Share

IDPK - Part 4. Jemuran Belum Kering

Seorang gadis dengan postur tubuh 155cm dan berat badan delapan puluh kilo menuruni tangga. Kali ini ada yang berbeda dengan penampakan Lilian. Satu stel seragam pencak silat warna hitam dengan ukuran triple XL membalut tubuhnya yang gemoy.

Ikat kepala warna putih melingkar di kepalanya yang terbalut kerudung senada dengan sabuk putih yang melingkar pinggangnya yang sama sekali tidak langsing.

Langkahnya terhenti di ruang tengah. Di sana, sosok Satrio sedang duduk bersandar di sofa dengan malas sembari menonton salah satu channel televisi.

Malam ini pria sombong itu tidak keluar. Setelah seharian penuh bercengkrama dengan mami dan papinya juga istrinya yang super super gemoy itu, Satrio tidak ingin pergi kemanapun.

"Mas!" panggilnya lantang.

Satrio melirik dengan ekor mata penampakan yang ada di hadapannya itu. Bibirnya menganga demi melihat sosok pendekar gemoy tersebut.

"Jadi ndak? Aku udah siap, Mas!" ucapnya.

Lilian bersedekap di depan suaminya dengan memasang wajah dingin dan datar.

"B-buuahahaha...." Suara tawa meledak tanpa bisa ditoleransi.

Melihat Lilian mengenakan seragam pencak silat, Satrio tidak tahan untuk tertawa. Apalagi ditambah dengan ekspresi sok dingin dan datar itu, membuat Lilian sama sekali tidak terlihat sangar, tapi justru sebaliknya.

"Haish, aku ini lagi serius loh, Mas!" Lilian menggerutu.

"Serius apa? Serius ngelawak? Hah?" Satrio masih tertawa geli.

Padahal Lilian sudah berusaha sekuat tenaga supaya terlihat sangar. Ternyata gagal total.

"Tadi siapa yang bilang mau ngajak WAR? Aku sudah siap, Mas!" Lilian memasang kuda-kuda.

"Jiiaahahaha...." Sekali lagi, gemuruh tawa tidak lagi bisa dibendung. Ledakan yang lebih besar dan lebih riuh dari sebelumnya. Ditambah lagi dengan sedikit bumbu mengejek dan mengolok-olok.

"Stop, Mas! Jangan tertawa!" Lilian merasa kesal.

"Memangnya aku ini badut? Kenapa diketawain!" semburnya galak dengan bibir manyun beberapa senti.

Satrio yang tadi duduk bersandar dengan malas kini harus terbungkuk-bungkuk karena tertawa sambil memegangi perutnya.

"Hedeh.... Ha-ha-ha...."

Lilian mendengus kesal.

Akhirnya dia menghempaskan bokongnya di salah satu sofa di ruang tengah. Padahal dia sudah siap untuk WAR. Eh, Satrio malah meremehkan dirinya.

"Tertawa aja sepuas kamu, Mas."

Serta merta, dia meraih remote televisi dan memindahkan channel televisi favoritnya. Acara dangdut campur sari di salah satu stasiun favoritnya sudah dimulai.

"Nah, berhubung acara ini sudah dimulai. WAR kita tunda dulu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan, Mas." Raut wajah kesal sudah memudar berganti dengan senyum lebar sambil bergoyang ketika irama musik campur sari di televisi.

Satrio memutar bola mata malas.

"Haish, lama-lama rumah ini jadi nggak waras, karena ikut goyang koplo!" dengus Satrio kesal.

Tanpa sadar, Lilian telah membawa trend baru di rumah ini. Biasanya, Satrio memutar musik klasik kesukaannya. Sekarang telinganya harus ternoda dengan dangdut koplo. Huh, benar-benar meresahkan.

Satrio bergegas bangkit. Kupingnya sudah tidak bisa lagi memberi toleransi musik koplo yang terus melesak ke dalam gendang telinga.

Sebelum dia ikut bergoyang koplo, lebih baik dia masuk kamar dan menguncinya baik-baik. Kenapa rumah ini menjadi berubah meresahkan sejak kehadiran Lilian?

