"Tuan.." Bik Asih memasuki sebuah ruangan kerja dengan ragu.
Aina sendiri tidak paham siapa yang berada di balik kursi besar yang menghadap ke jendela. Dia masih asyik berbincang dengan seseorang di seberang sana.
"Kita tunggu dulu, jangan duduk.."
Aina kembali berdiri di samping kursi.
"Oke, deal. Aku akan mengirimkan barangnya malam ini. Siapkan saja uangnya!" hanya itu yang bisa Aina dengar dengan jelas.
Perlahan ia membalikkan kursi kulit warna cokelat gelap dan melihat tepat kepadanya.
"Asih, ada perlu apa?"
Laki-laki itu memandang Aina dari atas sampai bawah seolah Aina adalah sesosok hantu yang baru muncul di malam hari,
"Tuan, Mbak Aina sudah sehat." Bik Asih berkata padanya mengabarkan keadaan Aina.
"Siapa Aina?" Dia bertanya dengan tatapan mata tajam.
"Saya Aina, Pak..." Kataku.
Aina asal bicara saja dengan memanggilnya "pak". Yang ia tahu pria itu bernama ET, entah kepanjangan apa ET itu. Beberapa orang yang Aina temui menyebutnya dengan Tuan ET.
"Asih, ajari dia. Jangan memanggilku dengan panggilan menjijikkan." Nada bicaranya langsung meninggi.
"Baik, Om!" Spontan Aina menjawabnya dengan mengganti sebutannya.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya. "Asih, bawa dia keluar!"
Kembali lelaki itu menenggelamkan dirinya di balik kursi berbahan kulit.
**
"Aina, lain kali jangan seperti itu ke Tuan ET. Dia paling tidak suka diajak bercanda atau bertele-tele," Bik Asih memperingatkan agar Aina lebih sopan kepada majikannya.
"Memangnya dia itu kerjanya apa, Bik? Kenapa semuanya seakan tunduk dan takut padanya?" Tanyaku.
"Bagaimanapun kamu berhutang budi padanya. Dia yang membawamu hujan-hujan deras ke rumah ini. Digendong lagi." Bik Asih menjelaskan panjang dan lebar.
"Astaga? Ya Tuhan!" Aina mulai tidak merasa nyaman membayangkan saat tubuhku digendongnya. Dia kira yang melakukan itu adalah anak buahnya. Betapa malunya Aina sekarang setelah tahu yang membawanya adalah Teddy sendiri.
"Asih, jangan lupa nanti malam Nikita akan datang kemari. Suruh dia tunggu di kamar sebelah seperti biasanya. Siapkan kamarnya sekarang!"
Bik Asih nampak sedikit terkejut saat Teddy masuk ke pantry.
"Ba...baaik, Tuan..."
Sesaat ia hanya melirik Aina kemudian pergi meninggalkan Aina yang terdiam setelahnya
**
"Asih, siapa wanita ini? Hah, saudaramu dari kampung?"
Seorang wanita asing menanyakan itu pada Bik Asih. Mungkin karena Aina memakai kerudung sendiri di antara semua wanita di sini.
"Dia orang baru Nona di sini.."
"Aina, ini Nona Nikita, teman Tuan Teddy, maksudku Tuan ET.." Bik Asih memperkenalkan padanya.
"Tidak usah pakai salaman. Tanganku nanti kotor terkena virusmu..."
Dia menolak bersalaman dengan Aina.
"Sudah saya siapkan kamarnya Nona, mari saya antar..."
Dengan sombong dan arogan, wanita yang bernama Nikita tadi berjalan menuju kamar yang ditunjuk. Kamarnya tepat berada di sebelah tempat tidur Aina.
"Apa yang akan mereka lakukan, Bik?" tanya Aina pada Bik Asih yang membawa secangkir minuman.
"Sudahlah, itu teman-teman wanita Tuan, bukan urusan kita untuk mencampurinya!" Jelasnya.
