Sebagian kata orang memang benar, cinta itu terkadang datang setelahnya. Em, maksudnya datang setelah pernikahan. Kita tidak akan tahu seperti apa jodoh yang Tuhan berikan, tapi untuk Ares, Anggun adalah istri idaman yang pastinya dicari banyak pria. Ares akan bersyukur akan hal itu.“Kau mau kemana?” tanya Ares saat melihat Anggun buru-buru memakai jubah piamanya.Usai mengikat tali piama di pinggang dengan kuat, Anggun menjawab. “Aku mau mengambilkan air putih untukmu.”Anggun kemudian menggamit kuncir rambut dan kemudian menggulung rambutnya. Hal itu menjadikan leher jenjang Anggun terlihat menggoda.“Nanti saja, sekalian sarapan.” Ares menjawab sambil menguap. “Masih terlalu pagi untuk turun ke bawah.”Anggun meringis. “Tidak apa-apa. Kata ibuku, saat kita bangun tidur, kita diharuskan minum air mineral terlebih dulu.”Ares meraih lengan Anggun hingga jatuh dalam pangkuan. “Apa kau akan setiap hari seperti ini?” tanya Ares.Anggun yang bersemu merah, terlihat mengulum senyum sambi
Selama di perjalanan menuju restoran, Anggun terlihat begitu sumringah. Ares yang sedang menyetir, sampai dibuat penasaran.“Kau kenapa?” tanya Ares akhirnya.“Em, aku?” Anggun menunjuk ke arah wajahnya sendiri.Ares berdecak. “Memang siapa?”Anggun meringis sambil garuk-garuk kepala. “Aku hanya senang, karena sudah lama tidak keluar rumah.”Tanpa sadar—masih dalam fokus menyetir—Ares mengulum senyum. “Kalau kau memang ingin jalan keluar, bagaimana kalau kita bulan madu.”“Ha?” Anggun refleks memutar pandangan. “Bulan madu?” mendadak kedua pipinya memerah.Mobil akhirnya sampai di area restoran dan sudah memasuki tempat parkir khusus pemilik dan karyawan. Mereka berdua tidak langsung keluar melainkan melanjutkan obrolan terlebih dahulu.“Kau tidak mau bulan madu?” tanya Ares dengan kepala sedikit meneleng.Anggun meringis dan terlihat gugup. “Bukan begitu. Tentu saja aku mau, tapi apa tidak membuang-buang uang?”Saat Anggun menatap Ares sambil mengetuk-ketuk dagu, Ares tiba-tiba terta
Sampai menjelang sore dan pada akhirnya pulang ke rumah, Anggun masih tetap merengut kesal. Selama perjalanan pulang, Anggun benar-benar mengacuhkan Ares. Anehnya, Ares yang biasanya gampang marah—melihat Anggun merengut tidak jelas—justru membuatnya tidak tega untuk memarahi.Anggun lebih dulu keluar dari mobil, lalu disusul Ares. Masih tetap sama, Anggun acuh dan memilih beranjak lebih dulu masuk ke dalam mobil.“Hei!” teriak Ares. Ares tidak marah, hanya saja merasa sedikit kesal. “Tunggu atau kau mati!” kalimat ancaman itu muncul lagi dan justru membuat langkah Anggun kian cepat.“Selalu saja mengancam!” dengus Anggun. Sampai di anak tangga, Anggun berlari kecil menaikinya.“Kau!” Ares mengeram, menutup pintu dengan kuat. Berhasil menyusul Anggun, Ares sontak melempar barang yang semula berada dalam genggaman ke sembarang tempat. Anggun yang awalnya acuh, kini mulai ketakutan.“Sampai kapan kau mau marah, ha?” Ares meraih lalu menarik tangan Anggun. Mengangkat tinggi-tinggi, Ares
“JANGAAAN!”PLAK!Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Anggun. Sebuah tamparan yang Rangga layangkan teruntuk Ares, ternyata salah sasaran. Bukannya mengenai Ares, melainkan mengenai Anggun.Rangga yang tak menyangga tangannya akan menampar Anggun—dengan tatapan kosong—secara perlahan berjalan mundur menghampiri Mareta yang juga nampak terbengong. Sementara Anggun yang sempoyongan di depan tubuh Ares, segera Ares tangkap dan segera memeluknya.Sambil menangkup wajah Anggun dengan lengan—menyembunyikan didadanya—Ares kemudian menatap lurus ke arah Rangga dan Mareta. “Atas dasar apa kau menampar istriku? Salah apa istriku padamu?”Rangga gugup dan bingung harus menjawab yang bagaimana. “A-aku ... Aku ... aku berniat menamparmu. Bukan dia!” mendadak suara Rangga meninggi.“Kau menampar istriku hanya demi membela istrimu yang bahkan tidak mencintaimu sama sekali,” Ares masih melotot sambil sedikit melonggarkan pelukannya pada Anggun. “Kau mundur dulu,” perintah Ares pelan pada A
