"Ini yang di tempat minum barunya Adik ya," kata Ciara.
"No! Mau yang ini! Huaaaaaa!" Uja memeluk Ciara sembari menyentuh bagian minuman favoritnya.
"Ahahaha, adik ini ada-ada saja. Tak matiin dulu videonya Sayang," kata Haidar.
"Udah pakai toga ini gimana dong, Bi?" tanya Ciara.
"Kamu lepas dulu aja, tadi ada kabar ada sedikit penundaan waktu, dosennya kejebak macet. Nggak apa-apa ya Ibu cantik, daripada adik nangis? Adik kan emang si paling suka minum langsung. Turuti aja, entar nyesel karena sebentar lagi mereka udah nggak minum si dua bola gemoy ini," kata Haidar.
Ribet pakai banget tidak? Sudah dandan bagus nan rapi, harus melingkapkan toga lagi demi menyusui sang putra. Namun, Ciara mengikuti nasihat suaminya. Tidak mau sebuah penyesalan menghantui perjalanannya kelak, yang mana sekarang kalau saja si anak udah bisa lepas ASI, dal
"Ibu ...." Haidar hanya menatap Ciara.Bentakan Ciara berhasil membuat Haidae membeku. Belum sampai mengutarakan yang ingin disampaikan, Ciara malah menyuruh keluar bersama kedua putranya. Ciara ingin bicara dengan Uda saja."Keluar, Bi! Bawa Abang dan Adik keluar!" teriak Ciara.Tidak berkutik apa-apa, daripada istrinya semakin melanjutkan bentakan, lebih baik segera keluar. "Ayo Dik keluar dulu!""Ampun puh cepuh! Jangan galak-galak napa Bu? Kacian Kakak," kata Uja.'Hhhah, pasti kamu nahan tawa ini Isbayku,' batin Haidar."Adik bisa keluar dulu kan? Ibu mau bicara sama Kakak!" seru Ciara.Uja si paling ngetrend. Semua trend, dia seperti hafal, bukan karena lihat gadget. Akan tetapi, dia merekam saat ada pengajian. Apalagi, Kang Musa sering mengajari mereka berk
Haidar chat kasih puisi:Wanitaku, Sayang! Rahim yang KugaliKini Telah TertaliAduan Nafsu MengangaDoa dan Cinta pun BerbungaTubuh yang KurabaKini Hangatnya MengabaTersingkir dari AnginMembunuh Gemuruh DinginQobiltu yang Menjadi JanjiKini Telah Kuhempas dari RujiMenjemput PagiDengan Penuh EnergiPada Akhirnya, Aku SadarPernikahan Bukan Jalan PudarSayang, Kamu Cantik!Sayang, Kamu Cerdas!Sayang, Kamu Hebat!Sayang, Sini Kupeluk!Sayang, Aku Cinta Kamu!Ciara: Love banget. Njenengan ada masalah apa, sih? Keliatan loh, tadi sepulang dari kantor ngomongnya dikit, itu tandanya Ocyang lagi sedih.Haidar: Gak ada, Sayang
“Sesuatu besar loh, siap nuriti?” tanya Ciara.“Asalkan mampu dan baik, pasti diturutin,” jawab Haidar.“Gak jadi. Percuma disebutkan kalau tidak dituruti!” Ciara mencebikkan bibirnya.“Iya-iya diturutin. Istriku pasti nggak akan menuntut suaminya di luar kemampuan, iya kan?”“Hmmm, bener. Tolong ambilin panci bawa ke kamar!” pinta Ciara.“Untuk apa? Mau masak di kamar?” tanya Haidar heran.“Nggak dong, ngidam Ocyang pakai panci. Hehe.”“Masyaallah, hahaha. Baby Girlnya apa apa mau jadi koki ini, hmmm?” Haidar memeluk Ciara dulu kemudian langsung ke dapur.Meskipun aneh asal Haidar mampu tetap dilaksanakan. Tawa renyah istrinya bisa didengar merupakan satu hal yang sangat istimewa. Ia p
"Iya. Kita istirahat," jawab Haidar tersenyum."Jangan cuma istirahat, tapi harus tidur."Masih menjadi dilema dalam otak. Tifak ada salahnya mengikuti apa yang dikatakan Ciara. Haidar mencoba membuang semua keresahan, fokus ke kebahagiaan yang menjadi hak Ciara juga mendapatkan senyum manis dan obrolan baik saat di atas ranjang."Kamu pinter banget ngalihin pikiran Ocyang," puji Haidar."Bukan pinter, tapi telah terbiasa. Terlatih dengan cara njenengan yang super menggemaskan," jawab Ciara.***"Ngantuk banget, Oc!" Ciara menjatuhkan tubuhnya ke paha Haidar yang baru saja mengambil Al-Quran."Tidur aja, tapi jangan di sini! Sini Ocyang antar ke kasur." Haidar kembali menaruh Al-Qurannya, dia belum batal karena bersentuhannya terhalang mukena Ciara."Mau di pangkuan nj
