dengan Abraham yang membalikkan tubuhnya cepat, menghadap pada sang baby sitter."Kenapa kamu nabrak punggung saya?" tuduh Abra."Hah! Bukannya Bapak yang tiba-tiba berhenti?!" balas Ayleen menuding, menatap wajah Abraham yang terlihat datar. Tangannya turun ke bawah."Ucapan kamu yang bikin saya berhenti melangkah," ungkap Abraham, masih menuduh."Emang apa yang salah dengan ucapan saya, Pak?" tanya Ayleen bingung."Salah. Tentu salah!" Abraham bersikeras. Matanya menatap sengit pada Ayleen."Hah! Teori dari —," Ayleen terpak
Bab 40Ayleen terpana. Mulutnya terkatup rapat, bungkam seribu bahasa. Namun dirinya tidak menampik jika ia kini tengah berdebar-debar.Sementara Abraham gegas memejamkan matanya, merasa apa yang ia ucapkan semakin ngelantur.Abraham lantas kembali berdehem singkat. "Maaf, saya salah bicara. Tolong lupain apa yang sudah saya ucapkan!" titahnya seraya melepaskan kungkungannya, bergerak ke samping kanan dengan wajah terlihat serius menekuri pekerjaannya.Ayleen bergeming, jantungnya yang semula terasa meledak-ledak, kini pecah berkeping-keping. Kepalanya menunduk dalam dengan Hela napas berat lolos dari mulutnya, berusaha mengurai sesak yang melanda jiwa. Bahkan tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata.Abraham menoleh pada Ayleen. Tangannya yang sedang memencet tombol penghancur, terhenti seketika. "Kamu nangis, Ay?" tanyanya tanpa rasa bersalah.Ayleen gegas mengusap sudut matanya yang memang mengeluarkan cairan bening itu deng
"Mama. Ada apa, Ma?!" tegur Abraham seraya mengusap dadanya akibat terkejut dengan kedatangan ibunya yang tiba-tiba."Boleh Mama masuk, Abra?" tanya Bu Emil meminta ijin.Abraham mengangguk, ia gegas menepi, menyilakan ibunya untuk masuk ke dalam kamar. Keduanya lantas berjalan beriringan menuju sofa yang ada di pojok ruangan dekat dengan balkon, duduk berseberangan."Ada apa, Ma?" tanya Abraham kembali.Bu Emil bungkam. Namun tangan kanannya gegas merogoh saku bajunya, kemudian menyodorkan ponsel miliknya pada sang putra yang gegas menyambutnya dengan kening berkerut."Ini apa, Ma?" tanya Abraham heran."Buka aja!" titah Bu Emil sembari menggendikkan dagu ke depan.Abraham menurut, ia lantas membuka layar ponsel ibunya yang telah menyala, menggesernya ke atas sehingga isinya terlihat. Matanya terbelalak lebar saat melihat photo saat dirinya mengajari Ayleen membuat kopi. Wajahnya seketika bersemu merah.Dengan gerakan kikuk, Abraham menyodorkan kembali ponsel sang bunda ke hadapan wa