Bab 203: Bapak Tentara
**
Beberapa hari kemudian..,
Aku masih saja menyesali kejadian di jalan Sudirman itu. Bukan untuk perbuatanku menolong sang Polwan.
Aku juga tidak menaruh dendam pada petugas yang memukul dan menendangku meski juga ada rasa kesal.
Namun, yang membuatku sedih adalah karena kehilangan botol Winnie The Pooh-ku, satu-satunya benda peninggalan almarhumah Ainun.
Kehilangan botol minum itu membuatku merasa kehilangan sebagian memoriku terhadap masa lalu.
Semakin sedih, ketika aku teringat bibir Kassandra yang pernah menempel di botol minum itu, sehingga ketika aku minum darinya seakan-akan aku juga bisa mencium aroma mulut Kassandra yang telah tiada.
Meski berat, aku berusaha mengikhlaskan botol minum kesayanganku itu. Tidak mungkin juga aku mendatangi semua kantor polisi di Bandar Baru ini hanya untuk mencari sebuah botol minum.
Lagi pula aku tidak mengenal sang Polwan dan tidak juga tahu di mana dia ber
Bab 204: Wanita Bercadar**Rupanya, drama di depan meja kasir ini menarik perhatian orang-orang lain di sekitar minimarket.Mereka semua melihat dan memperhatikan, bagaimana kemudian aku mencabut dompetku untuk membayar semua belanjaan Bapak Tentara.Uangku dari dompet masih kurang untuk melunasi pembayaran. Aku pun segera membuka tas selempangku dan mengambil semua receh, termasuk beberapa uang koin dari dalamnya.Aku letakkan semuanya di meja kasir dan menghitungnya dengan tenang. Cukup, uangku masih cukup. Bahkan masih ada kembalian, seratus rupiah.Baiklah, yang seratus rupiah ini kembali aku masukkan ke dalam tas selempangku.“Kenapa kamu melakukan ini?” Bapak Tentara bertanya dengan wajah yang terharu.“Tidak kenapa-kenapa kok Pak. Saya hanya ingin berbagi saja.”“Tapi, tapi.., kamu tidak punya apa-apa untuk dibagi.” Katanya sambil melihat ke arah tas selempangku.I
Bab 205: Hanya Seorang Pencuri**“Apa kamu pernah melihat dia bersembahyang? Ke klenteng? Ke gereja? Ke masjid? Atau semacamnya?”Adi Wicaksono mencibir, lalu katanya.., “Namanya saja ‘Muhammad’, ya sudah jelas dia sembahyangnya ke masjid.”“Maksudku, apakah kamu selalu melihat dia bersembahyang? Shalat?”“Iya.”“Di mana?”“Di mana pun dia berada, dan ke mana pun dia pergi, dia selalu mengerjakan shalat, tepat waktu sesuai jadwal, tanpa ada yang tertinggal.”Wanita bercadar menarik nafas.“Selain itu?”“Selain itu? Maksud Ibu?”“Ceritakan padaku apa saja yang kamu tahu tentang Muhammad Fatih itu. Misalnya, di pagi hari apa yang dia lakukan, dan..,”“Setiap pagi, biasanya setelah subuh dia berolah raga. Lari pagi, dengan jarak tempuh yang tergolong jauh untuk rata-rata orang kebanyakan. Setiap pagi dia sarapan bubur ayam, dan dia membeli bubur hanya di satu warung saja, tidak pernah berganti-ganti.”“Bubur pesanan dia itu sedikit berbeda. Daging ayamnya disuir-suir sampai halus, dan k
Bab 175: Semua Tentang Cinta**“Katakan padaku, apa ini semua tentang cinta?”Wanita bercadar tak menjawab. Mulutnya bungkam bersamaan dengan gerak tangannya mengaduk cangkir kopi yang berhenti.Ia membuang pandangannya ke arah jalan raya yang tampak ramai seperti biasa. Kedua pundaknya bergerak naik seirama dengan hidungnya yang tersembunyi di balik cadar saat menghirup nafas.Adi Wicaksono memberanikan diri untuk menundukkan kepala, namun dengan sorot mata yang menajam untuk menyelidik raut wajah sang wanita bercadar.“Apakah benar, ini semua tentang cinta?” Ulang Adi Wicaksono bertanya.Wanita bercadar tidak menjawab. Ia malah mengangkat cangkir kopinya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mengangkat sedikit kain cadar yang dipakainya supaya cangkir kopi bisa sampai pada mulutnya.Inilah tempo di mana Adi Wicaksono ingin mengetahui bagaimana wanita di depannya ini meminum kopi. Dan, ups, Adi Wicaksono bahkan tidak dapat melihat mulut dan bibir sang wanita.Piawai sekali d
