Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa.
"Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?"
Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa.
"Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."
Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek.
"Sabar dulu, Bu Nina. Mungkin hanya salah paham," cetus Pak Gunawan mencoba menengahi.
Bu Nina tampak geram, tetapi susah payah ditutupi.
"Begini, Pak, saya tau Surti ini murid kesayangan, Bapak, tetapi bukan berarti tutup mata kalau dia melakukan kesalahan."
Pak Gunawan terlihat menghela napas berat. Kebencian Bu Nina kepada Surtini memang sudah menjadi rahasia umum. Beberapa kali wanita itu kedapatan mencoreng nama baik seorang guru dengan bersikap tidak profesional dan menyusahkan Surtini.
"Ibu melihat sendiri dia menyontek?"
Bu Nina seketika terdiam. Pertanyaan Pak Gunawan jelas pukulan telak. Dia menggeleng pelan.
"Lho, Ibu tidak lihat Surtini menyontek, tapi kok langsung main tuduh."
Bu Nina cepat membela diri, "Ira dan Ria yang duduk di belakang Surtini melihat dia mengintip jawaban Andini."
Pak Gunawan seketika menatap tajam ke arah Ira dan Ria. Beliau tampaknya sudah mengerti permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dua siswi pembuat masalah itu dapat dipastikan telah memfitnah Surtini.
Mereka pun gemetar ketakutan. Pak Gunawan memang selalu terlihat ramah dan bersahaja. Namun, beliau juga tegas dalam menindak murid-murid yang melanggar peraturan sekolah. Uang sogokan orang tua Ira tak akan mempan.
"Jadi, kalian benar-benar melihat Surtini mau menyontek jawaban Andini?" tanya Pak Gunawan dengan nada suara penuh penekanan.
Ira dan Ria saling sikut. Mereka bisa lancar berbohong jika di hadapan Bu Nina yang memang punya masalah pribadi dengan Surtini. Namun, sorot mata lembut, tetapi menohok dari sang kepala sekolah membuat kedua siswi itu mengkerut.
Pak Gunawan tersenyum simpul. "Sepertinya, kalian sendiri juga tidak yakin. Tapi, tenang saja, sehari sebelum ujian, kelas ini sudah dilengkapi CCTV pemberian dari donatur. Jadi, perkataan kalian bisa dibuktikan kalau memang benar."
Wajah murid-murid berubah suram. Beberapa di antaranya sampai berkeringat dingin dan menelan ludah berkali-kali. Tentu hanya mereka yang telah melakukan kecurangan selama ujian.
Ira dan Ria seketika memucat.
"Maaf, Pak! Sepertinya kami salah liat. Kami liat Surtini lama menatap ke arah depan, jadi kami kira dia mau nyontek," sergah Ira cepat.
CCTV itu tidak boleh dibuka sekarang juga. Kelakuannya dan Ria selama ujian bisa-bisa terbongkar. Jika pengecekan ditunda, dia masih bisa berharap untuk menyuap petugas yang mengoperasikan kamera pengintai tersebut.
"Begitu, ya?" Pak Gunawan tersenyum. "Berarti, sebenarnya, Surtini tidak menyontek, kalian hanya salah paham."
"Iya, Pak, kami enggak yakin juga dia benar-benar nyontek.
"Lalu kenapa kalian malah langsung menuduh?"
"Itu ... Kami cuma refleks aja, Pak, kaget."
"Lain kali, jangan asal tuduh, hampir saja kalian membuat Surtini mengulang ujian. Tapi kalau ingin lebih pasti, bisa kita cek CCTV ...."
"Saya rasa tidak perlu, Pak. Ira dan Ria sepertinya benar-benar salah paham saja. Saya minta maaf tadi langsung menuduh," potong Bu Nina cepat.
Pak Gunawan mengerutkan keningnya.
"Lho, minta maafnya jangan sama saya, tapi sama Surtini yang sudah jadi korban."
Meskipun sangat enggan, Bu Nina terpaksa meminta maaf kepada Surtini, begitu juga duo trouble maker, Ira dan Ria. Pak Gunawan tersenyum puas.
