Kafkha jadi tidak bisa fokus karena kondisi tubuh yang tidak baik akhir-akhir ini, ditambah lagi dengan beban pikirannya. Di tengah duduk bersandar merilekskan badan di bangku kerjanya, Bunga masuk memberikan kejutan. Pria itu berusaha tersenyum, meskipun rasanya tidak mood untuk melengkungkan bibir. "Papa ...!" Bunga mengajari Raisa yang ada di gendongan tangannya dengan tangan lain menjinjing rantang makanan.Bunga menaruh rantang itu ke atas meja dan membiarkan Raisa berkeliaran. Bunga menghampiri suaminya itu, mengecup pipi Kafkha dengan tangan menyalam tangan suaminya itu. "Kamu sedikit pucat, kami baik-baik saja, kan?" tanya Bunga dengan badan masih merendah, wajahnya sejajar dengan wajah Kafkha."Aku baik-baik saja. Hanya lapar, kamu lambat sekali." Pandainya Kafkha berbohong. "Kamu makanan atau merindukanku?" Bunga menggoda suaminya itu. Bunga duduk di pangkuan Kafkha, kedua tangannya melilit leher suaminya itu dan mengecup bibir Kafkha dengan mesra. Pria itu hanya diam,
Kafkha merasakan tubuhnya begitu lemah setelah keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk kimono dan rambut masih lepek. Ia bergantung dengan merekatkan kedua telapak tangan ke dinding dan perlahan merangkak kan telapak tangan itu di satu sisi kamar itu, beralih bergantung di meja dan duduk di tepi kasur. Jantungnya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari semalam.Beberapa kali ia menarik napas untuk setelah merasa dadanya begitu sesak. Tangannya mengambil ponsel di atas kasur, ia menghubungi nomor Danar untuk meminta bantuan pria itu agar bisa datang ke rumahnya karena Bunga sudah berangkat kerja pagi ini bersama Raisa. "Segera ke sini. Dadaku terasa sesak dan detak jantungku berdetak begitu cepat," ucap Kafkha dengan suara berat. Kafkha menurunkan ponsel ke atas kasur dan mengelus dadanya sambil menarik napas secara perlahan dan berusaha tetap tenang. Sekitar lima belas menit kemudian, Danar sampai bersama kotak medis yang lengkap, yang sudah dipersiapkan dari rumah sakit untu
Bunga membawa Raisa keluar dari sebuah ruangan, di sana bocah itu diperiksa yang merupakan ruangan seorang salah satu dokter anak di rumah sakit itu. Setelah keluar dari sana, Bunga ke administrasi untuk membayar pengobatan Raisa sambil bertanya mengenai Kafkha kepada mereka yang ada di sana. "Suster, dokter Kafkha sudah selesai bertugas di Papua?" tanya Bunga. Tiga perawat yang ada di meja administrasi itu mengerut bingung, mereka saling menatap satu sama lain. Dari raut wajah mereka, Bunga sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres. Siap-siap ia mendengar kebenaran kalau suaminya itu sudah berbohong padanya. "Dokter Kafkha tidak bertugas ke Papua. Dia baru saja keluar dari rumah sakit bersama suster Risa," jawab salah satu dari mereka. Penampakan wujud Kafkha dan Risa tadi tidak salah setelah sempat meragukannya. "Baiklah," ucap Bunga, tidak memperpanjang pertanyaan lagi. Bunga berjalan dalam beban pikiran keluar dari rumah sakit itu dan secara kebetulan berpapasan bersa
Bunga menempelkan alat penurunan panas di dahi Raisa dan membaringkan anaknya itu kembali' ke kasur, menepuk pelan punggung Raisa sampai anak itu tidur kembali. Kala mengingat Kafkha berbohong, Bunga tidak bisa tidur dan memikirkan perbuatan suaminya itu yang dirasa tidak akan sanggup dilakukan Kafkha. Ia kembali meneteskan air mata dan membaringkan badan sambil memeluk Raisa. "Sudah jam dua belas malam, tetapi dia tidak kembali. Padahal, kebohongannya itu sudah tertangkap basah," kata Bunga, dalam hati dan mata menatap jam di atas meja. Ponsel Bunga berdering. Ia duduk kembali dan menatap layar ponsel yang ada di atas meja, Willa menghubunginya. “Halo?” Bunga bangkit dari kasur, berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga dan duduk di sofa ruang tamu, mendengar perkataan Willa yang terdengar melalui sambungan telepon. “Baiklah. Besok aku akan ke sana,” ucap Bunga. Sambungan telepon mereka berakhir.Bunga melangkahkan kaki berjalan memasuki dapur, meminum segelas air putih dan
