Share

04. Ajakan Bertemu!

“Aku tinggal di rumah reyot ini. Maaf kalau tempatnya berantakan. Aku sungguh tidak menduga jika hari ini aku akan menikah.”

Sepulang dari prosesi pernikahan, Storm membawa Savanah melintasi jalanan yang mengarah ke mansion utama keluarga Dyazz. Sepanjang jalan, Savanah sempat gelisah mengira Storm pun tinggal di mansion keluarga Dyazz. 

Tapi ternyata, sebelum mencapai mansion keluarga Dyazz, Storm membelokkan mobilnya menuju perkebunan terbengkalai dan berhenti di depan sebuah rumah kayu yang disebutnya rumah reyot.

Savanah merayapkan tatapannya pada rumah kayu di hadapannya. Memang tampak sederhana, tapi baginya tidak reyot sama sekali.

Bisa dia lihat bahwa rumah itu terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik.

Susunan kayu yang terpasang sangat teratur dan rapi. Savanah bisa melihat teknik pembangunan rumah yang bukan asal-asalan.

Tiba-tiba saja ekor gaunnya terasa ringan. Ternyata Storm sudah berada di belakangnya dan mengangkat ekor gaunnya agar dia bisa melangkah lebih mudah.

Storm juga menuntunnya menaiki pijakan tiga anak tangga menuju teras rumahnya.

'Benar, tidak reyot. Lantai papan di teras tidak berderit. Kayu-kayu itu kokoh, bahkan permukaannya terlihat sangat halus.'

Ketika Storm membuka pintu rumah, Savanah bisa melihat isi rumah itu pun cukup rapi. Hanya ada beberapa majalah dan botol minuman yang tergeletak begitu saja di meja ruang tamunya.

“Maaf, akan kubereskan,” kata Storm lagi sembari cepat-cepat memungut satu demi satu barang-barang itu dan membawanya ke dapur.

Sembari menunggu, Savanah melihat sekeliling ruang depan itu.

Rumah kayu itu tidak besar. Di tempatnya berpijak adalah ruang tamu, lalu bersambungan menjadi ruang makan dan dapur, tanpa sekat.

Tidak ada furnitur lemari ataupun rak yang menjadi sekat. Hanya ada tangga menuju lantai dua di antara ruang tamu dan ruang makan bercampur dapur.

Sekilas melihat rumah ini, Savanah merasakan perasaan yang asing namun menentramkan.

Perkebunan terbengkalai ini terasa sepi tapi cukup menenangkan. Lalu di rumah ini, ada banyak jendela besar yang dibiarkan Storm terbuka lebar sehingga angin bebas berkeliaran di sana.

Bagi Savanah angin-angin itu menyegarkan hatinya.

Savanah menyukai tempat ini. Dia hanya tak pernah menyangka jika Storm, yang juga merupakan putra dari Tn. Braxton, selama ini malah tinggal di perkebunan liar yang terbengkalai yang letaknya berada di belakang mansion keluarga Dyazz.

'Tidak apa-apa.'

Savanah menjawabnya dengan gerakan jarinya sembari memberi anggukan dan senyum kecil ketika Storm kembali dari dapur.

Hanya anggukan dan senyuman kecil, tapi Storm tampak terpukau untuk beberapa detik lamanya.

Tatapannya bagai tersihir menatap Savanah, seakan dia tak mampu mengalihkan lagi tatapan matanya dari wajah cantik bersahaja Savanah.

Itu membuat Savanah jadi merona malu.

"Aku rasa lebih baik kau tunggu dulu di sini. Aku akan membereskan kamar dulu.”

Begitu Savanah mengangguk, dua kaki panjang Storm melesat ke tangga menaiki dua bahkan tiga anak tangga sekaligus untuk menuju lantai dua.

Terdengar bunyi barang yang digeser beberapa saat lamanya.

Kemudian barulah Storm kembali terlihat melompati tangga-tangga itu untuk turun dan tiba di hadapan Savanah lagi.

“Sudah beres! Aku harap kau tidak merasa risih dengan kondisi rumahku yang reyot seperti ini. Sungguh aku tidak tahu kalau aku akan menikahimu, Savanah. Kalau aku tahu, sebulan ini akan kugunakan waktu untuk merenovasi rumahku ini.

Semoga kau tidak kesulitan beradaptasi di sini.”

Savanah memandangi mata kecoklatan Storm yang pekat.

Selama ini, setahunya Storm adalah pria yang irit bicara. Tapi seharian ini, dia sudah mendengar Storm berbicara banyak setiap kali membuka mulut.

Sungguh Savanah tak menyangka Storm bisa juga bicara panjang-panjang.

Tapi Savanah lebih terpukau lagi karena dia sungguh tak menyangka pria yang juga dipaksa menikahi dirinya ini ternyata peduli pada perasaannya dan kenyamanannya.

***

Berhubung semua koper miliknya sudah terlanjur diantarkan ke mansion utama keluarga Dyazz, Savanah terpaksa meminjam kaos oblong kebesaran Storm untuk dia kenakan.

Masih terbayang di benaknya bagaimana dia harus meminta bantuan Storm untuk menurunkan resleting gaunnya.

Momen canggung tercipta di antara mereka ketika kulit jemari Storm menyentuh kulit punggungnya.

Desiran kecil terasa menggetarkan hati Savanah.

'Kenapa? Jelek ya?' tanya Savanah lewat gerakan jarinya saat melihat Storm terpaku menatapnya tanpa kedip mengenakan kaos oblongnya.

Dia pasti tampak aneh dengan kaos oblong yang panjangnya mencapai lutut.

Kaos ini tampak seperti dress untuk Savanah.

