Entah dengan alasan apa, Avram sekarang bekerja di dalam kamar tidurnya. Laki-laki itu duduk di atas sofa dengan laptop dan beberapa berkas yang sudah sempat dibawa oleh Rino ke sana. Sesekali mata tajam pria itu melirik ke arah Lavira yang terbaring di atas ranjang. Entah karena khawatir atau apa, Avram pun tak paham dengan hatinya sendiri. “Engh shhh.”Perhatian Avram teralihkan saat mendengar suara erangan kecil bercampur ringisan. Pria itu menoleh dan menatap Lavira yang kini terlihat menggeliat pelan. Sangat pelan, nampaknya perempuan itu tak kuat untuk menggerakkan tubuhnya lebih energik lagi.“Mana sakit?”Suara berat Avram mengejutkan Lavira. Perempuan itu langsung membuka matanya seketika. Matanya tak menangkap siapa-siapa, sebab Avram memang masih berada di atas sofa. Lavira mengira jika dirinya sedang berkhayal akan suara Avram.“Astaga, karena terlalu ngeri-ngeri sedap berdekatan dengannya ... aku jadi seakan terus mendengar suaranya,” gumam Lavira tak terdengar jelas di
Bruk ....“Aaaa, Tuan!”Lavira terpekik cukup kuat saat dengan tiba-tiba Avram mendorong tubuhnya ke atas ranjang. Saat ini Avram sudah mengungkung tubuh Lavira di bawah tubuh kekarnya. Avram menatap mata polos Lavira dengan sepasang mata tajamnya.Pandangan Lavira sekarang jatuh pada otot kekar Avram. Pria itu sedang menggunakan baju kaos over size. Sehingga ketikta Avram menunduk, bagian dalam tubuh Avram terekspos dari dada bidannya. Lavira bak orang bodoh saat ini, wajahnya memucat menatap ragu wajah tampan Avram.“Ma-maaf, Tuan. Ada apa? A-apa saya salah bicara?” tanya Lavira kaku dan gugup.“Kau salah,” jawab Avram datar dan singkat.Lavira terdiam dan terpaku di tempatnya tak berani bersuara. Dia menatap Avram dengan wajah ragu. Polosnya kedua mata Lavira yang berkedip pelan malah semakin membuat Avram merasa frsutasi.“I-iya, saya salah. Jadi mohon maafkan saya, saya siap diberi hukuman, Tuan,” tutur Lavira ragu.“Yah, kau memang harus diberi hukuman,” desis Avram penuh makna.
“Sakit, Maa, hiks. Sakit.”Siara terus mengusap rambut putrinya yang tak bisa tertidur malam ini. Seharian ini Feria terus menangis dan terisak kesakitan. Keadaannya tak baik-baik saja, wajahnya jauh lebih parah dari keadaan wajah Lavira. Bengkak luar biasa dan dan luka di sudut bibirnya juga tak main-main. Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit, dan Feria terus merengek kesakitan.“Kamu jangan bicara lagi, diamkan saja bibir kamu. Sakinya semakin terasa kalau wajah bengkak itu tertarik. Sudut bibir kamu juga bisa semakin tidak sembuh,” tutur Siara.“Tapi sakit, Man. Pasti sekarang wajah aku sangat jelek dan tak berbentuk. Aku malu, hiks sakit dan malu,” rengek Feria lagi.Siara menghela napas kasar mendengar kalimat sang putri. “Ini semua karena babu kurang ajar itu. Apa yang dilakukan perempuan brengsek itu sampai bisa mendapat perlindungan dari Avram? Ternyata hanya wajahnya saja yang polos, dia hanya berpura-pura polos, nyatanya adalah seekor ular kecil,” geram Siara marah.