"Bu Nina kembalikan lembar jawaban Surtini, sepertinya dia belum selesai mengerjakan. Berikan waktu tambahan juga untuk murid-murid karena waktu mengerjakan ujian berkurang karena kejadian ini," titahnya.
Bu Nina mengangguk dengan setengah hati. Oknum guru yang tak patut dicontoh itu menyerahkan lembar jawaban dengan malas. Surtini menatap Pak Gunawan dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih, Pak," ucapnya penuh haru.
Pak Gunawan tersenyum lembut.
"Sudah, sudah, kamu balik lagi ke tempat duduk sana."
Surtini mengangguk. Dia kembali ke mejanya dan mengerjakan soal yang belum terselesaikan. Sementara itu, Bu Nina mengumumkan waktu tambahan. Pak Gunawan pun ke luar dari kelas. Beliau akan memeriksa kondisi kelas-kelas lain.
***
Malam hari tiba. Seperti biasa, Surti bermanja-manja dengan Rukmini. Kepalanya menyandar di dada sang ibu, merasakan kenyamanan dari mendengar suara detak jantung wanita itu. Hastuti yang duduk tak jauh dari mereka mencibir."Dasar manja! Anak pelakor tak tau diri!" gerutunya. Namun, dia seketika terdiam saat dipelototi Rukmini.
"Mak ...."
"Iya, Surti."
"Surti saaayang Emak."
Rukmini terkekeh. Dia mencubit ujung hidung Surtini. Hastuti memutar bola mata, lalu tersenyum miring.
Rukmini mengusap rambut Surtini dan bergumam lembut, "Hmm ... kalau Surti sayang Emak tolong pertimbangkan lagi tawarannya Pak Aris dan Bu Amira."
Wajah Surtini berubah muram. Dia memilin ujung rambut. Helaan napas beratnya terdengar samar.
"Tapi, Surti enggak mau ninggalin Emak. Nanti Emak repot sendirian."
Hastuti mendelik tajam. Dia menggetok kening Surtini dengan sadis.
"Eh, Surti! Kalo punya otak, dipake dong! Justru bagus kalo kamu terima tawaran orang kaya itu! Ngurang-ngurangin beban Emak tau!"
Surtini termangu. Kata-kata sang kakak tiri seketika merasuki pikirannya. Rukmini memelototi Hastuti.
Namun, gadis itu seolah tak peduli, malah melanjutkan ucapannya, "Coba kamu pikir baik-baik. Kalo kamu terima tawaran itu, Emak enggak perlu susah payah cari uang buat biaya makan sama sekolah kamu."
"Tuti!" Rukmini kehabisan kesabaran.
Hastuti balas menatap tajam. "Kenapa, Mak? Aku benar, 'kan? Si Surti ini cuma beban buat kita!"
Rukmini memijat kening yang mendadak berdenyut. Dia pun mengomeli putrinya itu. Namun, Hastuti malah berdiri sambil melirik sinis.
"Capek debat sama Emak! Mending aku tidur deh!" ketusnya sebelum masuk ke kamar, lalu membanting pintu.
Rukmini menatap Surtini dengan lembut.
"Surti kamu jangan dengerin kata Mbak Tuti, ya? Kamu bukan beban, Nak. Justru Emak yang sering dibantu sama Surti."
Surtini masih memasang wajah muram. Hatinya membenarkan kata-kata Hastuti. Menerima tawaran Aris dan Amira memang akan sangat membantu mengurangi beban biaya hidup, tetapi membayangkan Rukmini akan repot sendirian membuatnya ragu.
"Surti ... Emak mau kamu terima tawaran itu karena Emak mau masa depan kamu jadi lebih baik. Pak Aris sama Bu Amira mungkin bisa membantu mewujudkan cita-cita kamu."
"Iya, Mak, Surti ngerti maksud Emak. Mbak Tuti juga benar, cuma Surti takut ninggalin Emak."
"Sudah, sudah, kamu jangan banyak pikiran, masih kecil juga. Sekarang, kamu tidur, ini sudah larut malam."
"Kelonin, Mak," rengek Surtini sambil memeluk manja.
"Dasar anak manja!"
