“Biar aku aja yang bayar!” Vina mengajukkan diri.Sesuai dugaan Yuna. Wanita itu mengajukan diri seperti kejadian dulu. Namun, ada sedikit yang berbeda.Hati Yuna sedikit tersentak. Ia baru menyadari, kalau dirinya sudah dimanfaatkan oleh Neta dan Ryan sejak saat itu. Ya, saat ulang tahun Rachel dulu dia lah yang membayar semua makanan yang mereka pesan dan saat itulah Vina menjadi pahlawan.Benar, saat itu Vina bak pahlawan mengajukan diri agar biaya yang harus dibebankan pada Yuna untuk dibagi dua. Akan tetapi sepertinya Yuna pun menemukan fakta lain. “Saat itu juga sebenarnya Vina sedang membangun citra seorang bidadari di hadapan mantan mertuaku, Rachel dan juga Ryan,” batin dokter cantik itu menyimpulkan.“Vina ....” Yuna me
“P—pernikahan? Yuna dan Ryan? Kenapa aku tak tahu?” Dimas gagap dan terkejut. Ia langsung menatap keponakannya yang lebih terkejut darinya. “Yuna! Kamu tak mengatakan apa pun!” tegurnya.“A—aku juga nggak tahu, Paman!” sahut Yuna cepat dan sedikit gagap.Wajah Yuna tampak syok karena terlalu terkejut. Ia lantas menoleh pada Ryan dengan tatapan penuh tanya. Hatinya terus memanas dan takut, tetapi ia bertekad untuk tak akan menyetujuinya.“Ryan saja belum melamarku ... bagaimana aku bisa menikah dengannya,” celetuk Yuna mencoba memaksa otaknya untuk menyanggah.Neta tiba-tiba tertawa canggung. Ryan menatap ibunya kesal, hingga Yuna dapat melihat sorot tajam lelaki di sampingnya. Berarti Ryan tak tahu apa-apa dan i
Dimas tersenyum melihat reaksi keponakannya. Ingatannya mengingat mundur saat setiap harinya dirinya selalu menanyakan kondisi Yuna pada Jason. Tentu saja ia tak melepas keponakannya begitu saja.Jason selalu memberikan laporan tentang kegiatan Yuna dan juga menceritakan perkembangan dirinya. Hingga Dimas terkejut saat Jason memberikan izin keluar dari mansion. Padahal lelaki itu sangat mempercayai CEO lumpuh itu menjaga keponakannya dan tak sekedar menjadi dokter pribadinya.Itulah alasannya Dimas tahu keberadaan Yuna. Entahlah Dimas sangat percaya pada ketulusan Jason. Berbeda sekali saat Yuna mengenalkan Ryan padanya. Ia seolah menangkap lelaki itu memiliki niat tak baik pada keponakannya.“Paman yakin tuan Jason bilang aku kabur? Dia itu orangnya serius, Paman ... nggak akan bercanda kaya Paman,&rdqu
Baru saja bibirnya merasakan lembutnya bibir tipis Jason, Yuna tersadar. Ia langsung merutuki dirinya. “Apa yang kamu lakukan, Yuna?” tegurnya dalam hati.Yuna refleks menjauhkan bibirnya, tetapi Jason menahan kepalanya. Sontak saja kedua bola mata mereka bertemu. Secepatnya Yuna memberikan tatapan penuh sesal, merasa lancang bertindak sesuka hati.“A—aku.” Yuna gagap dan kehilangan keberaniannya untuk memberi penjelasan.Mungkin ia sedang bodoh. Mengira Jason di hadapannya sekarang hanyalah ilusi, hanya karena ucapan lelaki itu sama seperti seorang pangeran yang ditemuinya dalam mimpi malam itu. Yuna hanya ingin memastikan saja, sebab ia tak begitu jelas melihat wajah pangeran dalam mimpinya.Sialnya, Jason di hadapannya nyata.