Namun saat itu, Storm tidak paham apa yang dikatakan Savanah lewat jarinya.

"Maaf aku tak mengerti. Tapi aku heran, kau bisa tetap terlihat cantik walau mengenakan kaos kebesaran seperti ini."

Kata-kata Storm seakan menjawab pertanyaan Savanah, walaupun tadi pria itu berkata tidak mengerti.

Sepertinya jalan pikiran mereka cukup menyambung satu sama lain. Savanah bersyukur jika memang demikian.

'Terima kasih.'

Savanah menggerakkan jarinya lagi berupa bahasa isyarat.

Kali ini, Storm terlihat mengangguk. Sepertinya dia mulai bisa memahami bahasa isyarat, walau masih meraba-raba.

Setelahnya, Storm ikut berganti pakaian lalu dia membereskan gaun pengantin Savanah untuk menyimpannya di lemari bagian teratas.

Setelah selesai, Storm menyapukan pandangan ke arah luar lewat jendela kamar yang terbuka, lalu kembali menatap Savanah.

Sebelah tangannya menyapu rambut lumayan gondrong miliknya, yang panjangnya seleher, sehingga bisa dikuncir menjadi satu ikatan di kepala.

"Hari sudah hampir sore. Aku akan ke belakang sana mengambil bahan-bahan makanan. Baru setelah itu kita makan malam."

Meskipun tak mengerti ada apa di belakang sana, tapi Savanah tetap menganggukkan kepalanya pada Storm. Pria yang posturnya menjulang tinggi dengan tubuh besarnya itu pun berbalik dan melangkah pergi dari hadapan Savanah.

Tinggallah Savanah di rumah kayu itu seorang diri.

Udara segar sore hari yang bertiup dari luar mulai mengisi ruangan demi ruangan di rumah itu lewat jendela besar yang dibiarkan terbuka. Savanah ikut memandangi perkebunan terbengkalai itu dari jendela kamar.

Sekitar lima meter di sekeliling rumah, lahan terlihat kosong tanpa pohon sama sekali.

Pohon-pohon tumbuh agak jauh ke sana di luar radius lima meter tadi.

Savanah ingin mengetahui apa yang Storm kerjakan di belakang sana, tapi dia tidak bisa melihat ada apa di antara pohon-pohon sana karena langit pun sudah mulai kelabu.

Lalu tiba-tiba terdengar dering notifikasi ponsel.

Tring tring!

Savanah gegas melihat ponselnya dan ternyata itu adalah pesan dari ... Milka.

'Milka? Dia masih berani dia mengirim pesan?'

[Sav, kata Moreno kau dan suamimu tinggal di perkebunan liar di belakang mansion mewah kami. Itu sangat menyedihkan, Sav! Apakah kau baik-baik saja di sana?

Tempat tinggal suamimu itu tidak terlalu buruk, kan? Aku sungguh khawatir kau takkan sanggup tinggal di sana satu hari pun.]

Savanah kesal membaca isi pesan Milka. Setelah apa yang terjadi di pernikahan tadi, dia masih berpura-pura baik dan peduli? Yang benar saja!

Savanah pun membalasnya:

[Benar, rumahnya di perkebunan belakang tapi aku tidak merasa ini menyedihkan. Malahan tempat ini sangat menyenangkan. Rumahnya berlantai dua, bersih, dan banyak angin segar di sini.

Perkebunannya pun subur dan indah. Banyak pepohonan di sini membuat musim panas ini terasa lebih sejuk.

Lagipula, aku senang setidaknya dengan tinggal di sini, aku tidak perlu tinggal dengan seluruh keluarga besar Dyazz.

Kau tahu sendiri kan, banyak cerita tidak menyenangkan dari pasangan pengantin yang tinggal bersama mertua mereka.]

Savanah tersenyum membaca pesan balasannya, lalu dia menekan tombol send.

Baru hendak meletakkan ponsel di meja, balasan dari Milka kembali datang.

[Kalau masalah tinggal bersama mertua, memang banyak cerita tak mengenakkan. Tapi aku sih yakin ya kalau hubunganku dengan orang tua Moreno tidak akan retak sekalipun kami tinggal di bawah satu atap.

Ibunya Moreno sangat menyayangiku.

Apalagi saat nanti aku sudah memberikan pewaris bagi keluarga Dyazz. Mereka pasti akan memuja dan meratukanku. Aku yakin itu, Sav.

By the way, bisa kau datang ke teras belakang sini sebentar? Masih ada yang ingin kubicarakan denganmu. Aku tidak ingin kau berpikiran buruk tentang apa yang terjadi di acara pernikahan tadi siang itu.

Oke, Sav? Temui aku sepuluh menit lagi, oke?]

'Ck! Sombong sekali jawaban Milka. Dia terlalu pede bakalan menjadi menantu kesayangan mertua.'

Setelah apa yang terjadi tadi siang, tentu saja sulit bagi Savanah untuk tidak merasa kesal pada Milka.

Hanya saja, dia juga penasaran apa lagi yang masih ingin dibicarakan Milka? Apakah dia hanya mau berpura-pura minta maaf? Atau ... dia hanya ingin memberikan pembenaran atas apa yang telah terjadi?

Pada akhirnya, rasa penasarannya pun menang. Savanah sangat ingin tahu apa lagi yang masih ingin dibicarakan Milka setelah semua hal yang terjadi tadi siang.

[Oke!] Savanah menjawab dan send.

Lima menit berlalu dengan Storm yang masih tak kelihatan batang hidungnya.

Entah apa yang dia lakukan di belakang sana.

Savanah ingin memberitahukan tentang kepergiannya menemui Milka. Tapi Storm tak kunjung muncul. Savanah pun memutuskan untuk pergi menemui Milka sendirian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status