Rukmini terkekeh. Dia menyentil pelan ujung hidung Surtini yang semakin menggayut manja. Mereka pun bangkit dari kursi dan menuju kamar tidur.
***
Sayup-sayup Surtini mendengar keributan. Dia membuka mata perlahan, lalu terperanjat. Bagaimana tidak? Sepuluh orang pria kekar mengelilinginya.
Aroma amis tiba-tiba menyeruak. Surtini merasakan perih tak terkira. Saat dia menunduk, dapat terlihat sebilah belati yang berlumuran darah menancap tepat di ulu hati.
Perlahan, tubuh Surtini merosot. Rasa perih semakin menjadi. Pandangannya memburam.
"Surti! Surti! Bertahanlah!"
Sepasang tangan memeluk erat. Surtini merasakan kehangatan menyelimuti tubuh. Dia susah payah membuka mata. Wajah tampan seorang pemuda menyambutnya.
"Anda larilah!"
Surtini tak mengerti kenapa dia bisa bicara seolah telah kenal lama dengan si pemuda.
"Tidak, Surti!"
"Saya mohon! Lari!"
Pemuda itu menggeleng cepat. Namun, adegan mengharukan itu terjeda. Teriakan amarah para pria bertubuh kekar memenuhi udara. Mereka bergerak maju serentak menyerbu ke arah Surtini dan si pemuda tampan.
Dor!
***
"Argggh!"Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran."Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat."Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang."Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasny
"Sur? Surti?"Bagus menepuk-nepuk pundak Surtini. Namun, gadis itu tak menyahut. Dia asyik menggigiti sendok es krim."Surti!" panggil Bagus dengan suara lebih keras.Surtini tersentak. Dia refleks melemparkan cup es krim dan mendarat tepat di wajah Bagus. Bukannya minta maaf, gadis itu malah mendelik."Kena karma, kan, kamu. Suka ngagetin sih," omelnya.Untunglah, Bagus bukan teman yang mudah emosian. Dia malah terkekeh sambil membersihkan wajah dari lelehan es krim."Bukannya ngagetin, Sur. Kamunya yang suka ngelamun. Hati-hati loh, entar kesambet lagi, kita semua repot.""Bukan ngelamun, aku tuh lagi cemas, Gus, takut nilaiku jelek. Aku enggak mau bikin Emak malu."Surtini memilin-milin ujung rok merahnya. Bagus lagi-lagi terkekeh. Gadis itu memajukan bibirnya."Kalo yang rajin kayak kamu nilainya jelek, aku pasti merah semua."Surtini mencubit lengan Bagus dengan sadis. Anak laki-laki itu hanya bisa meri
Rukmini menggigit ujung kuku. Dia terus mengeluarkan ponsel, lalu menyimpannya lagi di saku. Setelah mondar-mandir hampir sepuluh kali, Rukmini kembali mengambil ponsel. "Semoga Bu Amira bisa membantu," doanya lirih saat menghubungi Amira. Namun, tiga panggilan tak mendapat jawaban. Keberanian Rukmini menyusut. Akhirnya, dia kembali ke dapur untuk menggarap kue dan berpura-pura ceria agar Surtini tidak curiga. "Mak, soal hutang Bapak ...." Brak! Surtini tersentak. Dia tak menyangka kata-katanya membuat Rukmini sampai menjatuhkan pengaduk adonan kue. Lantai menjadi sedikit kotor. "Kamu tidak usah pikirkan itu, ya. Kamu ini masih kecil, jangan banyak pikiran!" "Tapi, Mak ...." "Sudah, sudah, mending bantu Emak lanjut bikin kuenya!" "Iya, Mak." Rukmini memungut kembali pengaduk adonan kue, lalu mencucinya. Sementara Surtini membersihkan lantai dari ceceran adonan. Setelah itu, mereka pun sibuk membuat kue. Tepat saat kue telah dibungkus rapi, ponsel di saku Rukmini berdering. J
Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"
"Tut, kenapa Surti belum pulang, ya?"Rukmini mendesah berat beberapa kali. Dia sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Hastuti mengangkat bahu."Keasyikan main kali, Bu?" sahutnya malas, seolah benar-benar tidak tahu.Akting Hastuti benar-benar hampir sempurna. Sorot mata cuek seperti biasa, juga tak ada perubahan sedikit pun dari raut wajahnya. Dia asyik bermain ponsel, seolah tak ada urusan dengan hilangnya Surtini, padahal gadis itu sudah berbuat jahat untuk menyingkirkan sang adik.Rukmini menggigit ujung kuku."Biasanya kalau main paling cuma sebentar," gumamnya semakin resah."Mana aku tau, Mak. Mungkin aja mainnya hari ini asyik banget, 'kan? Nanti juga pulang palingan kalo lapar," sinis Hastuti.Rukmini menghela napas berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mencari Surtini. Namun, baru saja membuka pintu, Matanya menangkap selembar amplop putih di meja teras, tepatnya di bawah asbak."Ini apa?"