Bab 207: Izinkan Aku Meminjam Matamu**Barangkali, hanya diriku saja yang ‘parno’ karena merasa dibuntuti oleh seseorang. Kenyataannya, hanya kebetulan pengendara lain yang tujuannya sama dengan diriku.Mungkin ini beralasan pada masa laluku di Jakarta, sehingga ketakutan dari kejaran anak buah Josep dan Big Boss tetap saja menghantui aku.Sampai di Bandar Baru, aku sakit lagi, demam lagi, dan lagi-lagi aku harus berurusan dengan sinshe untuk membenahi otot atau uratku yang terkilir ketika terlibat kecelakaan dalam perjalanan pulang.“Mengenaskan ya, Jo?” Tanyaku pada Johan, ketika kami berdua berbincang lewat telepon pada malam harinya.“Belum, belum, Fat. Belum mengenaskan. Karena nyatanya, kamu masih punya dua tangan dan dua kaki untuk diurut dan dipijat.”Di Bandar Baru sini, aku merengut. “Aku sudah bilang ‘kampret’ belum, Jo?”“Kampret? Belum, Fat.”“Kampret kamu, Jo!” Umpatku.“Hahaha..!” Johan di Jakarta sana tertawa.“Untuk apa kamu pergi ke Taluk Kuantan, Fat?” Tanya Johan
Bab 208: Ada Cinta di Toko Buah**“Takut kenapa?” “Kamu tahu, Rony, mantan suamiku dulu. Dia adalah laki-laki yang sangat tidak cakap di bidang keterampilan khas laki-laki. Apa-lah lagi di bidang seni beladiri. Akan tetapi, dengan kedua tangannya, dia begitu terampil menyakiti dan menganiaya aku.”“Maksud kamu?”“Iya, Fat. Apa lagi kamu yang mahir dalam seni beladiri. Tentu kamu lebih terampil lagi dalam menyakiti dan menganiaya aku nantinya.”Hatiku terenyuh.“Kamu sudah selesai bicara denganku, Fat?”Aku diam.“Kalau kamu sudah selesai, dan kalau kamu mau keluar, pintunya ada di situ.” Tangan Mira menunjuk pintu.Oh.., Ya Tuhan, selain menampik, Mira juga mengusir aku!Beberapa saat aku masih berdiri, dengan wajah yang terperangah. Aku menatap Mira yang menunduk di mejanya dengan pandangan yang kosong.Betapa inginnya aku berkata-kata, menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi cinta, kasih, sayang, janji setia, apalah.., apalah..!Namun ternyata, semua kalimat itu hanya meng
Bab 209: Bab Patah Hati**“Dia, dia.., mengusir kamu??” Tanya Johan emosional.Aku tak perlu menjawab. Cukup wajahku yang masam sebagai jawaban, dan Johan pun tak perlu lagi menanyakan sesuatu tentang..,Plok, plok, plokk..!Johan bertepuk tangan! Apa-apaan ini?? Rutukku dalam hati. Sahabat macam apa kamu ini?? Menari di atas penderitaan orang lain!“Maaf, maaf, Fat. Aku bertepuk tangan ini bukan untuk menertawakan kamu. Aku juga tidak memaksudkan ini sebagai.., bagaimana bunyinya? Pepatah lama yang..,”Aku tahu pepatah lama yang ingin dimaksudkan Johan, tetapi sudah terlanjur ‘ogah’ aku menyebutkannya.“Jujur ya, Fat. Aku bertepuk tangan ini sebagai penghormatan untuk kamu. Sebagai bentuk salut dari seorang sahabat, sebagai bentuk salut dari seorang laki-laki kepada laki-laki.”“Maksud kamu?”“Kamu hebat, Fat. Kamu kuat. Kamu tabah.
Bab 210: Antara Dua Hati**Riska Hudayanti berdiri tegak di dalam kamarnya. Ia memandang keluar lewat jendela yang terbuka.Barusan saja ia menutup teleponnya. Obrolan yang panjang antara dirinya dan Ika Damayanti sang adik telah terjadi sejak lepas Isya tadi. Lagi-lagi tentang mantan suaminya yang memohon diberi kesempatan kedua.Mantan suaminya yang masih berada di perantauan itu mengatakan ia telah insyaf. Ia telah menceraikan istrinya yang ada di perantauan itu.Segala sesuatunya sekarang telah berubah, berubah menuju arah yang lebih baik bagi mantan suaminya.Juga bagi Riska? Tunggu dulu, ibu guru yang cantik dan ayu ini masih menunggu.Maka tak pelak, ini menjadi hal yang sangat dilematis bagi Riska, mengingat dirinya yang tak pernah betul-betul bisa membenci orang lain. Apa lagi mantan suami yang sejatinya masih ia cintai meskipun dengan kadar yang amat sedikit.Merasa tidak puas bertukar pikiran dengan adiknya yang leb
Bab 211: For Strength And Victory**“Kamu nanti kembali lagi, dan temani saya di sini.” Pesan Mira.Selang semenit kemudian, Yana telah kembali bersama dengan tamu seorang lelaki. Mira pun menyambutnya dengan ramah.“Silahkan masuk, Johan. Silahkan duduk..,”“Terima kasih, Mbak.” Sahut sang tamu, yaitu Johan.Yana kemudian mengambil duduk di kursi lain pada tempat yang berbeda.“Maaf, kalau kedatangan saya ini mengganggu. Boleh saya meminta waktunya sebentar, Mbak?” Tanya Johan sopan.Mira tersenyum. Ia menjawab pertanyaan tamunya itu dengan pertanyaan pula.“Apa kabar, Johan?”“Puji Tuhan. Kabar saya baik, Mbak. Embak sendiri bagaimana kabarnya?”“Alhamdulillah. Saya juga baik. Kapan kamu sampai, Jo?”“Kemarin, Mbak.”“Dari Jakarta?”“Iya, Mbak.”“Ini su