Aina makin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini; tentang siapa ET, apa pekerjaannya, semuanya.
**
Setelah Solat Isya, Aina kembali ke kamar. Sengaja ia meminjam ponsel milik Bik Asih untuk men-donwload aplikasi Quran.
"Bismillah.." Aina berniat akan memulai lagi mengaji di tempat yang baru ini.
Baru mengaji beberapa ayat sudah terdengar suara ramai dari luar kamar. Perlahan Aina membuka pintu.
Betapa terkejutnya saat ia mendapati Nikita dan Teddy saling berpelukan kemudian berciuman. Suara pintu kamar Aina yang terbuka membuat mereka berdua melihat ke arahnya. Buru-buru Aina menutup pintu kembali.
Berkali-kali Aina mengucapkan istighfar atas apa yang ia lihat.
Hati Aina sangat tidak tenang melihat pemandangan tak senonoh di hadapan mata kepalanya sendiri.
Kembali ia lanjutkan melantunkan kalam suci. Hingga kira-kira satu jam kemudian terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarku.
"Iyaa sebentar... Sebentar, Bik..."
Kreekkk..
"Kenapa kamu terkejut? apakah aku nampak seperti hantu?" Ucapnya.
Tangannya yang kekar segera meraih handle pintu dan mendorong Aina masuk ke dalam kamar.
"Maaf Tuan, jangan mengunci pintunya. Tidak baik berduaan di dalam kamar..." Aina tertunduk.
"Oh, jadi kamu menuduhku menjadi manusia jahannam, iya?"
Wajahnya mendekati Aina dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan Aina bisa merasakan desahan nafasnya yang sedikit tersengal.
"Maaf Tuan, saya...."
"Kenapa? Kenapa baru sekarang memanggilku 'tuan'? Memangnya kamu siapa di rumah ini?"
"Tuan, saya mau lanjut mengaji...." Ia menunjukkan aplikasi Quran pada lelaki itu.
"Oh darimana kamu mendapatkan ponsel itu?"
"Ini punya Bik Asih, Tuan, saya hanya meminjam..."
Teddy membisikkan pertanyaan ke dekat telinganya. Aina belum pernah berdekatan dengan Teddy hingga sedekat ini. Bayangan perilakunya yang dilakukan pada Nikita seolah nampak lagi di pelupuk matanya.
"Tuan, sebaiknya Tuan pergi, Nona Nikita sudah menunggu..." Kata Aina pada Teddy.
Mendengar Aina menyebut nama Nikita, Teddy langsung pergi meninggalkan Aina dan menutup pintu kamar dengan kasar.
**
Pagi ini sengaja Aina membantu Bik Ijah di dapur. Meski ia berencana untuk kabur, agar semua terasa natural ia harus berpura-pura melakukan aktivitas seperti kemarin-kemarin.
Seminggu berada di tempat ini membuatnya tersadar, jika rumah ini memang bukan rumah biasa. Ada banyak maksiat yang harus Aina saksikan tiap hari dan membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
Sudah ia pelajari baik-baik kapan saat pintu gerbang depan terbuka dan kapan saat yang paling lengang untuk keluar dari rumah busuk ini.
Aina akan berpura-pura untuk berbelanja di pasar menggantikan Bik Ijah, tentu semua ini kulakukan setelah Tuan ET pergi meninggalkan rumah atau saat dia sarapan.
"Bik, aku saja ya yang belanja. Biar aku diantarkan Pak Eko..." Aina menawarkan bantuan pada Bik Asih,
"Aina, biasanya kalau Bibi repot begini akan ada yang belanja, Itu Si Hana dan Lilik yang menggantikan..."
Kulirik Hana sudah bersiap akan ke pasar.
"Aku boleh ikut kalian?" Hana dan Lilik nampak kebingungan mendengarkan.