Barang-barang di tas Surtini hanya sedikit. Penggeledahan tak memakan waktu lama. Pelayan yang memeriksa menggeleng pelan, menandakan dia tak menemukan cincin. "Berarti, Surtini bersih. Sekarang, kita akan lanjut kepada yang lain," putus Mirna. "Hah? Surti benar-benar bersih, Bu?" pekik Sari tanpa sadar. Mirna yang tadinya hendak melangkah ke luar kamar menghentikan langkah. Dia berbalik. Sari menelan ludah menyadari kecerobohannya. Sorot mata dingin Mirna menelisik tajam. "Apa tadi yang kamu katakan, Sari?" Sari cepat memperbaiki raut wajahnya. Dia tiba-tiba saja berekspresi seperti penuh haru. "Saya senang Surti benar-benar tidak terlibat dalam kasus ini, Bum Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami harus bersikap nanti jika dia benar-benar pelakunya," kilahnya. "Oh begitu." Meskipun kata-katanya seperti percaya, tetapi Mirna mengucapkannya dengan nada sarkastik. "Baiklah, kita lanjutkan ke kamar lain– tunggu!"
Amira mondar-mandir di ruang rawat inap suaminya. Pikirannya masih dihantui firasat buruk. Laporan Rehan bahwa keluarga Surtini baik-baik saja tidak cukup menenangkan. Sebenarnya, Amira juga menelepon Rukmini beberapa kali, tetapi tidak diangkat. Kadang, Hasuti yang menerima panggilan. Gadis itu mengatakan ibunya mandi, atau sedang pergi dan ketinggalan ponsel. "Aduh, kenapa susah dihubungi, ya?" gumam Amira resah. Dia dan sang suami memang tengah berada jauh dari keluarga Surtini. Dokter menyarankan Aris untuk dirawat di Singapura. Oleh karena itu, di Negeri Merlion inilah mereka kini berada. Melihat tingkah galau sang istri, Aris yang sedari tadi menikmati semangkuk bubur terpaksa menghentikan sarapannya. "Kenapa, Ma? Dari tadi mondar-mandir terus?" celetuknya. "Masih kepikiran sama Bu Rukmini, Pa. Firasat Mama tuh enggak enak banget. Kok, kayaknya ada yang salah gitu," cerocos Amira. Dia mengempaskan tubuh di sofa. Rupanya,
Kini, pintu kamar terbuka sempurna. Surtini terperangah. Bibirnya tak henti berdecak kagum, sampai-sampai harus dicubit oleh Tanti."Yang sopan, Surti," tegur Tanti.Surtini menyengir lebar."Maaf, Bu, maaf."Tak salah Surtini terpesona. Kamar sang nona memang sangat indah dan megah. Ruangan luas yang mirip dengan kamar bangsawan Eropa tempo dulu, lengkap dengan ranjang ukuran king size, sofa, dan meja perjamuan. Dinding dan jendelanya penuh dengan ukiran yang estetik nan elegan. Surtini merasa sedang memasuki negeri dongeng.Sementara itu, sang nona duduk di meja perjamuan dengan membelakangi pintu. Rambut halus bergelombang sepinggangnya tertiup semilir angin dari jendela. Jemari yang lentik membolak-balik lembaran buku di meja."Selamat pagi, Non. Hari ini, saya membawa pelayan baru yang akan melayani Non Eka," ucap Tanti sambil membungkukkan badan.