Ruang tamu rumah Rukmini kembali dipenuhi gelak tawa anak-anak. Reina terus berceloteh riang. Berkali-kali dia mengungkapkan keinginannya agar Surtini mau tinggal bersama keluarga mereka. Sementara Rehan hanya melirik diam-diam dengan sorot mata penuh harap. Keluarga Pratama memang datang lagi seminggu dari kedatangan yang pertama untuk mendengar keputusan Surtini atas tawaran mereka.
Aris berdeham, lalu kembali berbicara, "Jadi, bagaimana, Nak? Kamu mau menerima tawaran kami?"
Surtini tampak menelan ludah. Dia terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum bersuara.
"Tawaran Om dan Tante adalah kesempatan besar bagi saya, tapi ...," Surtini menunduk dalam sebelum melanjutkan, " maaf, Om, Tante, saya tidak bisa menerima."
Semua yang ada di ruang tamu tampak terperanjat. Rukmini sendiri bahkan menatap anak tirinya dengan sorot mata tak percaya. Selama seminggu sejak mendapat tawaran bantuan dari Keluarga Pratama, Surtini memang tidak pernah membicarakannya lagi. Gadis itu seperti disibukkan dengan sekolah dan membantu penjualan kue, sehingga Rukmini mengira Surtini akan menerima tawaran tersebut.
Jawaban Surtini jelas membuat mata Reina menjadi berkaca-kaca. Wajahnya ditekuk.
"Kenapa, Kak? Kakak enggak suka kalo tinggal sama Reina? Apa Reina nyebelin kayak Kak Rehan?"
Surtini menjadi serba salah. Dia tanpa sadar memilin-milin ujung taplak meja. Aris pun cepat mengambil tindakan.
"Reina, enggak boleh ngomong gitu. Ingat kata Papa, kita enggak boleh maksa," tegurnya.
Reina tidak menyahut, malah semakin cemberut. Aris menghela napas berat, lalu memberi isyarat kepada istrinya agar membujuk putri mereka. Sementara Amira merayu Reina, dia kembali menatap Surtini.
"Maaf, Nak Surti, kalau boleh tau, kenapa kamu menolak tawaran kami?"
Surtini sempat terdiam cukup lama sembari menggigit bibir sebelum menjawab, "Saya enggak mau pisah sama Emak, Om. Saya enggak bisa tidur kalo enggak dipeluk Emak, juga kesian Emak nanti enggak ada yang bantu jualan."
Rukmini seketika menghela napas berat. Dia mencengkeram bahu Surtini dengan lembut, membuat anak tirinya menoleh dengan sorot mata memelas.
"Surti, apa maksud kamu? Emak kira, kamu mau terima. Kamu jangan terlalu mikiriin Emak. Soal jualan kue gampang nanti."
"Tapi, Mak ...."
"Pak Aris dan Bu Amira juga mau bantu usaha kue Emak."
"Tetap aja, Mak, nanti Emak bakal repot kalo sendirian. Kak Tuti bentar lagi mau kuliah ke luar kota. Emak bakal sendirian di rumah. Surti juga nanti kalau kangen Emak gimana?"
Rukmini mendecakkan lidah. Sebelumnya, dia ragu menerima tawaran Aris karena takut Surtini yang suka bermanja-manja tidak mau tidak mau pisah dengannya. Namun, jika alasan Surtini menolak karena mengkhawatirkannya, Rukmini menjadi sedih.
Dulu, meskipun berat hati, dia merawat Surtini atas dasar rasa kemanusiaan. Namun, anak pelakor yang dibesarkan dengan terpaksa itu malah tumbuh menjadi gadis berbakti. Rukmini tentu tidak mau menghalangi masa depan putri tirinya.
"Kamu ini benar-benar, ya, Sur. Ini kesempatan untuk masa depan kamu. Kesempatan tidak datang dua kali," bujuk Rukmini lagi.
Aris cepat menengahi. "Sudah, sudah, Bu Rukmini. Tidak perlu dipaksa, kasian Nak Surti. Tapi, tawaran kami akan terus berlaku. Jika Nak Surti tidak mau sekarang, mungkin suatu saat nanti berubah pikiran, kamu bisa menghubungi kami."
"Terima kasih banyak, Om, Tante."
"Justru tawaran kami ini bukan apa-apa jika dibandingkan keberanian kamu menolong Reina, Nak," puji Aris. "Oh iya, Om sama Tante mau bahas soal usaha kue, kalian bisa main dulu, nanti bosan kalau ikut ngobrol sama kami."
Surtini mengangguk. Dia mendekati Reina hendak mengajak bermain. Namun, gadis kecil itu malah memalingkan muka.
"Ya udah, kalau Reina enggak mau main, enggak apa-apa. Mbak Surti main sama Bagus aja deh."