Setelah berusaha meyakinkan mereka Aina diperbolehkan untuk ikut berbelanja. Lilik akan tetap di rumah untuk membantu Bik Ijah dan Bik Lastri memasak.
Ketika Pak Eko mulai menyalakan mobil pick-up hitam di sebelah dapur, buru-buru Aina masuk ke dalam. Aina tidak mau pengawal Teddy atau siapapun melihatnya masuk.
"Ayo Hana..." Aina mempersilahkan Hana masuk ke dalam mobil. Sementara posisi duduknya berada di tengah, antara Hana dan Pak Eko.
Perjalanan dari rumah Teddy menuju pasar cukup memakan waktu. Hampir 2 jam mereka berada di dalam mobil. Jujur, Aina agak was-was kalau-kalau rencananya gagal. Bisa-bisa Teddy akan memarahi dan menghukumnya.
"Nah, kita sudah sampai Aina... Ayo turun..."
"Saya menunggu di sini saja, Mbak..." Pak Eko menunggu di area parkir pasar,
Sungguh ini adalah kesempatan emas agar Aina bisa keluar dari penjara istana itu dengan mulus.
"Hana, bagaimana kalau aku yang membeli daging sapi di sana..." Aina menawarkan diri.
"Oh baiklah, ini uangnya..." Hana menyerahkan uang seratus ribu sebanyak lima puluh lembar.
Uang ini jauh lebih dari cukup untuk kabur ke rumah. Sebelum meninggalkan Hana dan Pak Eko, Aina berpura-pura menuju los daging. Sesekali nampak Hana memperhatikannya dari jauh.
Saat Hana mulai lengah, secara cepat Aina segera menuju ke pangkalan ojek yang berada di luar pasar namun dekat dengan kios penjual daging.
Segera ia raih helm dan meminta tukang ojek untuk mengantarkannya kembali ke rumah. Aina memastikan tidak ada seorangpun yang melihatnya kabur. Meski ada rasa cemas melanda.
***
"Assalamualaikum..."Semua yang berada di rumah nampak terkejut melihat kedatangan Aina. Terlebih Novan dan ibu tirinya."Darimana saja kamu menghilang? Kamu pulang setelah meninggalkan rumah berhari-hari, apakah kamu pergi dengan lelaki yang kamu bawa ke rumah malam itu?" Ibu tirinya langsung menyambut dengan omelan panjang."Biarkan dia duduk..." Ayah Aina menatap dengan tatapan yang marah."Ayah, Aina bisa menjelaskan..." Kata Aina."Benarkan om, dia pergi dengan lelaki itu... Pacarnya..." Novan memotong pembicaraan dan mengucapkan tuduhannya."Ayah, Demi Allah! Aina tidak punya pacar... Malam itu dia...." ketika Aina mulai menunjuk Novan, ibu tirinya malah memojokkannya."Apa-apaan kamu menuduh ponakanku yang tidak-tidak, kamu tahu kan Novan itu pendidikannya tinggi. Dia kuliah S2 di luar negeri dan sudah lama bekerja di sana." Katanya."Lagipula, lihat dirimu, kamu ini pernah mondok di pesantren kan sebelum kuliah? apa jadinya? Cuma kedok saja pakai kerudung tapi masih juga berma
"Akhirnya setelah kabur, kamu kembali juga pulang ke rumah barumu!" Teddy membukakan pintu depan.Aina mengira pukul sepuluh malam begini Teddy masih asyik dengan dunia luarnya seperti biasa, tapi justru malam ini dia sudah ada di rumah."Aku tidak kabur." Jawab Aina sambil tetap mempertahankan dignity-nya sebagai perempuan. Aina tak mau terlihat lemah."Tapi kamu ditolak oleh keluargamu, bukan?" Kata-katanya membuat hati Aina semakin sakit.Bagaimanapun gara-gara lelaki ini Aina diusir dari rumah. Novan rupanya tahu kalau Aina masuk ke mobil laki-laki asing."Asih, anakmu sudah pulang!" Teriak Teddy pada Bik Asih yang tak berapa lama kemudian menyambut kedatangan Aina."Astagaa, kamu pergi kemana? Pak Eko dan Hana mencarimu kemana-mana sampai bingung. Tuan ET juga langsung pulang saat kami bilang kamu hilang. Bibik mengkhawatirkan keselamatanmu!" Bik Asih terlihat lega."Tidak apa-apa Bik, aku cuma jalan-jalan dan tersesat saja." Aina sengaja mengarang cerita."Lain kali kalau mau ja