Meninggalkan keributan semalam, pagi ini entah Ares maupun Rangga, sama-sama memilih bungkam. Ruang makan nampak sunyi dan yang terdengar hanyalah suara dentingan sendok dan piring.“Ayah,” panggil Ares tiba-tiba.Ayah yang masih mengunyah makanan, menoleh. “Ada apa Ares?”Sebenarnya ayah ingin bertanya mengenai hal semalam. Ayah penasaran dengan luka biru di pipi Ares dan Anggun. Pun dengan luka Rangga. Ayah tebak, pasti ada perkelahian tadi malam. Kalau bukan karena sang istri yang menghalang-halangi, Bian tentunya sudah menghampiri keributan itu sebelum ada yang terluka.“Mulai hari ini, Aku dan Anggun mau pergi dari rumah ini.”Klunting!Bian menjatuhkan sendoknya di atas piring. Mereka yang sedang menikmati sarapan lantas ikut terkejut dan menoleh ke arah Ares. Tak ayal dengan Anggun. Anggun juga kaget karena memang semalam Ares tidak ada ngomong apa-apa.“Apa maksud kamu, Ares?” tanya ayah. Yang lain pura-pura acuh meskipun sebenarnya penasaran.“Aku tidak mau membahayakan ist
Sebelum kembali ke rumah, Ares mampir terlebih dulu ke restoran. Rencananya Ares akan menelpon Nando, tapi berhubung ponselnya tertinggal di apartemen, pada akhirnya Ares terpaksa menemui Nando di restoran.Sampai di sana—di ruang khusus menejer—Ares dikejutkan dengan adanya Rena di dalam sana. Rena tengah duduk tak jauh dari Nando di atas sofa.“Kau di sini?” tanya Ares pada Rena. Rena meringis. “Jangan bilang kalian?”Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sama-sama meringis menatap Ares.Ares nampak menghela napas, lalu memutar bola malas. “Baguslah. Aku senang ada yang kau sama Rena.”“Apa!”“Pfff!”Jika Rena melotot, Nando justru sedang mengumpat tawa.“Kau menertawakanku, ha?” sembur Rena“Aduh!” jerit Nando saat telapak tangan mendarat di pundaknya. “Sakit tahu!”Saat mereka berdua hendak mulai adu mulut dan saling memukul, Ares sudah lebih dulu menyela. “Diamlah!”Sesaat keduanya langsung diam. Meski sempat saling mencebik dan lirik, tapi kemudian mereka berdua foku
“Sampai sini saja. Ini sudah malam juga,” kata Ares saat dua koper besar sudah di depan pintu apartemen. “Kau antar Rena pulang.” Ares berkata pada Nando.“Baik, Tuan.” Nando mengangguk.“Kabari aku kalau kau sudah beneran pindah ke rumah baru,” kata Rena.Ares tersenyum. “Pasti.”Setelah Nando dan Rena pergi, Ares segera masuk ke dalam. Menyeret koper bergantian, kemudian Ares meletakkannya di samping lemari besar di dekat rak TV. Setelah itu, Ares menghela napas sambil menyugar rambutnya ke belakang. “Melelahkan juga ternyata.”“Apa Anggun sudah tidur?” gumam Ares. Didapati jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Perlahan-lahan, Ares membuka pintu kamar. Lampu masih menyala terang. Ares menutup pintu kemudian berbalik dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berhenti di gazebo di dekat jendela, Ares mendapati sosok Anggun tengah meringkuk dengan kedua telapak tangan terhimpit di antara paha.Ares mendekat. Tak mau sampai Anggun terbangun, Ares mulai men
Sayangnya kepindahan mereka ke luar kota harus tertunda. Ayah mendadak sakit dan tidak mengijinkan Ares untuk pindah lebih dulu. Ares sempat jengkel karena semua rencana membawa Anggun pergi dari kota ini gagal. Namun, sebagai sang istri, Anggun tentunya mencoba membujuk supaya Ares mau bertahan di sini sampai ayah sembuh."Kita tunggu sampai ayah sembuh, Sayang." Kalau sudah dipanggil dengan sebutan sayang, mendadak perasaan Ares menjadi lumer."Tapi aku tak mau tinggal di rumah itu," kata Ares."Iya. Kan kita tinggal di sini." Anggun merangkul lengan, lantas mendaratkan kepala di pundak Ares. "Kita siap-siap."Ares menunduk mencari wajah Anggun. Memberi satu kecupan di bibir sembari mengelus kening Anggun. “Kau tidak boleh dekat-dekat dengan Mareta.”Anggun mengangguk. “Ya sudah aku ganti baju dulu.” Anggun lantas berdiri.Setelah semua sudah beres, Anggun dan Ares kemudian meninggalkan apartemen dan pergi menjenguk ayahnya di rumah.“Suamiku, harusnya kau tidak usah mencegah Ares u