Bab 218: Utang Piutang
**
Aku sampai di rumah dengan tetap membawa berjuta-juta perasaan yang aneh. Sensasinya sekarang seperti orang yang membaca novel.., oh, bagian yang itu sudah tadi.
Aku uring-uringan tanpa tahu harus bagaimana. Keinginanku semula dengan mencoba melupakan kegundahan ini dengan nongkrong di warung kopi Bang Fahmi pun, hanya sampai di ujung teras rumahku.
Karena sebentar kemudian aku kembali memasuki rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mengusap-usap wajah dan memandang kosong pada sebuah bidang yang ada di antara empat sudut meja tamu di depanku.
Tidak ada, memang tidak ada apa-apa selain taplak meja yang terbuat dari kain sulaman bergambar sebuah taman yang indah.
Berusaha mencairkan kebekuan yang ada di dalam hatiku ini, aku pun bangkit dan melangkah menuju dapur. Aku menyalakan kompor dan menjerang air.
Aku akan membuat kopi, dan malam ini aku ngopinya di rumahku sendiri saja. Sembari berharap b
Bab 219: Balada Singkong**Komplek pertokoan yang belakangan kutahu bernama Panam Square ini tampak tidak terlalu ramai. Masih dalam ukuran normal dalam hal tingkat kunjungan orang di hari-hari yang bukan akhir pekan.Setelah memarkirkan motorku, aku pun berjalan menuju toko Tata Collection yang tampaknya juga sedang tidak terlalu banyak pengunjung.Hanya ada beberapa orang yang aku lihat sedang memilih-milih baju. Selebihnya, hanyalah aku yang kemudian berjalan dengan canggung.Persis di depan pintu, aku berhenti karena ragu. Sekarang aku dilanda perasaan yang sama ketika aku akan bertemu dengan Anggun pada hari sebelumnya. Namun dengan derajat yang lebih tinggi dan dengan kadar yang jauh lebih dahsyat.Sebab, berbeda dengan Anggun yang aku tampik, karena sekarang akulah yang akan ditampik Mira, untuk yang ketiga kalinya!Beberapa saat aku terus berdiri menghadap dinding kaca. Pertama sekali, aku mendapati bayanganku sen
Bab 220: Mimpi Yang Utuh**“Lalu, seandainya aku menerima kamu, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Mira lagi.Maka, mengertilah aku sekarang. Mira menantang aku untuk menjabarkan visi misi hidupku jika beristrikan dia. Dia ingin tahu cita-cita apa yang aku punya untuk membuatnya bahagia.Dalam pengertian yang lain, dia menyuruhku mendefinisikan sebuah kata yang paling absurd dan paling tak masuk akal di kolong langit dan di muka bumi ini.Yaitu; cinta!“Fat?” Ulang Mira bertanya.“Andai saja aku menerima kamu, apa yang akan kamu lakukan?”Maka, segala apa pun itu yang pernah terjadi di dalam kehidupanku, melintas-lintas secepat cahaya di depan mataku. Flash..! Flash..!Bayangan-bayangan kegembiraan dan kebahagiaan dalam maknanya yang paling bersahaja dan paling asal, semuanya hadir di dalam ruang memoriku.Aku pernah merasa begitu berarti ketika menemani Ainun adikku menanam bu
Bab 221: Setipis Kulit Ari**“Dari Ibu? Maksud kamu, Ibu Tata?”“Iya.”“Apa ini?”Aku pun menerima sesuatu itu dari tangan Yana, yang segera putar badan, kembali ke arah toko.Sedetik kemudian aku menyadari bahwa ini adalah sebuah kartu nama, dengan warnanya yang putih susu dengan sedikit gradasi emas dan abu-abu.Masih berdiri di samping motorku, aku pun membaca dan mencermati kartu nama pemberian Mira ini.Pertama-tama, tentu saja nama Altamira dan nama tokonya sendiri yaitu Tata Collection.Lalu yang kedua, adalah alamat toko ini. Iya, aku tahu, letaknya memang di sini. Itu, 30 meter di belakangku.Lalu yang berikutnya, persis di bagian yang paling bawah, adalah alamat rumah di suatu kawasan elit yang terletak di bagian timur kota Bandar Baru sana.Aku mencoba menalari sebuah kronologi dari masa lalu, bahwa setelah Mira bercerai dari suaminya dulu, mungkin ini a
Bab 222: Para Pendekar**Apakah aku harus membeli cincin lamaran itu sekarang?Aku memang masih punya sedikit uang, sisa dari pemberian Johan sebelum dia pergi ke Jakarta beberapa hari yang lalu. Yaitu uang yang sedianya akan aku belikan anak kambing di Taluk Kuantan.Namun, tiba-tiba saja, aku teringat sesuatu. Karena itulah aku menggerakkan tanganku, meraih tas sandang yang tadi aku letakkan di atas meja.Entah apa yang aku rasakan sekarang ini. Pastinya, hatiku berdebar keras, seirama dengan tanganku yang gemetaran saat membuka resleting tasku dan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah marun nan kusam.Dengan hati yang berdebaran aku pun membuka kotak kecil dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalamnya. Ini adalah cincin milik Ibu. Cincin emas putih dengan permatanya berupa batu kecubung es nan bening.Aku pun teringat pada dialogku dengan bayangan Kassandra yang dulu selalu kuhadir-hadirkan di dalam khayalanku.“Aku
Bab 223: Anak Kambing**“Kami dihadang oleh para pendekar!”“Pendekar??”“Iya, Fat.” Sahut Bang Idris.“Mereka semua jago-jago, Fat!” Sambung Pak Ciko pula.“Benar, hiii.., mengerikan!”Para ‘utusan’ ini telah gagal dalam menjalankan tugas mereka. Aroma kekalahan sudah bisa aku cium dari baju-baju yang mereka pakai, dan aku tak ingin pula melihat bagaimana bentuknya di wajah-wajah orang yang aku hormati ini.Aku pun menunduk sembari menelan ludah. Lamaranku pasti telah ditolak oleh keluarga Mira. Aku langsung lemas.Setidaknya, mereka telah maju ke medan perang. Paling tidak, mereka sudah mencoba untuk berjuang.Sementara itu, tanpa aku tahu, Pak Husni, Pak Ciko dan lain-lainnya sedang tersenyum simpul dan saling memberi kode, dan itu entah apa artinya.“Pendekar seperti apa yang menghadang, Pak?” Tanyaku dengan hati yang k
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik