Segerombolan pria yang menunggu di luar, melihat Alina muncul dan mengatakan teman mereka sudah tepar, terus memasang tampang terkejut. Alina yang terlalu malas menunggu, langsung menarik salah seorang dari mereka masuk kedalam dan pintu di tutup.
Pria itu tersenyum malu-malu melihat Alina yang begitu berinisiatif. Menoleh kearah ranjang, ia melihat si gemuk sudah terbaring tak sadarkan diri. Entah kenapa, rasanya ia sulit mempercayai apa yang ia lihat.
"Kemari lah!" Alina melambai ke arah pria itu, menggodanya untuk datang mendekat.
Pria itu dengan senang hati mendatangi Alina. Tidak mengira akan datang hari dimana seorang wanita cantik datang menggodanya.
Mengulurkan tangannya, ia menarik tubuh kurus Alina jatuh kedalam pelukannya. Aroma mawar yang kuat, memenuhi indra penciumannya. Menjatuhkan bibirnya di ceruk leher wanita itu, ia dengan rakus menciumnya. Sedangkan tangannya dengan nakal mulai menggerayangi tubuh lembut itu.
Alina menekan
Alina duduk bersandar di sebuah pohon besar. Sekitar begitu gelap, hanya ada secercah sinar rembulan yang menerangi. Dahan pohon yang bergoyang lirih. Semilir angin yang berhembus pelan. Nyanyian binatang kecil yang samar-samar kian bersahutan. Memeluk tubuhnya erat, Alina semakin dilanda ketakutan. Ia berusaha keras mengandalkan dirinya untuk melawan rasa takut itu. Tapi beberapa menit berlalu, tubuh kurusnya bergetar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali, mencoba keras untuk menampik segala pikiran negatif yang muncul di otaknya. Hanya saja ketakutan yang menguasai dirinya, membentuk halusinasi yang beruntun. Bayang-bayang putih, jeritan suara, penampakan— segalanya berputar menguasai pikirannya. Terakhir Alina menangis. Kata-kata Maya terus saja terlintas di benaknya. Hingga bibirnya yang memucat, perlahan mengucapkan, "Allah.." "Allah" "Allah" Alina memejamkan matanya. Mulutnya yang bergetar, terus menyebut
Setetes embun jatuh mengenai pipi Alina yang sedang tertidur lelap di bawah naungan pohon. Ia sama sekali tidak terjaga sampai matahari terbit sempurna di ufuk timur, sinar keemasan itu jatuh di atas kulit putihnya yang halus. Mengerutkan alisnya, perlahan kelopak mata Alina terbuka dan melihat hari sudah pagi.Alina merentangkan kedua tangannya dan meluruskan punggungnya. Semalaman tidur dalam posisi duduk bersandar di pohon membuat seluruh tubuhnya terasa pegal, "Ternyata sungguh bukan mimpi"Melihat sekeliling yang hanya ada lahan kosong dan ilalang, membuat Alina sadar. Malam panjang yang cukup menakutkan itu benar adanya. Ia mengira akan mati karena ketakutan semalam, tidak tau kantuk datang dan ia tertidur pulas, "Aku harus segera pergi dari sini"Alina perlahan bangun, menepuk-nepuk tanah yang mengotori sebagian gaunnya. Kemudian ia berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Keningnya berkerut, menahan nyeri pada kedua telapak kakinya yang sudah lec
Zayyad melihat penampilan Alina yang begitu berantakan dan yang paling mengejutkannya—wanita itu tidak mengenakan penutup kepalanya, "Apa mereka melakukan sesuatu padamu?" Tanya Zayyad, terdengar cemas. Ia tidak akan pernah memaafkan siapapun yang telah melecehkan istrinya.Alina menggelengkan kepalanya, lesu. Mata hitamnya berkilat sedikit kesedihan yang bercampur dengan api kebencian, "Tidak, hanya saja aku benci karena mereka melihat rambut ku"Zayyad mengepalkan tangannya dan hawa dingin menguasai dirinya. Ia tau betapa Alina menjaga dengan baik mahkota hitamnya, karena benci dilihat oleh para lelaki. Dan para bajingan itu melepas hijabnya? Ia sebagai suaminya, tidak bisa menerima hal itu. Ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga kehormatan istrinya, "Bakri menghubungi ku, para bajingan itu sudah diboyong ke kantor polisi"Mendengar hal itu, mata Alina tersenyum dingin. Ia masih ingat dengan jelas, bagaimana tatapan mereka begitu dimanjakan setelah ma