Bunga datang ke rumah sakit setelah kembali ke rumah pagi tadi. Kedatangannya bersama Raksa dan buket bunga mawar putih. Ia menaruh mawar putih itu ke dalam vas bunga yang ada di atas meja, di samping ranjang yang ditiduri oleh suaminya itu. Sejak semalam, Kafkha belum sadarkan diri hingga siang ini. Akan tetapi, Danar bilang kondisinya stabil. Oleh sebab itu, Bunga bisa meninggalkan Kafkha sejenak, memberikan tiga kepada Risa untuk bisa menjaga suaminya itu selagi dirinya tidak ada di rumah sakit. Ke mana Bunga akan pergi? Ini berhubungan dengan telepon masuk dari Willa semalam. “Bu Bunga tenang saja, aku akan menghubungi Bu Bunga jika terjadi sesuatu kepada dokter Kafkha,” ucap Risa yang tengah menyuntikkan obat di impus Kafkha.“Terima kasih,” ucap Bunga dan memperhatikan vas bunga yang sudah ditempati oleh beberapa tangkai bunga mawar putih itu. “Dah Raisa …!” Risa melambaikan tangan kepada bocah kecil yang baru digendong Bunga. Bunga meninggalkan kamar Kafkha dengan rasa perca
“Raisa?” tanya Bunga, ingat jelas wajah anak itu persis dengan anak suaminya bersama istri pertamanya, mendiang Marissa. “Icha …?” panggil seorang wanita dari jarak beberapa meter di belakang Bunga. Bunga menoleh ke belakang. Kedua bola mata Bunga membelalakkan kaget melihat wajah Marissa pada wanita itu. Bunga berdiri, memutar badan menatap wanita itu yang juga tampak kaget menatapnya. “Bunda …!” panggil gadis kecil itu sambil berlari ke arah wanita itu, mengadukan es krimnya yang jatuh karena Bunga. “Bukankah mereka sudah meninggal? Aku bermimpi atau bagaimana?” tanya Bunga, dalam hati, dan memukul pipinya beberapa kali untuk memastikan dan menyadarkannya. “Bu Bunga!” panggil Risa dari belakang. Bunga memutar badan ke belakang, mendapati wujud wanita yang menghubunginya tadi, memberitahukannya bahwasanya Kafkha sudah siuman. Teringat akan Marissa dan Raisa yang diketahui sudah meninggal, Bunga kembali mengarahkan pandangan ke depan, ingin melanjutkan memastikan diri kalau mer
Risa menyuntikkan cairan obat berwarna bening di impus Kafkha sambil mengingat perkataan Stella tadi yang membuatnya merenungkan perkataan wanita itu. Ia tidak habis pikir, ada rahasia besar yang tersembunyi, tidak diketahui oleh Kafkha selama ini. Bunga yang duduk di samping Kafkha, begitupun dengan pria itu, memperhatikan renungan Risa. “Ada apa suster Risa?” tanya Bunga, penasaran. “Tidak.” Risa tersenyum, belum siap memberitahu mereka mengenai cerita Stella yang sudah diketahuinya secara sempurna. “Kalau begitu, aku pergi dulu,” pamit Risa, keluar dari kamar itu, meninggalkan perasaan bingung pada Kafkha dan Bunga. “Aku merasa suster Risa sedang menyembunyikan sesuatu,” kata Bunga, mengemukakan penilaian terhadap sikap Risa tadi. “Benar. Coba hubungi dokter Danar. Mungkin dia tahu apa yang tengah dipikirkan olehnya,” mata Kafkha. Bunga mengeluarkan ponsel dari tas yang ada di atas meja, ia menghubungi nomor Danar, menyuruh pria berprofesi sama dengan suaminya itu untuk datan
Stella berjalan menghampiri meja di samping kasur, menaruh plastik makanan di sana dan mendekati Raisa, memeluk anak itu agar tidak mendekat dengan kedua wanita yang ada di hadapannya.Kedatangan kedua wanita itu merusak suasana hati bahagia Stella, ekspresinya langsung tajam, menunjukkan rasa tidak suka.“Mengapa kalian ke sini? Kamu sudah memberitahunya, Risa? Kamu tidak mendengarkan perkataanku?” tanya Stella kepada Risa. “Ak–,” perkata Risa terpotong karena sergapan Bunga. “Bisa kita berbicara sebentar?” ajukan Bunga dengan harapan. Stella terdiam, beralih menatap Bunga yang menunjukkan ekspresi memelas. Stella menurunkan pandangan, menatap bocah perempuan yang memiliki tinggi hingga pinggangnya itu. “Raisa di kamar saja. Mama keluar sebenar,” pesan Stella kepada Raisa setelah melepaskan pelukan dari anak itu. Raisa menganggukkan kepala, menurut. Stella keluar dari kamar, diikuti oleh Bunga, sedangkan Risa tetap berada di kamar itu, memastikan gadis tersebut tetap selalu ber