Seharusnya dia yang harus membuat Lilian tidak nyaman di rumah ini, kenapa jadi kebalik begini?

Satrio lagi-lagi hanya bisa mendengus kesal. Lain kali dia akan mengajak Sherly ke rumah ini untuk membalas Lilian. Gadis gendut itu harus diberi pelajaran sekali-kali.

"Mau kemana, Mas?" tanya Lilian heran.

"Pergi lah! Lama-lama aku bisa kecanduan musik koplo," sahutnya kesal.

"Bagus kan, Mas? Daripada kecanduan selingkuh dengan pelakor!" sindir Lilian.

"Siapa yang selingkuh!" Satrio merasa kesal dengan sindiran Lilian.

"Ya, kamu lah, masak aku!" Tanpa sengaja Lilian melihat foto seorang gadis cantik yang dijadikan wallpaper di laptop Satrio. Lilian yakin seratus persen gadis itu pastilah yang disebut oleh Satrio sebagai kekasih beberapa hari yang lalu.

"Aku nggak pernah selingkuh, Bloh! Dia itu dari dulu memang kekasihku! Jauh sebelum aku kenal kamu! Jadi, kamu nggak berhak ngatur-ngatur hidupku, meskipun statusmu itu adalah istriku, itu hanya status! Ingat itu, Sebloh!"

Pada akhirnya, WAR antara Satrio dan Lilian tidak jadi ditunda.

Kali ini Satrio benar-benar marah. Dia merasa tersinggung disebut selingkuh oleh Lilian. Sejak dulu dia setia dengan Sherly. Seharusnya dia marah pada Lilian, orang yang telah merusak kesetiaan Satrio yang tadinya full untuk Sherly, sekarang harus dibagi dengan Lilian.

Apalagi, tadi Lilian menyebut Sherly sebagai pelakor. Satrio jelas tidak terima.

"Harusnya yang marah bukan kamu, Li! Harusnya Sherly yang marah. Kamu udah membuat jadwalku hari ini kacau." Satrio tidak bisa menahan diri jika Sherly dihina. Dia adalah satu-satunya wanita yang dicintai Satrio dalam hidupnya.

"Satu lagi, jangan pernah sebut Sherly sebagai pelakor! The real pelakor itu adalah kamu, Li! Cam kan itu!" Selepas berkata demikian, Satrio beranjak pergi tanpa menoleh.

Dia tidak bisa membiarkan siapapun menghina kekasihnya. Sherly kekasih yang telah berhasil membuat hati Satrio terpikat sampai sedalam itu.

Hari ini Sherly terpaksa bersabar karena rencana mereka harus gagal total.

"Halo, Dek," sapa Satrio selepas menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Mas Satrio, malam ini nggak datang?" Suara dari seberang yang terdengar lembut segera menyapa gendang telinga Satrio.

Aah, betapa dia merindukan suara dan wajah Sherly hari ini.

"Besok pagi saja, ya. Sebelum ke kantor, Mas mampir ke apartemen kamu. Hari ini Mas capek banget, Dek," jawab Satrio meminta pengertian Sherly.

"Mas Satrio nggak macem-macem sama dia kan? Sherly nggak suka kalau Mas Satrio deket-deket dia, Mas," rajuknya.

"Ya, enggak mungkin macem-macem lah, Dek. Baru lihat bentukan body-nya saja Mas Satrio udah eneg nggak nafsu, Dek." Satrio mencoba meyakinkan.

"Bener, ya. Sherly sedih loh, Mas. Pokoknya, jika sudah memungkinkan, Mas Satrio harus segera menceraikan gadis gendut itu. Sherly udah nggak sabar menunggu hari pernikahan kita, Mas." Wajah gadis cantik yang ada di layar ponsel Satrio itu mengerucutkan bibirnya.

"Iya, Sayang. Mas juga udah nggak sabar. Eum, tapi kan kamu tahu sendiri, papi aku kek gimana, kan?" ucap Satrio lembut.

"Kenapa bukan Bintang saja yang menikahi Lilian? Dia kan masih jomlo! Kenapa harus Mas Satrio?"

Sampai hari ini, Sherly masih terus mempertanyakan pernikahannya dengan Lilian. Dia merasa semua ini tidak adil untuknya.

Mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun, tiba-tiba harus kandas begitu saja hanya karena sebuah janji dari Haryo Sasongko. Itu sangat tidak adil untuk Sherly.

"Sabar, Dek. Pelan-pelan aku akan bicara dengan papi. Kamu yang sabar, ya." Satrio masih berusaha meyakinkan Sherly bahwa semua ini akan segera berakhir.

Saat dirinya berhasil menjelaskan pada papinya tentang cintanya pada Sherly.

"Bener, ya, Mas. Jangan sia-siakan pengorbanan yang udah aku lakukan untuk kamu, Mas," rajuknya.

"Iya, Dek. Apa kamu nggak percaya kalau aku itu cinta banget sama kamu, Dek. Pokoknya, Mas Satrio akan memperjuangkan cinta kita, Dek."

Sherly tersenyum puas setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Satrio. Dia sangat yakin bahwa Lilian hanyalah ujian untuk cinta mereka. Gadis gendut itu akan segera menghilang cepat atau lambat.

"Okay, Mas. Aku percaya kamu."

"Jangan matiin telponnya, Dek. Aku pengen tidur sambil denger suara kamu, Dek," pintanya.

Tak peduli suara dangdut koplo yang riuh terdengar dari televisi yang ada di ruang tengah. Satrio sama sekali tidak peduli.

Baginya, saat sudah mendengar suara Sherly yang manja dan lembut itu, sudah berhasil menjadi pengobat rasa kesal pada kejadian sebelumnya.

Lilian dengan segala tingkah konyolnya hari ini sudah menguap begitu saja. Satrio masih terus meyakinkan dirinya bahwa gadis itu hanya tamu yang mampir sebentar di rumahnya. Dia akan segera mengusirnya dari rumah ini setelah berhasil meyakinkan sang Papi tentang cintanya pada Sherly.

Sementara di ruang tengah. Lilian masih mengerucutkan bibirnya kesal.

"Kamu itu kok aneh to, Mas. Jelas-jelas wanita itu yang pelakor. Bisa-bisanya malah aku yang kamu sebut pelakor," omelnya.

"Serba kewolak-walik. Aku yang istri sah malah disebut pelakor. Beuh, dunia terbalik!" lanjutnya.

Gadis gendut itu bangkit dari duduknya masih dengan muka bersungut-sungut. Dia melangkah menuju kulkas. Barangkali suaminya itu sudah beli kue lagi. Dia harus makan untuk mengganti rasa kesal yang dirasakan saat ini.

Benar, begitu dia membuka kulkas. Ada kotak kue red velvet baru. Kue yang tadi pagi hanya tersisa tiga potong sudah dihabiskan oleh Satrio.

"Aah, malam ini dengan berat hati aku memaafkan kamu, Mas. Sebagai kompensasi, aku akan makan kue milik kamu lagi. Lagian salah sendiri, ngapain coba bikin aku kesel." Lilian memakan satu demi satu kue red velvet itu tanpa dosa.

Bahkan dia menganggapnya sebagai pengganti energi yang telah dikeluarkan untuk memikirkan hal yang tidak penting yang membuat hatinya stres.

"Kalau mau marah, marah aja sekalian, Mas. Terserah kamu! Aku ndak peduli lagi!" keluhnya kesal.

Meskipun belum ada rasa cinta yang ada di dalam hati Lilian untuk Satrio. Namun dia juga kesal karena merasa tidak dihargai. Hanya demi seorang gadis yang bernama Sherly itu, Satrio sampai harus menyebutnya dengan kata pelakor. Lilian jelas tidak terima.

"Kalau besok pagi masih mau melanjutkan WAR lagi, silakan. Aku bakal ladenin kamu, Mas," omelnya.

Seperti biasanya, Lilian hanya menyisakan tiga potong di kotak kue itu.

"Baiklah, aku tunggu double kill dari kamu, Mas. Aku udah ndak peduli kamu mau ceraikan aku sekarang apa besok. Terserah!" geramnya.

Nasibnya lebih mengenaskan dari diputuskan sepihak. Dia saat ini digantung seperti jemuran belum kering.

Menyebalkan!

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status