“Sembarangan,” ucap Safira sambil melepaskan pelukan suami.
Sagara menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Pipi Safira kini bersentuhan dengan dada suaminya. Sagara mengelus-ngelus lembut kepada istrinya yang masih mengenakan kerudung.
“Kalau aku bantu buka kerudungmu boleh?”
Sebenarnya Safira merasakan kehangatan dan kenyamanan saat berada di pelukan Sagara. Namun dia berusaha menghindar.
Aku nggak boleh terbuai, kata hati Safira.
“Enggak,” jawab Safira ketus.
Safira pun segera melangkah masuk ke kamar mandi, namun tangannya langkah tertahan, tangannya ditarik ke pelukan Sagara.
“Lepaskan, apa-apaan sih? Aku mau ganti baju dulu,” ungkap Safira, ketus.
“Oke, aku lepas,” kata Sagara. “Nanti kita bisa tidur bareng kan?”
“Jangan harap!” kata Safira sambil menutup kamar mandi. Setelah kamar mandi terkunci, dia dengan leluasa mengganti pak
“Aku mau keluar dulu. Kayaknya sore-sore begini di luar seger,” ucap Safira.“Kamu biarin aku sendirian ya, Yang?”“Kalau ada aku, kamu nggak bisa istirahat.”“Enggak, aku pengen ditemani kamu, Yang,” ucap Sagara masih belum melepaskan tangan istrinya.“Oke, kalau gitu. Aku temani, kamu.”Safira kembali duduk.“Nah gini, dong. Aku seneng banget, bisa deket-deketan sama istriku tercinta,” ucap Sagara sambil mengelus-ngelus tangan istrinya.Safira pun mendekat ke arah kepala suaminya. Dia mengusap-usap kepala suaminya.“Maafin aku ya, Yang. Aku sudah zalim sama kamu,” ucap Safira dengan tulus. Air matanya berderai. Dia pun mengecup kening suaminya yang masih terasa panas. Air matanya sebagai tumpah ke wajah suaminya.“Nggak usah minta maaf. Justru akulah yang harusnya minta maaf. Dosaku padamu sangat banyak. Mudah-mudaha
Safira meninju tangan Sagara.“Ngomong apaan sih kamu ini?” tanya Safira ketus. “Jangan jadikan fatwa dokter tadi sebagai senjata kamu ya. Enggak… kamu nggak akan menang… Aku belum seratus persen percaya padamu.”Sagara terhenyak mendengar ucapan terakhir istrinya.Pantas saja, dia selama ini dia belum rela menerima dirinya sepenuhnya, padahal dia sudah merasa sepenuhnya melakukan segala upaya agar mendapatkan tempat di hati Safira.“Apa yang menghalangimu untuk percaya seratus persen padaku?”“Udah ah, jangan bahas ayo, jalan!” pinta Safira.“Aku nggak mau jalan kalo kamu belum berikan penjelasan.”“Ayo, ah. Udah ya. Aku cape, Yang! Aku nggak mau membahasnya.”“Aku ingin kita tuntaskan semuanya. Aku nggak mau kamu terus-terusan begini,” kata Sagara sambil menatap Safira dan mendekatkan wajahnya ke arah Safira.
“Ya, resep asli Purwakarta, Mas,” jawab pramusaji.“Berapa seporsinya Kang?”“Lima puluh ribu. Mau berapa porsi, Mas.”Sagara teringat Mama dan Papa dan semua anggota keluarga. Dia pun memesan agak banyak.“Tiga porsi deh.”Setelah menunggu sekian lama, Sagara akhirnya meluncur pulang dengan hati yang riang. Dia membawakan satu porsi untuk istrinya, dua porsinya lagi di taruh di meja makan.Kalau nggak dimakan sekarang, bisa dimakan besok, kata hati Sagara.Sagara segera masuk kamar. Di sana istrinya sudah menunggu. Di hadapannya lengkap ada sepiring nasi.“Ini, Yang. Maaf ya, agak lama tadi motornya mogok,” ujar Sagara.“Alhamdulillah, akhirnya dapat juga.”Safira pun menikmati Sate Maranggi dan nasi dengan lahap.“Kamu makan bareng sama aku ya,” pinta Safira.“Lha kalau gitu aku jadi ngidam
“Apa yang dilakukan Ara itu sebuah kesalahan besar. Shalat Taubat sudah pasti harus dilakukan. Ya kita juga harus lakukan shalat itu, kita juga selama ini ikut andil karena kita mungkin ada yang salah saat mendidiknya. Ada yang harus kita benahi dari parenting kita, Pa.”“Sepakat. Insya Allah, kita akan terus berbenah. Papa akan agendakan ngobrol dengan Ara, terkait shalat Taubat ini.”“Pa, kita ajak mereka nginep di rumah ya?” kata istri Ustaz Reza.“Kita coba ya...”Usai acara wisuda itu, mereka pun pulang. Namun sebelum melajukan kendaraan, Ustaz Reza meminta izin kepada Pak Indra.“Pak, saya bermaksud mau ajak Fira dan Ara nginep di rumah ya?”“Ya, silakan. Alhamdulillah sekarang Fira sudah plong. Dia lebih leluasa.”Seperti hal saat berangkat, Sagara dan Safira masuk ke mobil Ustaz Reza. Sedangkan Berliana masuk ke mobil Pak