"Sayang, biasanya kamu gak suka kan pertanyaan gak bermutu? Untuk apa nanyain hal tersebut?" tanya Haidar. "Kalau aku yang nanya ya suka-suka aja. Lain kalau ditanya, xixixi." Haidar menggenggam jemari istrinya. "Kamu akan selalu ada untuk Ocyang. Kalau ternyata ke depannya kamu menghilang, ya bagaimana Ocyang bisa melangkah? Masih ingat kan? Kakiku tertahan di ragamu. Meskipun kenyataan pasti menyiksa untuk bisa bangkit, gak ada cara lain selain kembali menstel ulang dengan kaki yang berbeda, karena kakiku tetap tertahan di ragamu." "Artinya?" "Jika kamu pergi, Haidar akan tumbuh menjadi orang yang baru, karena Haidar yang kamu kenal ini tentu ikut dalam angin jiwamu." "Hmmm, Sayang!" Ciara bangkit dari tidurnya dan memeluk sang suami. Sebuah kehidupan tidak lepas dari arti kehilangan maupun perpisahan dengan orang lain. Suatu masa itu pasti akan ada. Terkadang, menatap masa depan itu dihantui oleh sebuah kekhawatiran yang begitu besar. Apakah salah? Tidak. Rasa khawatirnya tid
"Iya, Kak. Ini Abi," jawab Ciara. "Mau celita, Kakak kangen, pengen celita!" rengek Uda. "Oooouhh, anak Ibu!" Ciara memeluk Uda. "Anak Ibu emang tahu nama abinya siapa?" "Haidal Jegala." "Masyaallah, nanti ya Sayang. Kalau abi udah sampai hotel, entar telpon. Sekarang makan dulu yuk, adik-adiknya diajak!" pinta Ciara. "Ote Ibu. Saudala-saudala, ayo go makan!" teriak Uda. Selain melihat curahan kasih sayang Haidar yang tiap hari selalu menggelegar, Ciara juga sangat bahagia akan tingkah ketiga putranya. Ia senang, terharu tiap kali ketiganya rebutan ingin dipangku, ingin minum ASI lebih dulu, ingin disuapin dulu, atau saling rebutan juga untuk menyuapi Ciara. Harus dengan apa Ciara mengungkapkan, menceritakan keindahan tersebut? Saat ini, ia ingin bercerita langsung dengan suami, seperti biasa dengan bertatap muka dan saling bersentuhan. Sayangnya, hal itu sekarang tidak bisa. Mungkin, ini dalam hati terindah Ciara khusus bersama para anaknya. Pertumbuhannya yang begitu cepat, m
"Mau bicara apa? Anak-anak udah pada berangkat ini ke kamar mandi,” jawab Ciara. Haidar: “Kamu mandiin sendirian? Mama ke mana?” “Iya, mama masak mau ada acara rutinannya nanti di sini,” kata Ciara. Haidar: “Masak juga bisa ditinggal sebentar. Kamu jangan capek-capek, inget anaknya bukan hanya kembar tiga. Ada baby cantik juga itu dalam perut kamu” Meskipun jarak sedang berpisah, hati mereka itu tetap tertaut. Jiwanya serasa tetap dekat. Perhatian lelaki kepala tiga ini tak akan lengah, terus diberikan walau hanya sebatas kata yang bisa dilontarkan dari kejauhan. “Hahahah, nggih. Gak bakal capek-capek kok.” Haidar: “Bilangnya gitu, tapi ngelakuinnya entahlah. Ocyang gabungkan telpon mama dulu.” “Iihh, gak usah!” KLING. MAMA SITA DITAMBAHKAN. Sita: “Hai anak Mama. Ada Nduk Cia juga. Tumben digabungin. Ada apa Sayang?” Haidar: “Titip Ciara ya Ma. Jangan boleh capek-capek. Mbum mau mandi tolong mama bantu mandiin, tiga soalnya.” Sita: “Oke, mama jaga Cia sebaik mungkin. Oalah,
“Ada apa? Untuk apa?” tanya Haidar. “Aku gak suka ketemu laki-laki yang kemarin itu. Dia kenal perusahaan papa, firasat Bening gak enak,” jawab Bening. “Okey, kamu di sini gak apa-apa,” kata Haidar. “Hmmm, tapi ….” “Ciara di rumah, jadi gak nyakitin dia. Toh ku cuma mau ngumpet kan bukan yang lain.” Haidar menghembuskan napas panjang, dia tahu kekhawatiran Bening. “Be-beneran ya nggak nimbulin salah paham?” Bening masih terlihat sangat gugup. Kemarin Bening sempat ditemui lelaki sekitar usia 40 an, terlihat mempunyai nafsu besar terhadap Bening. Bukan hanya itu, gerak geriknya terlihat dia bukan orang