Teddy terus memandangi sebuah ponsel warna hitam yang tergeletak di meja kerjanya. Mana mungkin Aina bisa menemukannya. Teddy sangat yakin pasti ia tidak menyadari jika benda berharga miliknya jatuh ke tangannya. Asalkan ia berdiam diri, tidak ada seorangpun yang akan mencurigainya."Hmmm.. akhirnya aku bisa menemukan rahasiamu..." Sambil membuka-buka isi ponsel Aina, Teddy menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.Kriingg..kriiing...Tiba-tiba seseorang menghubunginya. Nomor yang tidak dikenali."Halo..." Suara di seberang sana.Teddy terdiam dan masih enggan menjawab."Hei, ET. Serahkan wanita itu atau kau akan menanggung akibatnya...""Huh, tidak akan..." Jawab Teddy singkat.Teddy masih bertanya-tanya wanita mana yang dia maksud. Apakah Monika, Jessie, Mila? Atau ada wanita yang lain yang dia maksud?"Jangan pura-pura bodoh! Serahkan Aina padaku..."Seketika Teddy terkejut, bagaimana bisa ada orang luar yang mengetahui keberadaan Aina di tempatnya?"Aku tidak mengenali Aina, s
Teddy menyaksikan Aina yang terbangun, Bik Asih rupanya mengamati Tedyy dengan tatapan yang aneh. Kalau bukan bos-nya, mungkin Teddy sudah dihajar malam ini juga."Tidak ada yang masuk Aina..." Bik Asih menjawab sambil tetap memperhatikan gerak-gerik bosnya. Tatapannya terlihat sinis dan mengintimidasi. Seolah lelaki itu adalah laki-laki jalanan yang melakukan perbuatan kurang ajar pada anak perempuannya.Dari tadi Teddy masih terdiam. Aina seolah masih berada di antara alam mimpi dan nyata.Tanpa pikir panjang Teddy langsung bergegas menuju tangga. Ia membiarkan Bik Asih dan Aina masuk ke dalam kamar lagi."Huffhh..." hampir saja Teddy tertangkap basah.Tapi, bukankah sangat menantang jika masuk mengendap ke kamar wanita tanpa sepengetahuannya. Terlebih jika ia tak sadarkan diri. Teddy bisa berbuat yang lebih lagi.Senyum licik Teddy mulai mengembang. Jiwanya tidak puas jika hanya memegang atau mengelus rambutnya."Mungkin besok aku akan melakukannya lagi.." Gumannya.**"Bik Asih, s
Johan terlihat mondar-mandir sejak pagi. Biasanya dia akan datang ke rumah sekitar pukul enam pagi. Lain dengan hari ini, ia sudah datang di pagi buta."Johan, ngapain kamu datang pagi-pagi? tumben sudah bangun..." Kata Teddy sambil merentangkan kedua tangan."Bos, saya ada perlu..." tidak biasanya dia sedikit malu untuk mengungkapkan sesuatu. "Saya mau mencari..."Matanya bergerak-gerak melirik ke arah dalam rumah."Apa dia mencari sesuatu?" batin Johan."Monika tidak ada di sini..." jawab Johan seketika.Raut mukanya berubah. Sepertinya salah tebakan Teddy."Aina.." Satu nama yang keluar dari mulutnya membuat Teddy nampak tidak senang,"Kenapa dengan Aina? Dia baik-baik saja sepertinya." Teddy pura-pura tidak mengetahui tentang apa yang terjadi.Tiba-tiba Johan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. "Apa isinya?" tanya Aina lagi."Ah bukan apa-apa, Bos... sebentar..." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang.***"Johan??" Aina