Dokter wanita itu duduk di tepi ranjang dan mulai memeriksa luka di telapak kaki Alina. Itu sangat mengerikan, darah yang sudah lengket tampak menghitam karena tanah. Ada beberapa gelembung kecil yang bernanah muncul memenuhi telapak kaki Alina, "Bu, sebenarnya apa yang anda lakukan dengan kaki ini hingga terluka begitu parah? Alina yang mendengar pertanyaan itu, tersenyum kecil. Ia tidak tau harus menjawab apa. Haruskah ia mengatakan berlari-lari di atas tumpukan kerikil tajam dengan kaki telanjang semalaman? "Apakah itu cukup parah?" Alina tau telapak kakinya terluka dan berdarah. Tapi tidak terpikir olehnya, dokter akan mengatakan hal yang sama seperti Zayyad— lukanya itu parah. "Em" Dokter wanita itu mengangguk dengan serius. Ia membuka kotak obatnya dan mengeluarkan barang-barang yang diperlukan untuk membersihkan luka kaki Alina, "Saya akan membersihkan lukanya dulu, mungkin ini agak menyakitkan, karena sebagiannya sudah bernanah" "Iya dok" Alin
Alina menatap mata coklat Zayyad yang bening dan menawan. Ia dapat merasakan ketulusan pria itu dari sana. Hati wanitanya bergetar, mungkin selama hidupnya, itu adalah pujian yang paling menyenangkan yang pernah ia dengar. Tatapan Alina melembut, hatinya tersenyum, entah kenapa ia merasa sangat bahagia dengan pujian sederhana itu. Kuat, tangguh— dua kata itu sangat bermakna baginya. "Sangat disayangkan, karena wanita kuat seperti mu ditakdirkan bersama pria lemah seperti ku" Zayyad memasukkan handuk ke dalam ember dan memerasnya. Sekilas Alina dapat melihat, ada kabut samar di sepasang mata coklat itu. Meskipun ekspresi wajahnya tidak berubah, tapi ia dapat merasakan aura melankolis yang menguasai Zayyad, "Menurut ku itu tidak buruk" Zayyad sedikit membungkuk, tangannya mulai membasuh tulang selangka Alina dan leher jenjangnya. Mendengar jawaban wanita itu, tangannya berhenti menggosok. Mengangkat kepalanya, tatapannya jatuh pada Alina, "Kenapa?"
Setiba di rumah sakit, Zayyad langsung membawa Alina ke bangsal tempat Erina di rawat. Disana sudah ada Irsyad yang menjaga wanita tua itu. Ketika Zayyad membuka pintu, ia melihat kakeknya yang tengah menatap neneknya Alina dengan ekspresi yang tak terkatakan. Mata tuanya terlihat kuyu dan tubuhnya terlihat mengurus, padahal beberapa waktu lalu kakeknya masih terlihat cukup bugar dengan badan yang terbilang berisi. Alina yang melihat Irsyad, merasakan hal yang sama seperti dipikirkan Zayyad. Irsyad menatap neneknya dengan sorot mata yang berbeda. Tapi ia cukup sulit mengartikan apa itu. "Kalian sudah datang!" Irsyad tersadar dari lamunannya, melihat ke pintu, sudah berdiri Zayyad dan Alina yang baru saja datang. Zayyad dan Alina melangkah masuk kedalam. Irsyad terus bangun, mempersilakan Alina duduk. Zayyad mengambil posisi berdiri di dekat ranjang. "Kau baik-baik saja?" Irsyad bertanya pada Alina. Ia tidak mengira Zayyad sungguh menemukan wanita ini
Bibir Alina menegang. Beberapa saat, matanya tidak berkedip, membatu dan mengulang pertanyaan itu dalam hatinya, 'mulai mencintai Zayyad?' Otaknya bekerja cepat, membuat kesimpulan dan mulutnya terbuka dengan tegas berkata, "Tidak!"Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya."Jadi sejauh ini, Alin belum bisa menerima Zayyad?" Erina terlihat kecewa. Meskipun selama ini ia sadar, kebersamaan Alina dengan Zayyad hanyalah tipu muslihat mereka didepannya, tapi ia masih memiliki setitik harapan kalau itu benar adanya.Alina tertegun. Melihat mata tua neneknya yang terlihat sedih, mengepalkan tangannya, ia tau salah. Ia merasa situasinya sangat rumit. Ia yang begitu membenci pria, terjebak dalam situasi dimana harus mencintai jenis itu, dapatkah ia melakukannya?Sejauh ini ia menganggap Zayyad pengecualian dan berhubungan baik dengannya, menurutnya itu sudah melebihi ekspektasinya. Tidak bisakah nenek melihat perjuangannya itu? "Nek..kau mengerti
⚠️ Sensitive content ⚠️ *Bab ini berisi adegan sensitif yang menyimpang, harap bijak dalam membaca dan melewatkannya jika tidak nyaman* Alina sudah berada di taman yang berada di samping rumah sakit. Ia berjalan seorang diri, sekitar sunyi dan tak ada siapapun. Matanya menatap ke bawah, terakhir ia tidak dapat menahannya lagi. Kaca bening yang sudah dipertahankan begitu lama pun pecah, derai air mata meluncur dikedua belah pipinya, "Kenapa? Hiks..kenapa nenek tidak pernah bisa mengerti diriku?" Ia menangis sesenggukan, tubuhnya berguncang dan dadanya terasa sesak. Mendatangi sebuah pohon besar, Alina memukul benda keras dan bertekstur kasar itu berkali-kali untuk meluapkan segala emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tidak berhenti memukul, mengepalkan tangannya, ia memberi tinjunya yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak berhenti melakukannya sampai melihat jari-jemarinya terluka, beberapa bagian k