Raut wajah kebingungan Zayyad masih terngiang jelas di otaknya. Itu membuat Alina terdiam, memutar otaknya dan berpikir...
Alina berpikir keras apa masalahnya? karena ia sangat jarang masuk angin. Setiap hari ia selalu memiliki jadwal makan yang teratur dan pastinya sehat karena Zayyad benar-benar mengaturnya dengan baik. Hingga terbersit kemungkinan terakhir yang mendadak membuat dunia Alina seakan berhenti berputar."Tidak mungkin" Memikirkan itu, Alina nyaris saja jatuh seakan kehilangan tempatnya berpijak.Pergi keluar kamar mandi, Alina berjalan lemah mendatangi ibunya. Pelan Alina mendekat, mendaratkan sebuah kecupan lembut di kening ibunya, "Bu, Alin pulang dulu ya"Alina pun bergegas pergi meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Berjalan kaki di sepanjang jalan yang sepi, Alina terus memperhatikan kalender di layar ponsel. Berkali-kali Alina menggelengkan kepalanya mendapati fakta bahwa ia sudah terlambat sepuluh hari, "Ini tidakZayyad membantu Alina berbaring. Mengambil bantal dan meletakkannya di kepala ranjang, Zayyad perlahan membuat Alina bersandar. Zayyad dapat melihat Alina yang terduduk lemas dengan wajah pucat pasi. Mengambil cangkir yang ada di atas meja, Zayyad menyodorkannya pada Alina, "Minumlah, ini air madu hangat"Alina menerima cangkir itu dan menyesapnya sedikit. Rasanya sudah tidak begitu hangat. Lalu ia menyerahkan cangkir itu ke Zayyad untuk di letakkan kembali keatas meja, "Aku mau minum air putih""Aku pergi ambil!" Zayyad bergegas bangun dari ranjang."Satu botol besar ya" Pinta Alina.Zayyad menautkan sepasang alisnya, merasa heran karena Alina tidak pernah minum sebanyak itu, "Em"Melihat Zayyad yang sudah keluar dari kamar, Alina menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Ragu ia meraba permukaan perut datarnya. Ada rasa takut dan hatinya bertanya— 'Apakah sungguh ada kehidupan di sana?'"Tidak ada, ini kosong" Alina meng
"Berkomunikasi dengan perut mu" Ujar Zayyad dengan santainya. Ia lalu berhenti mengusap perut Alina, menyadari kalau wanita itu tidak nyaman dengan perlakuannya, "M-maaf"Alina tidak berkata apa-apa. Ia terus melahap habis satu-persatu roti bakar yang ada di piring. Setelah semua itu ludes habis masuk memenuhi perutnya, Alina merasa sangat kenyang. Di samping itu Zayyad sudah pergi duduk di sofa, membaca buku. Alina yang belum mengantuk, memilih untuk bermain ponsel. Kali ini ia ingin melupakan sesaat mengenai dua garis merah dan segala keganjilan yang ia rasakan seharian ini.Hingga beberapa menit berlalu, sepasang kelopak mata Alina terasa berat. Tak butuh berapa lama hingga kepalanya terkulai jatuh menepuk bantal. Zayyad baru saja menutup buku bacaannya dan tanpa sengaja menoleh kearah ranjang. Zayyad melihat Alina sudah tertidur pulas. Zayyad beranjak dari duduknya dan meletakkan buku yang baru saja dibacanya di rak.Berjalan mendatangi ranjang, Zayyad mengu
Menjelang senja, Zayyad baru kembali ke vila. Itu karena ia menghabiskan cukup banyak waktu di perusahaan, mengajarkan Faqih mengenai beberapa proposal yang akan pria itu tangani kedepannya sebagai CEO perusahaan. Setiba di ruang tamu, Zayyad tidak menemukan batang hidung Alina. Ia pun berlari cepat menaiki anak tangga mengira Alina masih terbaring lemah di atas ranjang.Membuka pintu kamar, yang Zayyad temukan hanya ranjang yang masih memperlihatkan bekas baru saja ditiduri dan itu sedikit berantakan, "Di mana Alina?" Sepasang alis Zayyad tertaut, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya yang cukup luas.Suara air dari kamar mandi menjadi jawaban. Zayyad pun pergi ke kamar mandi dan mengetuk pelan pintu, "Alina.."Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya pancuran air deras dan samar-samar..."Alina kau di dalam?" Zayyad mendengar suara tangis.Masih tidak ada respon apapun dari seseorang yang berada di dalam sana. Itu membuat Zayy
