Bab 207: Izinkan Aku Meminjam Matamu**Barangkali, hanya diriku saja yang ‘parno’ karena merasa dibuntuti oleh seseorang. Kenyataannya, hanya kebetulan pengendara lain yang tujuannya sama dengan diriku.Mungkin ini beralasan pada masa laluku di Jakarta, sehingga ketakutan dari kejaran anak buah Josep dan Big Boss tetap saja menghantui aku.Sampai di Bandar Baru, aku sakit lagi, demam lagi, dan lagi-lagi aku harus berurusan dengan sinshe untuk membenahi otot atau uratku yang terkilir ketika terlibat kecelakaan dalam perjalanan pulang.“Mengenaskan ya, Jo?” Tanyaku pada Johan, ketika kami berdua berbincang lewat telepon pada malam harinya.“Belum, belum, Fat. Belum mengenaskan. Karena nyatanya, kamu masih punya dua tangan dan dua kaki untuk diurut dan dipijat.”Di Bandar Baru sini, aku merengut. “Aku sudah bilang ‘kampret’ belum, Jo?”“Kampret? Belum, Fat.”“Kampret kamu, Jo!” Umpatku.“Hahaha..!” Johan di Jakarta sana tertawa.“Untuk apa kamu pergi ke Taluk Kuantan, Fat?” Tanya Johan
Bab 208: Ada Cinta di Toko Buah**“Takut kenapa?” “Kamu tahu, Rony, mantan suamiku dulu. Dia adalah laki-laki yang sangat tidak cakap di bidang keterampilan khas laki-laki. Apa-lah lagi di bidang seni beladiri. Akan tetapi, dengan kedua tangannya, dia begitu terampil menyakiti dan menganiaya aku.”“Maksud kamu?”“Iya, Fat. Apa lagi kamu yang mahir dalam seni beladiri. Tentu kamu lebih terampil lagi dalam menyakiti dan menganiaya aku nantinya.”Hatiku terenyuh.“Kamu sudah selesai bicara denganku, Fat?”Aku diam.“Kalau kamu sudah selesai, dan kalau kamu mau keluar, pintunya ada di situ.” Tangan Mira menunjuk pintu.Oh.., Ya Tuhan, selain menampik, Mira juga mengusir aku!Beberapa saat aku masih berdiri, dengan wajah yang terperangah. Aku menatap Mira yang menunduk di mejanya dengan pandangan yang kosong.Betapa inginnya aku berkata-kata, menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi cinta, kasih, sayang, janji setia, apalah.., apalah..!Namun ternyata, semua kalimat itu hanya meng
Bab 209: Bab Patah Hati**“Dia, dia.., mengusir kamu??” Tanya Johan emosional.Aku tak perlu menjawab. Cukup wajahku yang masam sebagai jawaban, dan Johan pun tak perlu lagi menanyakan sesuatu tentang..,Plok, plok, plokk..!Johan bertepuk tangan! Apa-apaan ini?? Rutukku dalam hati. Sahabat macam apa kamu ini?? Menari di atas penderitaan orang lain!“Maaf, maaf, Fat. Aku bertepuk tangan ini bukan untuk menertawakan kamu. Aku juga tidak memaksudkan ini sebagai.., bagaimana bunyinya? Pepatah lama yang..,”Aku tahu pepatah lama yang ingin dimaksudkan Johan, tetapi sudah terlanjur ‘ogah’ aku menyebutkannya.“Jujur ya, Fat. Aku bertepuk tangan ini sebagai penghormatan untuk kamu. Sebagai bentuk salut dari seorang sahabat, sebagai bentuk salut dari seorang laki-laki kepada laki-laki.”“Maksud kamu?”“Kamu hebat, Fat. Kamu kuat. Kamu tabah.
