Share

BaB 3 Sebuah Pertemuan

"Tuan.." Bik Asih memasuki sebuah ruangan kerja dengan ragu.

Aina sendiri tidak paham siapa yang berada di balik kursi besar yang menghadap ke jendela. Dia masih asyik berbincang dengan seseorang di seberang sana.

"Kita tunggu dulu, jangan duduk.."

Aina kembali berdiri di samping kursi.

"Oke, deal. Aku akan mengirimkan barangnya malam ini. Siapkan saja uangnya!" hanya itu yang bisa Aina dengar dengan jelas.

Perlahan ia membalikkan kursi kulit warna cokelat gelap dan melihat tepat kepadanya.

"Asih, ada perlu apa?"

Laki-laki itu memandang Aina dari atas sampai bawah seolah Aina adalah sesosok hantu yang baru muncul di malam hari,

"Tuan, Mbak Aina sudah sehat." Bik Asih berkata padanya mengabarkan keadaan Aina.

"Siapa Aina?" Dia bertanya dengan tatapan mata tajam.

"Saya Aina, Pak..." Kataku.

Aina asal bicara saja dengan memanggilnya "pak". Yang ia tahu pria itu bernama ET, entah kepanjangan apa ET itu. Beberapa orang yang Aina temui menyebutnya dengan Tuan ET. 

"Asih, ajari dia. Jangan memanggilku dengan panggilan menjijikkan." Nada bicaranya langsung meninggi. 

"Baik, Om!" Spontan Aina menjawabnya dengan mengganti sebutannya.

Lelaki itu mengernyitkan dahinya. "Asih, bawa dia keluar!"

Kembali lelaki itu menenggelamkan dirinya di balik kursi berbahan kulit.

**

"Aina, lain kali jangan seperti itu ke Tuan ET. Dia paling tidak suka diajak bercanda atau bertele-tele," Bik Asih memperingatkan agar Aina lebih sopan kepada majikannya.

"Memangnya dia itu kerjanya apa, Bik? Kenapa semuanya seakan tunduk dan takut padanya?" Tanyaku.

"Bagaimanapun kamu berhutang budi padanya. Dia yang membawamu hujan-hujan deras ke rumah ini. Digendong lagi." Bik Asih menjelaskan panjang dan lebar.

"Astaga? Ya Tuhan!" Aina mulai tidak merasa nyaman membayangkan saat tubuhku digendongnya. Dia kira yang melakukan itu adalah anak buahnya. Betapa malunya Aina sekarang setelah tahu yang membawanya adalah Teddy sendiri.

"Asih, jangan lupa nanti malam Nikita akan datang kemari. Suruh dia tunggu di kamar sebelah seperti biasanya. Siapkan kamarnya sekarang!"

Bik Asih nampak sedikit terkejut saat Teddy masuk ke pantry.

"Ba...baaik, Tuan..."

Sesaat ia hanya melirik Aina kemudian pergi meninggalkan Aina yang terdiam setelahnya

**

"Asih, siapa wanita ini? Hah, saudaramu dari kampung?"

Seorang wanita asing menanyakan itu pada Bik Asih. Mungkin karena Aina memakai kerudung sendiri di antara semua wanita di sini.

"Dia orang baru Nona di sini.."

"Aina, ini Nona Nikita, teman Tuan Teddy, maksudku Tuan ET.." Bik Asih memperkenalkan padanya.

"Tidak usah pakai salaman. Tanganku nanti kotor terkena virusmu..."

Dia menolak bersalaman dengan Aina.

"Sudah saya siapkan kamarnya Nona, mari saya antar..."

Dengan sombong dan arogan, wanita yang bernama Nikita tadi berjalan menuju kamar yang ditunjuk. Kamarnya tepat berada di sebelah tempat tidur Aina.

"Apa yang akan mereka lakukan, Bik?" tanya Aina pada Bik Asih yang membawa secangkir minuman.

"Sudahlah, itu teman-teman wanita Tuan, bukan urusan kita untuk mencampurinya!" Jelasnya.

Aina makin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini; tentang siapa ET, apa pekerjaannya, semuanya. 

**

Setelah Solat Isya, Aina kembali  ke kamar. Sengaja ia meminjam ponsel milik Bik Asih untuk men-donwload aplikasi Quran. 

"Bismillah.." Aina berniat akan memulai lagi mengaji di tempat yang baru ini.

Baru mengaji beberapa ayat sudah terdengar suara ramai dari luar kamar. Perlahan Aina membuka pintu.

Betapa terkejutnya saat ia mendapati Nikita dan Teddy saling berpelukan kemudian berciuman. Suara pintu kamar Aina yang terbuka membuat mereka berdua melihat ke arahnya. Buru-buru Aina menutup pintu kembali.

Berkali-kali Aina mengucapkan istighfar atas apa yang ia lihat.

Hati Aina sangat tidak tenang melihat pemandangan tak senonoh di hadapan mata kepalanya sendiri.