"Mau kok! Reina mau main!" seru Reina sembari melompat dari kursi dan bergelayutan di lengan Surtini.
Semua di ruangan terkekeh kecuali Rehan. Pemuda itu terus saja sibuk dengan ponsel. Meskipun sebenarnya dia melirik Surtini yang tengah mengacak-acak rambut Reina.
Manis ... hei apa yang kupikirkan!
Rehan menggeleng dengan cepat. Amira menatap putranya dengan kening berkerut.
"Kamu kenapa, Rehan? Sakit perut? Demam? Mukamu merah sekali," cecarnya.
Rehan gelagapan.
"Manis ah anu itu, Ma. Kue buatan Bu Rukmini manis dan enak sekali."
Aris tergelak.
"Tuh, kan, Bu Rukmini, Rehan yang enggak terlalu doyan kue juga suka. Seperti yang kami bilang dulu, keahlian Ibu ini bisa jadi peluang usaha menjanji-"
"Ayo, Kak, kita main!"
Rengekan Reina memotong obrolan. Gadis kecil itu sudah menarik-narik tangan Surtini. Mereka pun pamit untuk bermain di luar. Amira menggeleng melihat tingkah manja putrinya. Seperti kemarin-kemarin, dia meminta Rehan mengawasi, sementara para orang tua melanjutkan pembicaraan tentang peluang untuk usaha kue Rukmini.
Sepeninggal anak-anak, obrolan berubah lebih serius, tetapi masih bernuansa sedikit santai. Aris mengajukan beberapa rencana, mulai dari berapa modal yang akan dikucurkan, lokasi strategis memulai usaha bakery, bagi hasil dan tetek bengek lainnya. Amira juga ikut memberikan saran-saran brilian.
"Maaf, ya, Bu Rukmini, untuk 1 tahun pertama, masih ada campur tangan kami. Bukannya kami tidak percaya dengan Ibu. Kami hanya ingin memastikan usaha stabil dulu baru benar-benar dilepas," jelas Aris saat mereka membahas sistem kepemilikan usaha.
Rasa haru memenuhi hati Rukmini. Pertama kalinya dalam hidup wanita itu merasakan memiliki keluarga meskipun tidak benar-benar sedarah. Sejak kecil, Rukmini sudah kehilangan orang tua. Dia dilempar-lempar dari rumah saudara yang satu ke rumah saudara lainnya. Mereka bahkan tega mengusirnya secara halus setelah berusia 18 tahun karena dirasa cukup dewasa untuk mencari uang sendiri.
Rukmini sempat merasa bahagia saat tinggal sendiri dan mendapat gaji lumayan sebagai petugas administrasi di sebuah dealer motor. Namun, nasib buruk masih membayangi hidupnya. Dia kembali mengecap pahitnya kehidupan setelah menikah dengan ayah Hastuti dan Rukmini. Lelaki yang awalnya manis ternyata sangat kasar dan suka main perempuan.
"Bu Rukmini? Ibu baik-baik saja?" tanya Amira cemas, membuyarkan lamunan Rukmini.
"Saya baik-baik saja. Saya hanya merasa benar-benar bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Pak Aris dan Bu Amira."
Aris terkekeh. "Justru kamilah yang merasa bersyukur bisa bertemu dengan wanita-wanita hebat seperti Bu Rukmini dan Nak Surti. Ah, ayo kita lanjutkan lagi yang tadi!"
Mereka pun kembali membahas usaha kue.
***
"Makannya yang benar, Surti," tegur Rukmini.
Dia menggeleng pelan melihat tingkah Surtini. Gadis itu menyantap nasi goreng sambil membaca buku. Ujian sekolah sudah dimulai. Surtini tentu tidak mau gagal apalagi di hari pertama.
"Iya, Mak, maaf." Surtini menyengir lebar, lalu menyimpan bukunya dalam tas. Dia kembali makan dengan tenang.
"Bukannya kamu sudah belajar setiap hari? Tadi malam sama habis subuh juga kamu belajar. Emak yakin kamu bisa menyelesaikan ujian dengan baik," komentar Rukmini setelah melihat Surtini telah menghabiskan isi piring.
Dia melirik Hastuti yang sibuk dengan ponsel, seolah ibunya dan si adik tiri tidak ada di sana.
"Kamu sudah rajin belajar, enggak kayak seseorang yang main HP aja kerjaannya," sindir Rukmini.
Hastuti seketika mendelik.
"Maksudnya apa, Mak? Belain terus itu anak pelakor! Emak itu pemain sinetron ikan terbang apa? Doyan banget nyakitin diri sendiri! Bisa-bisanya Emak miara makhluk yang mukanya fotokopian si pelakor ini!" cerocosnya hampir tanpa jeda.
