"Kak Zayyad.." Sepasang mata Faqih membulat lebar tampak berkaca-kaca memohon. Penampilannya itu persis seperti anak kecil yang merengek meminta perdamaian.
Alina menatap Faqih berkedip tak percaya. Ia ragu seseorang yang dilihatnya itu baru saja mendapatkan gelar magister. Jika diperhatikan, Faqih lebih seperti bocah ingusan dengan seragam putih abu-abu, 'Benar-benar bocah!'
"Dia tiba-tiba datang ke rumah!" Faqih menunjuk Bakri, gaya bicaranya persis seperti anak kecil yang sedang melaporkan sesuatu yang tidak disenanginya pada sang ibu, "Tiba-tiba menyuruhku untuk ke perusahaan menggantikan posisi mu"
"Lalu?" Zayyad menaikkan salah satu alisnya.
"Aku menolak!"
"Bawa dia pergi ke perusahaan. Karena ini hari pertamanya, perkenalkan padanya tempat-tempat di perusahaan dan sekilas sistem kinerja tiap divisi dan struktur organisasi" Titah Zayyad pada Bakri, mengacuhkan penolakan Faqih.
"Baik pak" Bakri mengangguk sopan.
"Kak Zayya
Alina berjalan malas ke sofa dan duduk di samping Zayyad yang tengah tenggelam dalam bacaannya. Alina melipat kedua tangannya di depan dada, kepalanya menoleh tepat ke wajah tampan Zayyad yang tampak begitu tenang dan larut membaca buku di tangannya. Zayyad yang cukup fokus, tidak tau kalau Alina sudah duduk di sampingnya. Zayyad bahkan sama sekali tidak sadar akan sepasang mata yang terus memandanginya. "Zayyad" Alina yang sudah bosan menunggu Zayyad menyadari keberadaannya, akhirnya memanggil. "..." Zayyad membalik halaman buku, suara Alina yang cukup pelan tidak merusak konsentrasinya pada bacaan. Alina menghela nafas panjang, itu bukan kali pertama, "Zayyad" "..." Zayyad mengerutkan kening, sepertinya terjebak pada bagian sulit di bacaannya. "Zayyaadd.." Yang ketiga kalinya, Alina memutuskan untuk menaikkan suaranya tiga tingkat lebih keras. "Sejak kapan kau di situ?" Zayyad tertegun, menurunkan buku dari pandangannya, meno
Alina berpikir keras, apakah cocok menghubungkan ratai makanan dengan perbuatan baik manusia? Menurutnya itu.., "K-ku rasa itu tidak ada hubungannya" Mendengar itu bibir Zayyad melengkung ke atas, tersenyum cerah. Detik itu mata coklatnya tampak berbinar cantik. Di mata Alina yang melihatnya, itu cukup menawan. Alina nyaris terpaku beberapa detik, seakan senyuman indah itu berhasil menghipnotisnya. "Biarpun tidak ada hubungannya, tapi konsep rantai makanan dapat mengajarkan kita untuk tidak egois dan tidak perlu mengharapkan balasan atas setiap kebaikan yang kita lakukan" Tutur Zayyad, kata-kata terus mengalir dengan tenang dari mulutnya, "Seperti kebaikan rumput yang merelakan dirinya menjadi makanan kambing, telah membawa kemaslahatan pada organisme lainnya. Kambing menjadi gemuk, lalu dimakan serigala dan serigala mati menjadi santapan cacing dan belatung" "Jadi kau ingin berkorban seperti rumput yang hanya hidup untuk kebutuhan orang lain?" Alina sungguh
"Kenapa kau bisa berpikir begitu? Jika Alina tau...anak itu pasti akan sangat kecewa" Irsyad sebenarnya merasa sangat bersalah. Sudah berapa kali ia harus berbohong pada Alina. Sungguh tidak tau bagaimana nanti, ia menghadapi Alina jika seandainya semua kebohongan itu terkuak. "Aku adalah neneknya, bagaimana mungkin aku tidak tau?" Ya. Hanya sesederhana itu. Karena Alina adalah cucu semata wayangnya. Yang besar dan tumbuh dibawah naungannya. Tentu saja Erina yang paling jelas tau seperti apa Alina. "Bukankah kau tau, nasib putri semata wayang ku yang kini dalam pusat rehabilitasi mental?" Irsyad mengangguk pelan, matanya menatap kearah lain. "Bukan tidak mungkin Alina akan begitu... dan peluang hal itu terjadi padanya juga cukup besar. Ada kemungkinan itu dapat menurun. Jadi, aku hanya ingin melenyapkan segala kemungkinan yang terjadi..." "Jadi kau khawatir apa yang dialami putrimu akan menurun pada cucumu? Erina, Alina mungkin tidak selemah y
Alina dan Zayyad sudah berada di supermarket. Persis seperti yang dikatakan Alina, orang-orang di sana ketika melihat bibir Zayyad yang penuh luka, tidak ada satupun di antara mereka yang menatap dengan lelucon. Daripada itu, mereka semua menyuguhkan tatapan kasihan yang berhasil membuat Zayyad tidak nyaman. Merasakan ketidaknyamanan Zayyad, Alina langsung menarik Zayyad lebih dekat dengannya, "Jangan pedulikan tatapan mereka, anggap saja semua itu tidak ada" "Rasanya sulit" Hampir di setiap langkah Zayyad bertemu dengan tatapan yang penuh tanda tanya atau mengasihani dirinya. Bagaimana bisa ia dapat dengan mudah menganggap itu tidak ada? "Kalau begitu bersikaplah acuh tak acuh seperti kali pertama kita bertemu, apa itu juga sulit?" "Oh!" Zayyad tertegun. 'Alina masih mengingatnya?' Zayyad langsung bersikap acuh tak acuh, tak menghiraukan tatapan orang-orang yang kian beragam tiap kali terpusat melirik ke bibirnya. "Ku rasa itu memang