Sore itu, dua ruangan di rumah Ustaz Reza dipenuhi jamaah. Ruangan satu dipenuhi oleh kaum ibu majelis taklim. Sedangkan ruangan lainnya dipenuhi kaum bapaknya.Safira dan ibu mertuanya turut berdoa di antara jajaran ibu-ibu. Sedangkan Sagara dan Ustaz Reza duduk di antara kaum Bapak.Ustaz Reza sendiri yang memimpin pengajian. Acara dimulai dengan tausiyah dari Ustaz Reza. Selanjutnya ada pembacaan surah Al-Quran. Dan terakhir ditutup dengan doa.“Terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu semuanya. Silakan hidangannya dinikmati,” ucap Ustaz Reza saat pengajian telah selesai.Para jamaah mencicipi hidangan. Dan ketika mereka pulang, mereka pun diberikan nasi kotak.Safira dan Ibu mertuanya membagikan nasi kota itu di depan pintu kepada jamaah yang pulang. Dia juga dibantu oleh kayak Sagara yang perempuan.Demikian pula dengan Ustaz Reza dan Sagara. Kedua membagikan kepada jamaah laki-laki. Mereka melakukannya hanya
“Aku punya beberapa pilihan nama. Tapi ini untuk nama depannya dulu aja. Nama belakangnya nanti cari ide lagi,” kata Sagara setelah berpikir selama beberapa menit.“Coba sebutin, aku penasaran,” pinta Safira sambil bergelayut di bahu suaminya.“Reina...” kata Sagara.“Hmmm… bagus,” ungkap Safira. “Terus apa lagi?”“Yang kedua, Tiara.”“Oke, noted. Yang lainnya?”“Moana,” ucap Sagara sambil tersenyum.“Kok Moana sih… kayak karakter di film aja.”“Kan yang ketiga ini biar sama maknanya kayak aku, Samudra. Kalau yang pertama, maknanya udah dekat sama namamu, dari nama batu mulia, Tiara itu Mutiara. Reina itu permata, kata itu dari bahasa Jepang.”“Ooh gitu, ya. Kamu suka yang mana?” tanya Safira.“Yang pertama atau yang kedua. Dua-duanya bagus.”“Ak
Safira berbaring di tepi ranjang, memandangi putrinya yang berada di tabung kaca dengan berlinang air mata. Putrinya terlahir prematur.“Jadinya siapa nama putri kita?” tanya Safira.“Tiara Sagara Putri,” kata Sagara.“Aku ikut saja, nanti panggilannya Tiar aja,” kata Safira tersenyum.“Tiar, wah kedengarannya sangat bagus. Pasti dia sangat suka dipanggil begitu.”“Kamu jangan sedih ya, insya Allah malaikat kecil kita akan kuat,” kata Sagara sambil merangkul istrinya.“Makasih, Sayang. Kamu sudah mendampingiku di saat-saat kritis.”Safira membayangkan kesakitan saat dia menjalani persalinan. Sagara tak beranjak sedikitpun di sisinya. Bahkan saat itu, pegangan tangan Sagara menguatkannya.“Nggak perlu makasih, Yang. Tugas dan kewajibanku sekarang adalah menjagamu. Enggak hanya kamu, sekarang ditambah aku harus menjaga Tiar.”
“Mohon maaf, kami hanya bisa berikhtiar. Takdir Allah berkata lain,” kata seorang dokter laki-laki memberikan kabar pedih itu di hadapan Safira dan seluruh keluarganya.“Tidak… anakku masih hidup. Kamu bisa bertahan, kamu akan kuat, Nak,” Safira tergugu. Tubuhnya yang lunglai ditopang oleh Sagara.Saat tiba di rumah sakit, nyawa si kecil Tiar tak terselamatkan. Dia sudah tak bernyawa. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakitSafira menatap jasad putrinya dengan berlinang air mata.“Nak, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa,” Safira mengajak jenazah si kecil Tiar.Semua yang menyaksikan pemandangan itu, tentu amat tersayat.Sagara memeluk Safira dengan erat. “Sayang, kamu harus kuat. Benar kata pak dokter, ini sudah takdir Allah. Sekarang kita harus bersiap mengurus pemakaman Tiar,” ucap Sagara.“Tidak. Dia nggak boleh d