Surtini menggigit bibir, menahan air mata yang hendak meluncur di pipi.
"Tuti!"
"Halah, capek ngomong sama Emak!"
Hastuti membanting sendok ke piring. Nasi goreng yang bersisa separuh menjadi berhamburan di meja. Dia memelototi Surtini sebelum melangkah ke luar rumah sembari menghentakkan kaki.
"Tuti! Tuti! Adikmu kok ditinggal!" Rukmini memegangi dada. "Ya ampun! Anak itu susah dibilangin!" gerutunya.
Surtini segera berdiri dan menenangkan Rukmini. Dia terus menyabarkan sang ibu tiri, membimbingnya duduk, juga mengambilkan air minum.
"Emak sudah gagal mendidik kakakmu, Sur," keluhnya lirih.
Surtini memeluk Rukmini dan terisak, "Maaf, ya, Mak. Seandainya, Emak kasih Surti ke panti asuhan mungkin Kak Tuti enggak marah sama Emak. Anak haram kotor seperti Surti ...."
Rukmini mendelik tajam.
"Siapa bilang kamu kotor? Yang kotor itu perbuatan bapak sama ibumu. Kamu tetap anak yang suci. Kamu enggak salah, mereka yang salah!" tegasnya.
Surtini menunduk dalam.
"Ingat, Surti! Jangan menyalahkan diri karena sesuatu yang bukan salah kamu!"
Surtini mengangguk pelan. Wajah tegas Rukmini melunak. Dia merapikan rambut Surtini yang sedikit berantakan karena tadi berpelukan dengannya.
"Surti! Surti! Ayo sekolah!"
Seruan dari luar memecahkan keheningan. Bagus menjemput Surtini untuk berangkat sekolah bersama. Surtini menyeka sisa-sisa air matanya. Dia melepaskan pelukan, lalu mengambil tas.
"Mak, Surti berangkat dulu, ya. Doakan, ya, Mak," pamit Surtini sembari mencium punggung tangan Rukmini dengan takzim.
"Ayo, Sur! Nanti kita telat!" seru Bagus saat melihat Surtini ke luar dari rumah.
"Sebentar, Gus, aku pakai sepatu dulu."
Surtini mengenakan sepatu dengan cepat. Mereka pun segera berangkat ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Bagus terus membahas Reina. Matanya tampak berbinar saat menyebut nama gadis kecil itu.
Surtini tak banyak menanggapi ucapan Bagus. Bukan karena sedih dan cemburu, tetapi memang fokusnya lebih ke ujian. Sebenarnya, dia juga tidak lagi merasakan debar pada anak laki-laki itu.
Mungkin begitulah yang dinamakan cinta monyet. Indah di awal, tetapi cepat pula memudar. Rasa yang menggebu-gebu bisa menjadi surut dalam sekejap.
Akhirnya, mereka tiba di sekolah dan segera masuk ke kelas. Tak lama kemudian, bel berbunyi. Wajah murid-murid menegang saat guru memasuki ruangan sambil membawa map cokelat berisi kertas soal.
"Bapak akan membagikan soal ujian. Sebelum diperintahkan, jangan dibuka dulu," ucap Pak Guru.
Kertas soal ditaruh dengan posisi terbalik di setiap meja siswa. Surti menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Berbagai pikiran negatif berseliweran.
Bagaimana jika soalnya begitu sulit? Bagaimana kalau dia gagal dalam ujian? Orang-orang pasti akan semakin mengejeknya.
"Kertas soal sudah dibagikan semua, waktu ujian dimulai, silakan dibuka soalnya!" perintah Pak Guru membuyarkan lamunan.
Surtini membalikkan kertas di meja perlahan. Dia seketika terperangah.