Setiba di vila, Alina belum berhenti tertawa mengingat kejadian di supermarket yang cukup menggelitik perutnya sampai sakit. Zayyad benar-benar menuruti ucapannya. Zayyad pergi memilih ikan segar dan daging yang berkualitas untuk kedua ibu-ibu itu. Alina masih ingat usaha keras Zayyad yang berjalan berjauhan dari jangkauan dua wanita paruh baya itu. Tapi yang Alina tidak habis pikir, ibu-ibu itu yang sepertinya tidak peka, hanya pergi berjalan lebih dekat ke Zayyad. Alhasil Alina melihat Zayyad berjalan cepat dan kedua ibu-ibu itu juga ikut melakukan hal yang sama hanya untuk mengimbangi langkah mereka dengan Zayyad. Tepat ketika mendapati tubuh Zayyad yang bergetar gugup, dua wanita paruh baya itu tersadar. Baru saat itu mereka mengerti situasi tidak nyaman Zayyad dan pergi mengobrol dengan Alina seraya menunggu Zayyad memilih. Membayangkan itu, Alina menggelengkan kepalanya tak percaya, "Ah, harusnya aku merekamnya tadi. Agar kau bisa melihatnya unt
"Em" Zayyad hanya mengangguk kecil, tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang berawan sendu. Pelan Zayyad menarik kedua tangannya dari memeluk erat pinggang kecil Alina. "Aku permisi ke atas dulu" Sopan Zayyad berbicara pada Erina dan Irsyad. Kemudian ia pergi meninggalkan ruang tamu dan bergegas menaiki anak tangga menuju atas. Suasana seketika menjadi hening. Irsyad dan Erina sekilas beradu pandang. "Nenek tau, pasti ada masalah kan?" Melihat tingkah Zayyad begitu, pasti ada sesuatu yang terjadi antara keduanya. Alina menghela nafas tak berdaya. Zayyad tidak bekerjasama dengan baik kali ini. Jadi ia tidak punya hal apapun untuk dijadikan penyangkalan, "Ya" Meremas tangannya, Alina sudah siap menerima ceramah panjang dari mulut neneknya yang tentu saja— sangat membosankan! Tapi Alina sudah putuskan untuk hanya diam dan mendengarkan. Namun tepat beberapa menit sudah berlalu. Alina mengangkat wajahnya, mendapati neneknya yang hanya mengulas senyum
"Jangan jadikan pengobatan nenek sebagai dalih Alin untuk menolak. Pengobatan nenek itu minggu depan. Irsyad juga sudah mengurus semuanya, jadi Alin tidak perlu khawatir.." Jelas Erina, mata tuanya tersenyum lembut. Walau jauh di lubuk hatinya, ia merasa bersalah karena sudah berbohong pada cucunya. "Tapi nek—" Alina baru saja akan berbicara hanya untuk dipotong... "Tidak ada tapi-tapian!" Lantang Erina berbicara. Mata tuanya menatap Alina dan Zayyad tegas, sama sekali tidak menerima 'kata' penolakan, " Tiket bulan madu kalian sudah dipesan dan itu besok. Jadi tidak ada kata pembatalan!" "A-apa? Besok?" Alina seperti baru saja mendengar guntur dari langit. Itu bahkan lebih dari kata mengejutkan. "Tenang saja..kalian tidak perlu menyiapkan apapun, karena aku dan Irsyad sudah mengatur semuanya. Kalian hanya tinggal pergi dan nikmati paket bulan madu yang sudah kami siapkan" Ya, semua sudah Erina siapkan bersama Irsyad tepat sepulang dari rumah sakit. Di
"Apa karena besok?" Zayyad mengangkat kepalanya, matanya mendarat tepat di wajah Alina yang tampak cukup menawan dengan rambut hitam legam tergerai bebas membingkai wajah tirusnya yang cantik. "Em" Angguk Alina, matanya menatap ke bawah. Merenungi tubuh atas Zayyad yang bertelanjang dada tampak setengah tertutupi air kolam yang dingin, "Besok akan menjadi bulan madu kita, sekalipun tidak manis bukan berarti aku ingin itu menjadi pahit.." Alina memperhatikan sepasang bahu Zayyad hingga ke bagian punggung belakangnya, itu berotot dan tampak mengilap basah oleh air dan bermandikan cahaya rembulan. Zayyad merasa agak kecewa dengan jawaban Alina, terus mengambil secangkir kopi yang baru saja tersentuh sedikit dan meminumnya sampai habis. "Kau tidak takut tidak bisa tidur?" Itu mengejutkan. Alina tidak berniat mendesak Zayyad harus sampai menghabiskan cangkirnya. Tapi Zayyad sungguh tak terduga, mengosongkannya dalam waktu singkat. "Aku masih ingin berenang