Share

05. Beraninya Mereka!

Langit sudah berwarna keoranyean ketika Savanah melintasi jalan setapak dari pekarangan rumah Storm hingga ke teras belakang mansion keluarga Dyazz.

Angin malam yang dingin pun mulai membelai kulit Savanah dan meninggalkan jejak dingin yang cukup menusuk.

Beruntung jalan setapak yang dilalui Savanah berupa tanah yang kering dan solid.

Ketika akhirnya Savanah tiba di teras belakang mansion keluarga Dyazz, langit sudah semakin temaram.

Penerangan kini mengandalkan sinar rembulan, lampu taman, serta lampu teras.

Savanah sudah menunggu lagi selama lima menit dengan berjalan pelan, bolak balik di teras belakang mansion keluarga Dyazz. Tunggu ditunggu, Milka tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

'Ke mana sih Milka? Dia yang mengajak bertemu tapi tidak muncul-muncul?'

Menyesal rasanya karena Savanah meninggalkan ponsel di rumah. Tadinya dia berpikir dia sudah membalas dengan ‘Oke’ pada ajakan bertemu dari Milka. Seharusnya balasannya itu cukup membuat Milka menunggu di titik pertemuan seperti yang tertera pada pesan chat mereka.

Namun, Milka malah tak kunjung muncul seperti ini.

Angin yang semakin dingin mulai terasa menusuk kulit Savanah. Gadis itu pun memeluk dirinya sendiri, sambil berharap agar Milka segera muncul.

'Haruskah aku mengetuk pintu rumah ini? Tapi aku tidak mau jika nanti malah Moreno atau ibunya Moreno yang membuka pintu!’

Sembari berpikir dan terus mondar mandir pelan di teras belakang mansion, Savanah tiba-tiba saja mendengar suara itu!

Suara samar, tapi cukup mencuri perhatian telinganya.

“Oh ... baby ... oh ... uuhh ... Moreno ... Aaaah....”

Savanah terpaku di tempat berdirinya.

Itu suara Milka!

Lalu kini terdengar bunyi seperti tepukan yang teratur. Tidak kuat, tapi cukup tertangkap indera pendengarannya. Dan seiring bunyi tepukan itu, desahan Milka pun terus berlanjut.

Savanah semakin terpaku di tempatnya berdiri.

Sekalipun dia tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bunyi apa yang didengarnya itu, tapi perlahan Savanah mengerti bunyi dan suara apa itu.

Lagi suara Milka yang begitu memualkan perutnya terdengar.

Tiba-tiba saja, Savanah melihat ada jendela di dekatnya yang tidak tertutup rapat. Ada celah kecil di sana, yang diduga Savanah merupakan ruangan tempat asal suara Milka berada.

Pikiran Savanah kemudian bertanya-tanya sendiri.

'Apakah Milka tidak ingat dengan pertemuan yang dimintanya ini?'

'Kenapa dia malah berduaan dengan Moreno di jam yang harusnya bertemu denganku?'

Lalu pikiran Savanah tiba-tiba menyimpulkan sendiri.

'Jangan-jangan ...

Dia sengaja memanggilku ke sini untuk memamerkan percintaannya secara live padaku?

Urgh! Sialan kau, Milka! Itu menjijikkan!'

Savanah semakin mual memikirkan cara Milka yang menjijikkan. Dia tak ingin memikirkan hal lain lagi. Savanah pun berlari dari sana, meninggalkan segala keperluannya di sana.

Langkahnya lebar dan cepat melewati jalan setapak yang kini semakin sulit terlihat.

Beruntung tidak ada hambatan apapun.

Tak butuh waktu lama, Savanah akhirnya tiba di pekarangan rumah kayu Storm.

Hatinya lega bukan main. Savanah langsung berlari dan menaiki teras rumah Storm untuk menuju dalam.

Tapi tiba-tiba saja, dia menabrak sesuatu yang tinggi dan sekokoh beton.

Savanah oleng hingga sepasang tangan yang kuat menangkapnya.

Savanah merayapkan pandangannya ke atas untuk melihat apa yang ditabraknya dan siapa yang menangkapnya.

Saat itu juga, sebuah suara yang berat dan rendah menggelegar marah terhadapnya.

“Dari mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana, tapi kau tidak ada! Kenapa tidak mengatakan padaku kalau kau hendak jalan-jalan ke luar?”

Savanah terkejut mendengar nada marah Storm.

Dia menatap heran sementara benaknya masih penuh dengan desahan Milka yang menjijikkan.

Savanah tak sanggup memikirkan jawaban karenanya dia hanya menggeleng kecil.

Namun, karena hatinya pun masih begitu marah pada Milka dan sekarang Storm malah menyecarnya tanpa alasan, kedua matanya jadi terasa panas.

Sebutir bulir bening pun menetes membuat Storm terkesiap melihatnya.

“Sa- Sav- Savanah? Ke- kenapa kau me- nangis? Jangan menangis! Aku tidak sengaja! Aku-”

Savanah hanya menggeleng, tapi Storm langsung merasa bersalah. Dia mengira semua karena bentakannya tadi.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya-”

Pria bertubuh tinggi dan berotot itu menghirup napasnya dalam-dalam sambil menyugar rambut coklatnya yang setengah gondrong.

Dia lalu berkata lagi dengan suara yang lebih tenang, “Aku mengira kau tersesat di pepohonan sana.