***
Mata Surtini berbinar. Usahanya belajar dengan rajin membuahkan hasil. Soal-soal di kertas ujian sesuai dengan materi yang telah dipelajari."Berkat doa Emak ini," gumamnya dalam hati.Sebelum mengerjakan soal ujian, Surtini berdoa lebih dulu. Tak lama kemudian, dia pun menyelesaikan soal-soal dengan penuh semangat. Berbeda dengan murid-murid lain yang resah dan gelisah, gadis itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.Waktu berlalu dengan cepat. Satu per satu soal ujian telah dijawab Surtini. Saat sedikit lupa materi, dia mengetuk-ngetukkan pulpen di kening untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Kini, gadis itu telah sampai pada soal terakhir."Hmm ... ini ada di bab 6 kalo enggak salah ... jawabannya antara A dan B hmm ...." Surtini menggigiti ujung pulpen. "Ah, iya aku tau!"Surtini hendak menuliskan jawaban. Namun, punggungnya tiba-tiba dicolek. Dia seketika menghela napas berat.Murid yang duduk di belakang
Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa."Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?"Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa."Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek."Sabar dulu
"Argggh!"Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran."Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat."Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang."Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasny
"Sur? Surti?"Bagus menepuk-nepuk pundak Surtini. Namun, gadis itu tak menyahut. Dia asyik menggigiti sendok es krim."Surti!" panggil Bagus dengan suara lebih keras.Surtini tersentak. Dia refleks melemparkan cup es krim dan mendarat tepat di wajah Bagus. Bukannya minta maaf, gadis itu malah mendelik."Kena karma, kan, kamu. Suka ngagetin sih," omelnya.Untunglah, Bagus bukan teman yang mudah emosian. Dia malah terkekeh sambil membersihkan wajah dari lelehan es krim."Bukannya ngagetin, Sur. Kamunya yang suka ngelamun. Hati-hati loh, entar kesambet lagi, kita semua repot.""Bukan ngelamun, aku tuh lagi cemas, Gus, takut nilaiku jelek. Aku enggak mau bikin Emak malu."Surtini memilin-milin ujung rok merahnya. Bagus lagi-lagi terkekeh. Gadis itu memajukan bibirnya."Kalo yang rajin kayak kamu nilainya jelek, aku pasti merah semua."Surtini mencubit lengan Bagus dengan sadis. Anak laki-laki itu hanya bisa meri
Rukmini menggigit ujung kuku. Dia terus mengeluarkan ponsel, lalu menyimpannya lagi di saku. Setelah mondar-mandir hampir sepuluh kali, Rukmini kembali mengambil ponsel. "Semoga Bu Amira bisa membantu," doanya lirih saat menghubungi Amira. Namun, tiga panggilan tak mendapat jawaban. Keberanian Rukmini menyusut. Akhirnya, dia kembali ke dapur untuk menggarap kue dan berpura-pura ceria agar Surtini tidak curiga. "Mak, soal hutang Bapak ...." Brak! Surtini tersentak. Dia tak menyangka kata-katanya membuat Rukmini sampai menjatuhkan pengaduk adonan kue. Lantai menjadi sedikit kotor. "Kamu tidak usah pikirkan itu, ya. Kamu ini masih kecil, jangan banyak pikiran!" "Tapi, Mak ...." "Sudah, sudah, mending bantu Emak lanjut bikin kuenya!" "Iya, Mak." Rukmini memungut kembali pengaduk adonan kue, lalu mencucinya. Sementara Surtini membersihkan lantai dari ceceran adonan. Setelah itu, mereka pun sibuk membuat kue. Tepat saat kue telah dibungkus rapi, ponsel di saku Rukmini berdering. J
Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"
"Tut, kenapa Surti belum pulang, ya?"Rukmini mendesah berat beberapa kali. Dia sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Hastuti mengangkat bahu."Keasyikan main kali, Bu?" sahutnya malas, seolah benar-benar tidak tahu.Akting Hastuti benar-benar hampir sempurna. Sorot mata cuek seperti biasa, juga tak ada perubahan sedikit pun dari raut wajahnya. Dia asyik bermain ponsel, seolah tak ada urusan dengan hilangnya Surtini, padahal gadis itu sudah berbuat jahat untuk menyingkirkan sang adik.Rukmini menggigit ujung kuku."Biasanya kalau main paling cuma sebentar," gumamnya semakin resah."Mana aku tau, Mak. Mungkin aja mainnya hari ini asyik banget, 'kan? Nanti juga pulang palingan kalo lapar," sinis Hastuti.Rukmini menghela napas berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mencari Surtini. Namun, baru saja membuka pintu, Matanya menangkap selembar amplop putih di meja teras, tepatnya di bawah asbak."Ini apa?"
Barang-barang di tas Surtini hanya sedikit. Penggeledahan tak memakan waktu lama. Pelayan yang memeriksa menggeleng pelan, menandakan dia tak menemukan cincin. "Berarti, Surtini bersih. Sekarang, kita akan lanjut kepada yang lain," putus Mirna. "Hah? Surti benar-benar bersih, Bu?" pekik Sari tanpa sadar. Mirna yang tadinya hendak melangkah ke luar kamar menghentikan langkah. Dia berbalik. Sari menelan ludah menyadari kecerobohannya. Sorot mata dingin Mirna menelisik tajam. "Apa tadi yang kamu katakan, Sari?" Sari cepat memperbaiki raut wajahnya. Dia tiba-tiba saja berekspresi seperti penuh haru. "Saya senang Surti benar-benar tidak terlibat dalam kasus ini, Bum Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami harus bersikap nanti jika dia benar-benar pelakunya," kilahnya. "Oh begitu." Meskipun kata-katanya seperti percaya, tetapi Mirna mengucapkannya dengan nada sarkastik. "Baiklah, kita lanjutkan ke kamar lain– tunggu!"