Bab 210: Antara Dua Hati**Riska Hudayanti berdiri tegak di dalam kamarnya. Ia memandang keluar lewat jendela yang terbuka.Barusan saja ia menutup teleponnya. Obrolan yang panjang antara dirinya dan Ika Damayanti sang adik telah terjadi sejak lepas Isya tadi. Lagi-lagi tentang mantan suaminya yang memohon diberi kesempatan kedua.Mantan suaminya yang masih berada di perantauan itu mengatakan ia telah insyaf. Ia telah menceraikan istrinya yang ada di perantauan itu.Segala sesuatunya sekarang telah berubah, berubah menuju arah yang lebih baik bagi mantan suaminya.Juga bagi Riska? Tunggu dulu, ibu guru yang cantik dan ayu ini masih menunggu.Maka tak pelak, ini menjadi hal yang sangat dilematis bagi Riska, mengingat dirinya yang tak pernah betul-betul bisa membenci orang lain. Apa lagi mantan suami yang sejatinya masih ia cintai meskipun dengan kadar yang amat sedikit.Merasa tidak puas bertukar pikiran dengan adiknya yang leb
Bab 211: For Strength And Victory**“Kamu nanti kembali lagi, dan temani saya di sini.” Pesan Mira.Selang semenit kemudian, Yana telah kembali bersama dengan tamu seorang lelaki. Mira pun menyambutnya dengan ramah.“Silahkan masuk, Johan. Silahkan duduk..,”“Terima kasih, Mbak.” Sahut sang tamu, yaitu Johan.Yana kemudian mengambil duduk di kursi lain pada tempat yang berbeda.“Maaf, kalau kedatangan saya ini mengganggu. Boleh saya meminta waktunya sebentar, Mbak?” Tanya Johan sopan.Mira tersenyum. Ia menjawab pertanyaan tamunya itu dengan pertanyaan pula.“Apa kabar, Johan?”“Puji Tuhan. Kabar saya baik, Mbak. Embak sendiri bagaimana kabarnya?”“Alhamdulillah. Saya juga baik. Kapan kamu sampai, Jo?”“Kemarin, Mbak.”“Dari Jakarta?”“Iya, Mbak.”“Ini su
Bab 212: Untuk Kutimang Untuk Kusayang**“Oh, kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan, Jo!”Johan mati kutu! Pemilik suara emas dengan kemampuan tujuh oktaf ini memandang ke depan, bukan pada Mira, juga bukan pada dinding di balik empunya toko Tata Collection itu.Pandangannya terus saja menyorot jauh dan menembus apa pun yang ada di depannya. Kosong, kosong belaka yang dilihat Johan.Kemudian, seakan tersadar akan sesuatu, tiba-tiba saja Johan tergeragap, dan kembali membuka suara.“Oh, maafkan saya yang tak tahu adat ini, Mbak. Betapa kurang ajarnya saya tak tahu berterima kasih pada orang yang telah membantu dan mendukung saya, juga telah mengirimi saya ponsel ketika saya mengikuti audisi yang lalu.”Johan menatap Mira dengan mimik yang sungguh-sungguh.“Nah sekarang, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Embak karena..,”“Tidak p
Bab 213: Aku Tahu Dia Tahu**Ini dia!Inilah dia..!Sekarang, aku sudah yakin seratus persen. Kecurigaanku selama beberapa hari ini ternyata benar. Dalam kurun setengah bulan ini memang ada orang yang selalu membuntuti aku!“Oh, siapakah dia?” Aku bertanya-tanya dalam hati.Seorang lelaki berperawakan tegap, berpotongan rambut pendek, dengan usia yang kutaksir mendekati empat puluhan.Posturnya tampak begitu prima dengan usianya yang ada di angka itu. Berbanding terbalik dengan diriku yang jauh lebih muda namun mempunyai cedera akut di beberapa bagian tubuhku.Sejak Johan kembali ke Jakarta dua hari yang lalu, aku semakin intens saja mencermati orang-orang yang berada di sekitarku.Seperti misalnya, berhenti di lampu merah atau di tepi jalan, aku mengambil ponsel dengan sikap seperti mengetik-ngetik sesuatu di menu pesan.Namun, sesungguhnya mataku melirik ke arah kaca spion untuk melihat orang di bel
Bab 214: Bonus Spesial**Aku merubah pola seranganku. Kali ini aku menggunakan teknik dari silat dan mengkombinasikannya dengan serangan sikut dan lutut dari Tarung Derajat.Kami berdua bertarung dalam jarak rapat. Aku menebas-nebaskan kedua sikutku bergantian, dengan aneka macam sasaran. Dia menangkis-nangkis, dan juga membalas-balas.Tap! Bug! Tap! Bugg!Hantaman lututku juga dia balas.., bugg!“Aaaaakh..!” Aku sampai memekik.Sakitnya! Hantaman lututku tadi, dia counter dengan tusukan sikut ke pahaku. Aduh, Ya Allah.., ngilunya! Aku sampai terpincang-pincang.Ada sebuah jeda, dan kami berlomba untuk menarik nafas. Pada momen ini aku menyadari, ujung bibirku yang pecah dan mulutku yang berdarah.Pandangan mataku mulai berkunang-kunang akibat beberapa pukulan dari si penguntit itu. Aku sudah kepayahan, tapi dia juga sudah ngos-ngosan.Aku ingin melakukan gerak tipu seperti ketika mengalahkan Ko