Di belakang sana masih seperti hutan dan bahkan masih ada rawa-rawa. Aku sungguh takut kau berjalan sampai ke sana lalu tersesat. Aku tidak tahu bagaimana caramu meminta tolong kalau kau sampai terjatuh ke rawa-rawa seorang diri!”

Jika orang lain yang menyinggung kebisuannya sebagai alasan seperti ini, Savanah mungkin sudah akan tersinggung. Tapi ini adalah Storm yang mengatakannya.

Savanah tidak bisa marah dan tersinggung, terlebih lagi ketika dia memikirkannya, sangatlah benar apa yang dikatakan Storm. Bagaimana caranya meminta tolong jika dia celaka seorang diri, sedangkan suaranya saja tidak bisa keluar.

Apalagi sorot mata pria itu begitu mengkhawatirkannya.

Dan Storm lagi-lagi mengalahkan rekor kalimat terpanjangnya hari ini. Sungguh mengherankan. Pria itu ternyata bisa bicara panjang lebar juga.

Savanah hanya menggeleng sebagai jawaban lalu menatapnya lembut penuh terima kasih karena telah menaruh perhatian pada dirinya.

“Jangan lakukan itu lagi, oke? Selalu beritahukan padaku setiap kali kau mau keluar, oke?”

Savanah pun mengangguk kecil dan sangat ajaib dengan cepat sorot mata Storm berubah tenang dan penuh kelegaan.

                ***

Storm lalu menuntun Savanah masuk ke dalam rumah. Savanah baru teringat dia hendak bertanya ke mana Storm tadi sore. Tapi kendala suaranya membuat Savanah mengurungkan niatnya.

Di atas meja makan persegi yang hanya cukup untuk dua orang, terlihat dua piring menu makan malam mereka.

Savanah heran, dari mana makan malam itu muncul. Tidak mungkin rasanya ada delivery yang bisa mengantarkan sampai ke tempat yang tersembunyi seperti ini.

“Duduklah, kita makan dulu. Aku tadi mengambil kentang dan wortel dari kebun sayurku di belakang. Makanya aku sangat terkejut saat kembali aku malah tidak menemukanmu.”

Savanah menatap lagi pada Storm lalu mengangguk merasa bersalah pada pria itu.

Seakan mengerti, Storm menggenggam tangan Savanah.

“Tidak usah pikirkan lagi. Aku yang terlalu khawatir. Sekarang, ayo kita makan dulu.”

Mereka duduk dalam diam dan mulai makan.

Di setiap piring terdapat dua buah telur mata sapi yang telah digoreng. Dari luar menu itu tampak sederhana. Tapi ketika Savanah menyicipinya, cita rasa telur mata sapi itu sangat unik.

Bukan sekadar asin dari garam, tapi juga ada berbagai rasa lain.

Ada pedas dari lada, lalu ada juga taburan dedaunan kering yang memberikan aroma unik dan harum. Selain itu ada juga rasa empuk dan gurihnya butter yang begitu menyatu dengan sempurna dengan keseimbangan yang pas.

Savanah tidak bisa memungkiri jika menu makan malam mereka yang sederhana ini terasa begitu lezat.

Tak bisa menahan diri, Savanah langsung bertanya dengan gerakan jarinya, {Kau yang memasak ini?}

Storm memandanginya, tapi tidak terlalu mengerti. Dia hanya mengedikkan kedua bahunya.

Savanah pun bangkit dari duduknya lalu melesat ke dalam untuk mengambil ponsel di kamarnya. Setelahnya, dia kembali ke hadapan Storm.

Dia mengetik di ponselnya. [Apa kau yang memasak ini?]

Storm membaca lalu menjawab, “Iya.”

Savanah memberikannya senyum lebar dengan kedua mata berbinar-binar, tapi Storm terlihat biasa saja.

Savanah berdecak kesal dalam hatinya, tapi akhirnya tidak membahasnya lagi.

Mereka makan dalam diam, hingga tiba-tiba Storm bertanya lagi, “Tadi kau ke mana?”

Layar ponsel dihadapkan pada Storm dan terdapat tulisan di sana: [Aku ke mansion ayahmu. Milka mengirimiku pesan dan memintaku datang ke sana.]

Kernyitan dalam tercetak jelas di wajah Storm. Lalu suaranya terdengar tak senang.

"Sepupumu itu memintamu datang dan kau masih bersedia datang menemuinya? Setelah apa yang dia lakukan padamu?"

Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya: [Aku hanya penasaran. Apa yang ingin dia bicarakan.]

"Lalu? Apa yang dia katakan?"

Wajah Savanah langsung memerah teringat bahwa dia dengan suksesnya dijebak Milka. Namun, untuk menceritakannya pada Storm pun Savanah merasa malu. Jadi, dia hanya menggeleng.

"Apa yang dia katakan padamu?" Suara rendah sedikit serak itu bertanya lagi, menuntut jawaban.

Savanah mengetik lagi: [Tidak ada. Dia sepertinya sengaja memintaku datang untuk menyaksikan percintaannya dengan Moreno. Karena dia tidak muncul dan malah terdengar suara-suara mereka di kamar dekat teras.]

Wajah Savanah semakin merah dan menunduk ketika Storm membaca isi ketikannya di ponsel.

Dia sudah siap menjadi bahan tertawaan Storm.

Tapi yang terjadi malahan ...

Brak!

Pria itu menghantam meja dan berkata dengan wajah marah, "Kurang ajar! Beraninya dia masih mempermainkanmu! Benar-benar keterlaluan! Lihat saja nanti, aku pasti akan membuat perhitungan dengan mereka!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status