“Mau ke mana? Melarikan diri?” tegur Yuna pada dirinya dalam hati saat tubuhnya bersiap untuk memutar.Wajahnya meringis sebagai jawaban dari pertanyaannya sendiri. Benar, Yuna memang berniat melarikan diri. Ia tak bisa mengendalikan diri dari rasa panik, salah tingkah dan malu.Sungguh ia tak bisa mengandalikan pesonanya Jason. Jika saja tadi malam ia tak melakukan kesalahan bodoh, ia masih bisa mengendalikan diri. Dokter cantik itu mengatur napasnya sembari memejamkan kedua bola matanya.“Jangan bodoh, Yuna! Tuan Jason saja bisa mengendalikan dirinya,” batin Yuna terus mengendalikan dirinya. “Lihatlah! Dia bisa tenang seolah tak ada sesuatu di antara kalian!”Yuna langsung membuka matanya. Hatinya berhasil memandu dirinya dan menguasai pikirannya yang tak karuan. Ya, di sana Jason tampat tenang, tak bergeming dalam posisi meditasi.“Saat ini, dia adalah pasienmu! Keselamatan, kesehatan dan kesembuhannya ada di tanganmu! Lalu ingat, Jason adalah jalanmu untuk merubah masa depan!” Hat
Jason tak tinggal diam, ia meraih tangan Yuna agar mendekap tubuhnya. Dokter cantik bagaikan orang linglung, tetapi tak melawan. Seharusnya ia mengartikan tindakan Jason tak sopan, ‘kan?Akan tetapi, kenapa ia tak menolak atau berontak. Yuna bahkan membalas pelukannya erat. Kedua bola matanya yang melotot karena terkejut tadi, kini terpejam merasakan hangatnya tubuh Jason.Yuna seolah menemukan jawaban dari tingkah pasiennya. Jason butuh dukungan dari orang terdekatnya. Lelaki itu baru saja bisa mengendalikan rasa depresinya, tak percaya dan takut serta merasa tertekan oleh orang terdekatnya.“Ya, ini adalah reaksi dalam alam bawah sadar Tuan Jason. Ia akan merasa bersemangat dengan dukungan orang terdekatnya ... berarti aku bukanlah orang lain dalam hidup Tuan Jason,”
“Apa ini? Kamu nggak percaya padaku? Padahal aku sengaja buatin buat kamu ... itu kopi dari pamanku yang baru dari Aceh.” Vina memasang wajah curiga untuk menutupi rasa paniknya. Tergambar jelas dari sorot matanya, dia sedang gugup. Yuna lantas tertawa kecil seraya meletakan cangkir di atas meja kerjanya. Ia berusaha agar tak terlihat jelas dirinya memang tak percaya pada wanita itu.“Vina, sepertinya kamu yang curiga padaku,” cicit Yuna sembari menghentikan tawanya.Yuna tersenyum sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. “Biasanya juga kamu selalu duluan nyobain setiap makanan milikku. Kok kamu kaya yang sensi sih?” sambungnya, kemudian Yuna menatap Vina penuh selidik.“Benar, kamu selalu mencicipinya terlebih dahulu semua hal yang kupunya, bukan tentang makanan saja. Saat itu aku tak pernah protes ... kamu selalu berdalil, cemas jika makanan yang masuk pada tubuhku mengandung racun dan kamu bertindak sebagai tester.” Yuna melanjutkan dalam hati, sembari memperhatikan wajah Vina yang
Yuna menyeruput kopinya bersamaan dengan Vina yang menelan obatnya. Lidahnya tak merasakan keanehan rasa kopi tersebut, tetapi ia mencoba menahannya agar tak tertelan. Kemudian Yuna melebarkan bibirnya tanpa perlu menunjukkan giginya. Dengan cara seperti ini, ia bisa bertahan agar kopinya tak tertelan. Wajahnya tampak puas, setelah yakin Vina menelan obat tersebut. Tentu saja, wanita di hadapannya meneguknya tanpa rasa curiga. Sama seperti dirinya dulu, tak pernah merasa curiga pada sahabat yang ia kira berhati malaikat.“Aduh, sepertinya aku kelamaan ninggalin meja kerjaku,” seru Vina dengan wajah sedikit panik saat indera penglihatannya menatap jam dinding di atas kulkas pantri.Wanita itu bergegas bangkit dari duduknya. “Yuna, aku lanjut kerja ya. Jangan lupa habiskan kopinya ... okeh!” seru Vina seraya merapikan pakaiannya.Yuna hanya berdeham sebisanya, seraya mempertahankan bibirnya yang melebar menggantikan senyuman. Setelah Vina berbalik dan berlari ia langsung bergegas menuj