Alina menarik diri dari dekapan Zayyad yang hangat dan candu. Wajahnya yang basah dan sembab itu mengarah tepat ke wajah Zayyad yang menatapnya serius dan dalam."Jangan berpikir untuk mengakhiri apapun.." Jari-jemari Zayyad pergi menyisir lembut anak rambut di pinggiran dahi Alina, "Ada aku bersamamu..""..." Alina hanya diam dengan sepasang bibir bawah dan atas bergetar."Kita akan menghadapinya bersama"Bola mata hitam Alina lagi-lagi bergetar. Rasa panas di kedua matanya mulai merambat jauh hingga ke pangkal hidung yang mulai terasa asam dan pekat."Jadi jangan takut—" Jempol Zayyad pergi mengusap pelan belahan pipi Alina, "Dan jangan berpikir untuk kabur.."Derai air mata Alina kembali berjatuhan. Hanya saja kali ini ia menangis dengan bibir bergetar tanpa Isak tangis yang keras seperti sebelumnya. Tangan kanannya tanpa sadar sudah mengusap lembut perutnya yang masih rata. Bersamaan dengan itu tangan Zayyad terulur ke depan,
Bangun pagi, hal yang pertama kali Alina lakukan adalah berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Alina bersandar lemas ke dinding, itu benar-benar melelahkan. Setelahnya Alina pergi mandi dan bersiap-siap berpakaian.Turun ke lantai bawah, seperti biasa Zayyad sudah menyiapkan sarapan pagi di meja. Alina menarik kursi dan duduk. Baru saja tangannya mengambil segelas susu vanilla dan meminumnya seteguk—"Ugh-" Alina refleks meletakkan gelas ke meja dan membekap rapat mulutnya."Ugh!" Alina terus berlari ke dapur, tanpa sengaja bertabrakan dengan Zayyad yang baru saja melepaskan celemek. Hal itu menyebabkan Zayyad bersinggungan dengan sudut meja. Menoleh ke belakang, Zayyad terkejut mendapati Alina yang berlari ke tempat cuci piring, membungkukkan wajah dan—"Hoek..""Hoekk.."Tampak Alina muntah-muntah berat dan pemandangan itu tidak jauh berbeda dengan kemarin."Alina, katamu semalam bukan apa-apa" Zayyad meletakkan celemek yang baru
Karena semalaman Alina tidak memperoleh tidur yang cukup akibat insomnia nya dan aroma tubuh Zayyad yang tidak bekerja sebagai obatnya terlelap cepat, membuat Alina tertidur pulas seharian di atas ranjang.Sedangkan Zayyad sibuk bersih-bersih di lantai bawah, membantu paman Ferdi seperti biasanya. Itu pekerjaan rutinnya semenjak mengundurkan diri dari posisi CEO perusahaan."Nak Zayyad sampai kapan akan terus seperti ini?" Tanya Ferdi yang sibuk membersihkan debu-debu di setiap keramik hias yang ada di sekitar ruang tamu dengan kemoceng di tangannya.Zayyad yang tengah menyapu lantai sesaat menoleh pada pria tua yang sudah seperti keluarganya itu, "Seperti ini bagaimana maksud paman?""Ya seperti sekarang ini.." Ferdi mengayunkan kemoceng ditangannya menunjuk tepat kearah Zayyad yang tengah sibuk menyapu, "Berdiam di vila dan mengerjakan pekerjaan rumah seharian" Tukasnya, "Apa nak Zayyad serius akan melakukan hal ini selamanya dan tidak bekerja?"
Sore harinya, Alina tiduran malas di atas sofa sambil menonton televisi. Di depan meja penuh dengan tumpukan piring kotor akibat ulahnya yang tidak berhenti-henti makan. Zayyad yang duduk di sofa tunggal menatap meja separuh tak percaya. Ia sadar itu bukan porsi makan Alina yang seperti biasanya.Karena biasanya wanita itu hanya rutin makan tiga kali sehari dan selebihnya Alina hanya memiliki beberapa makanan ringan seperti biskuit.Tapi piring-piring di meja itu adalah bekas dari— roti bakar keju, omelette, spagetti, pancake, dan salad buah. Zayyad sibuk mengolah semua itu sampai tidak bisa tidur siang."Zayyad, aku mau salad buahnya lagi. Masih ada kan di dapur?" Kepala Alina yang bertopang dagu itu menatap fokus ke layar televisi."Lagiii?"Pekikan Zayyad itu membuat Alina menyipitkan matanya tak tahan. Gendang telinganya nyaris saja pecah."Kau menjerit kenapa sih? Memang ada yang salah jika aku mau nambah lagi?" Alina dengan
"Kalau mengikuti konsep awal, suami yang bersikap penuh kasih tadi..itu harus turut membantu sang istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Karena menurutku itu adalah sebagai bentuk apresiasi dan terimakasih pada sang istri karena sudah membantu meringankan bebannya""Tapi sayang, aku tidak pernah menemukan hal seperti itu di sepanjang aku hidup.." Di bawah naungan ayah kandungnya, Alina melihat ibunya hidup dalam kehancuran. Di dalam keluarga baru bersama ayah tirinya, Alina melihat ibunya terjerat dalam ketidakbahagiaan."Bagaimana, jika aku mengajak mu untuk memulainya dengan ku?"Ajakan Zayyad yang begitu lugas itu membuat Alina tertegun. Mata hitamnya menatap dalam mata Zayyad. Hingga beberapa saat berlalu dalam kekosongan,"Aku tidak yakin""Oh!" Hanya satu kata itu yang terucap. Zayyad tak dapat menahan diri untuk tidak kecewa dan itu terukir jelas di raut wajah tampannya yang sesaat diliputi guratan melankolis."Kau mas