Kembali ia lanjutkan melantunkan kalam suci. Hingga kira-kira satu jam kemudian terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarku.

"Iyaa sebentar... Sebentar, Bik..."

Kreekkk..

"Kenapa kamu terkejut? apakah aku nampak seperti hantu?" Ucapnya.

Tangannya yang kekar segera meraih handle pintu dan mendorong Aina masuk ke dalam kamar.

"Maaf Tuan, jangan mengunci pintunya. Tidak baik berduaan di dalam kamar..." Aina tertunduk.

"Oh, jadi kamu menuduhku menjadi manusia jahannam, iya?"

Wajahnya mendekati Aina dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan Aina bisa merasakan desahan nafasnya yang sedikit tersengal.

"Maaf Tuan, saya...."

"Kenapa? Kenapa baru sekarang memanggilku 'tuan'? Memangnya kamu siapa di rumah ini?"

"Tuan, saya mau lanjut mengaji...." Ia menunjukkan aplikasi Quran pada lelaki itu.

"Oh darimana kamu mendapatkan ponsel itu?"

"Ini punya Bik Asih, Tuan, saya hanya meminjam..."

Teddy membisikkan pertanyaan ke dekat telinganya. Aina belum pernah berdekatan dengan Teddy hingga sedekat ini. Bayangan perilakunya yang dilakukan pada Nikita seolah nampak lagi di pelupuk matanya.

"Tuan, sebaiknya Tuan pergi, Nona Nikita sudah menunggu..." Kata Aina pada Teddy.

Mendengar Aina menyebut nama Nikita, Teddy langsung pergi meninggalkan Aina dan menutup pintu kamar dengan kasar.

**

Pagi ini sengaja Aina membantu Bik Ijah di dapur. Meski ia berencana untuk kabur, agar semua terasa natural ia harus berpura-pura melakukan aktivitas seperti kemarin-kemarin.

Seminggu berada di tempat ini membuatnya tersadar, jika rumah ini memang bukan rumah biasa. Ada banyak maksiat yang harus Aina saksikan tiap hari dan membuatnya merasa sangat tidak nyaman.

Sudah ia pelajari baik-baik kapan saat pintu gerbang depan terbuka dan kapan saat yang paling lengang untuk keluar dari rumah busuk ini.

Aina akan berpura-pura untuk berbelanja di pasar menggantikan Bik Ijah, tentu semua ini kulakukan setelah Tuan ET pergi meninggalkan rumah atau saat dia sarapan.

"Bik, aku saja ya yang belanja. Biar aku diantarkan Pak Eko..." Aina menawarkan bantuan pada Bik Asih,

"Aina, biasanya kalau Bibi repot begini akan ada yang belanja, Itu Si Hana dan Lilik yang menggantikan..."

Kulirik Hana sudah bersiap akan ke pasar.

"Aku boleh ikut kalian?" Hana dan Lilik nampak kebingungan mendengarkan.

Setelah berusaha meyakinkan mereka Aina diperbolehkan untuk ikut berbelanja. Lilik akan tetap di rumah untuk membantu Bik Ijah dan Bik Lastri memasak.

Ketika Pak Eko mulai menyalakan mobil pick-up hitam di sebelah dapur, buru-buru Aina masuk ke dalam. Aina tidak mau pengawal Teddy atau siapapun melihatnya masuk.

"Ayo Hana..." Aina mempersilahkan Hana masuk ke dalam mobil. Sementara posisi duduknya berada di tengah, antara Hana dan Pak Eko.

Perjalanan dari rumah Teddy menuju pasar cukup memakan waktu. Hampir 2 jam mereka berada di dalam mobil. Jujur, Aina agak was-was kalau-kalau rencananya gagal. Bisa-bisa Teddy akan memarahi dan menghukumnya.

"Nah, kita sudah sampai Aina... Ayo turun..."

"Saya menunggu di sini saja, Mbak..." Pak Eko menunggu di area parkir pasar,

Sungguh ini adalah kesempatan emas agar Aina bisa keluar dari penjara istana itu dengan mulus.

"Hana, bagaimana kalau aku yang membeli daging sapi di sana..." Aina menawarkan diri.

"Oh baiklah, ini uangnya..." Hana menyerahkan uang seratus ribu sebanyak lima puluh lembar.

Uang ini jauh lebih dari cukup untuk kabur ke rumah. Sebelum meninggalkan Hana dan Pak Eko, Aina berpura-pura menuju los daging. Sesekali nampak Hana memperhatikannya dari jauh.

Saat Hana mulai lengah, secara cepat Aina segera menuju ke pangkalan ojek yang berada di luar pasar namun dekat dengan kios penjual daging.

Segera ia raih helm dan meminta tukang ojek untuk mengantarkannya kembali ke rumah. Aina memastikan tidak ada seorangpun yang melihatnya kabur. Meski ada rasa cemas melanda.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status