Aina masih belum bisa mengerti mengapa Johan rela melakukan hal yang menjijikkan. "Aina aku bisa jelaskan semuanya..." Johan mengiba untuk didengarkan. Aina menolak. "Aku tidak mau berteman dengan orang munafik sepertimu Johan..." "Aina aku tidak minum sama sekali..." Johan berusaha menjelaskan. "Dan wanita-wanita itu?" Aina berhenti sejenak dan memberinya tatapan mata tajam. "Aina, mereka hanya teman-temanku... Merekaa...." Suara Johan agak lirih. "Mereka teman-teman kencanmu, yang dengan bebas kau apa-apakan. Bagaimana bisa teman berciuman dengan teman? Sudah. Biarkan aku pergi..." Aina melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Ditepisnya berkali-kali tangan Johan yang ingin membuatnya berhenti. Melihat pertikaian Aina dan Johan, Teddy hanya tersenyum. Sebuah rencana besarnya telah berhasil. Beberapa kali Aina sempat berteriak agar Johan menjauhinya. "Aina, aku bukan pemabuk! Aku hanya dijebak. Aku tidak ikut minum-minum, sumpah... Aku tak pernah minum lagi. Tadi mereka
Teddy memandangi Aina yang tengah tertidur pulas. Sementara nalurinya mulai bergejolak dan membuatnyasemakin resah. Meski tidur sekamar adalah hal yang dibenci Aina, tapi Teddy menginginkan yang lebih lagi. Mata Aina yang terpejam membuatnya bisa mengamatinya hingga puas. Teddy melihat betapa sempurna lekukan wajah yang Aina miliki. Alisnya yang tebal dan bibirnya yang ranum membuat Teddy menelan ludah. Seperti apa rasanya bibir itu? "Andai kamu bisa mematuhiku tidak hanya saat di luar tempat tidurku, Aina..." Teddy bergumam pada dirinya sendiri. Tiba-tiba petir menyambar mengejutkan bumi. Getaran listrinya yang jutaan volt itu membuat kaki Teddy terkejut bukan main. Aina bahkan merintih ketakutan saat mendengarnya. Untunglah dia tidak terbangun. Teddy menepuk-nepuk lengannya selayaknya bayi yang butuh keamanan. Dia terlelap kembali dalam mimpinya. Tangan kanan Teddy mulai tidak bisa menahan gejolak ini. "Ainaa.." Teddy memanggil
Sebuah senjata masih ditodongkan oleh Teddy tepat di pelipis sebelah kanan Novan. "Mau kemana?" untungnya Teddy bisa mengejar Novan dan Aina."Bukan urusanmu.."Meski Teddy sudah menodongkan pistol ke kepalanya, Novan masih juga besar kepala."Lepaskan Aina..."kata Teddy,"Novan, lepaskan aku..." Aina menangis tersedu.Air mata Aina tumpah melihat dua pria yang memegang senjata. Sementara satu pria sedang mencoba untuk menembak kapanpun ia mau. Rasa takut dan cemas Aina bertarung menjadi satu. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhnya."Minggir kau mafia gila..." Novan tetap tegar pada pendiriannya."Tinggal satu detik lagi, aku akan menghabisimu!" Teddy makin kuat memegang pistolnya."Bunuhlah aku!" tiba-tiba Aina kembali bicara.Mata kedua pria itu saling pandang melihat Aina. Melihat air mata Aina yang tak kunjung sirna, mereka terdiam."Bunuh aku..." kata Aina sambil kembali menangis tersedu.Beberapa menit berlalu dalam diam. Novan dengan segera membuka pintu duduk Aina dan m