“Kenapa?” tanya Marni heran saat melihat sang putri terus tersenyum sedari tadi.Joana menoleh ke arah sang ibu yang baru saja bertanya. “Itu, si gembel tidak masuk ke sekolah hari ini. Pasti dia sekarang sedang meraung di dalam hati karena siksaan Tuan Dakasa. Atau mungkin malah sudah jadi mayat,” cetus Joana sinis.Marni sedikit terkejut mendengar kalimat Joana. “Benarkah? Jadi dia tidak masuk ke sekolah tadi?” tanya Marni.“Iya, aku sebenarnya sudah mau kasih tahu Mama sedari tadi siang pas pulang sekolah. Tapi Mama dan Papa lama pulang,” jawab Joana.“Ah, kalau begitu mah kita ikut senang. Biar sekalian dia menyusul ibunya itu. Melihat wajah mereka saja sudah membuatku kesal. Untung kemarin Mama membunuh ibunya, jadi bisa dapat Papa kamu seutuhnya. Mama tidak suka kepada perempuan cantik seperti mereka, huh,” celoteh Marni sinis.Joana tersenyum mendengar kalimat sang ibunda. “Benar, aku juga kesal. Makanya setiap kali melihat wajahnya, aku selalu terpancing emosi. Sayang juga, ja
“O-oh, baiklah, Om.”Doeng ...Avram ternganga di tempatnya mendengar panggilan Lavira untuk dirinya. Pria itu menatap sang istri yang sedang tersenyum manis tak merasa bersalah. Dirinya masih berumur dua puluh empat tahun, tetapi dengan seenaknya Lavira memanggilnya om? Sungguh hal itu secara tak langsung seakan menggores umur Avram sebagai tampan nan masih muda.“Kau memanggil aku apa?” tanya Avram lebih memastikan.“Om, katanya tadi tidak boleh panggil tuan. Apa saya ganti lagi, Om?”Avram mendongak dan menghela napas dalam mendengar kalimat Lavira. “Aku belum setua itu untuk kau panggil om. Ganti,” cetus Avram datar.Lavira meringis mendengar kalimat pria itu. Dia menggaruk puncak kepalanya dan menatap Avram yang juga masih menatapnya. Perempuan itu bingung, dia tak tahu harus memanggil Avram seperti apa.“K-kakak?” tanya Lavira ragu.Avram menatap wajah ragu Lavira dengan ekspresi datarnya seperti biasa. “Itu lebih baik. Sekarang tidur, hari sudah malam.”“Tapi ... Kakak juga bel
Avram mengerutkan keningnya merasakan ranjang bergerak. Pria itu mulai membuka matanya sedikit memicing. Dia melihat Lavira bergerak pelan ke arah tepian ranjang. Tangan pria itu seakan tergerak sendiri, secara spontan menahan pergelangan tangan sang istri.Lavira terkejut merasakan tangannya ditahan. Perlahan perempuan itu menoleh dan terkejut melihat Avram sedang menatapnya dengan wajah datar itu. Lavira meringis kecil merasa kikuk karena dirinya menjadi penyebab Avram terbangun.“Maaf, Kak. Aku membangunkan Kakak, ya?” cicit Lavira pelan.“Kau ingin ke mana?” tanya Avram menghiraukan kalimat Lavira.“Aku? Aku ingin bersih-bersih dan harus segera ke lantai bawah. Aku harus memasak dulu, supaya nanti bisa ke sekolah,” jawab Lavira jujur.Avram terdiam sejenak mendengar jawaban gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu. “Tidak usah.”Kening Lavira berkerut mendengar ucapan singkat Avram. “Maksudnya, Kak?”“Tidak usah memasak, kau bukan pembantu.”Lavira terdiam mendengar penuturan A
“Bagaimana? Apa kamu benar-benar ingin pulang sekarang? Kita di sini saja dulu, biar kamu cepat sembuh,” ucap Siara kepada putrinya.“Tidak, Ma. Aku mau pulang saja, aku ingin segera membalas dendam kepada perempuan keparat itu,” jawab Feria.“Ingin pulang pun, kau belum bisa membalaskan dendam kepadanya. Kau tahu sendiri jika Avram sekarang melindunginya. Kau ingin yang lebih parah dari ini? Jangan keras kepala kali ini,” cetus Fero malas.“Aku tidak terima, Bang. Coba saja yang berada di posisi aku itu adalah Abang. Pasti akan marah besar,” balas Feria kesal.“Terserah kau, jika memang kau ingin coba, ya lakukan saja,” pungkas Fero santai.Siara menghela napas mendengar percek-cokan kedua anaknya. “Sudah, Mama setuju dan juga semangat ingin membalas dendam kepada perempuan itu. Tapi apa yang dikatakan oleh abang kamu memang ada benarnya. Kita tidak bisa bertindak sekarang, kita juga tidak bisa bergerak secara terbuka seperti kemarin,” tutur Siara menengahi perdebatang kedua anaknya.
Avram melangkah keluar kamar mandi dengan tubuh setengah basah. Pria itu menoleh ke arah ranjang dan mengernyit saat tak menemukan keberadaan Lavira di sana. Dia terus melangkah dan menatap sekitar, sang istri benar-benar tak berada di sana.Baru saja pria itu ingin melangkah ke arah walk in closet, langkahnya terhenti saat melihat secarik kertas di atas nakas di samping ranjang. Perlahan pria itu mendekat dan meraih kertas tersebut.‘Kak, maaf aku tidak meminta izin untuk turun ke lantai bawah. Aku harus memasak supaya bisa sarapan sebelum pergi ke sekolah. Lavira.’Bibir Avram berkedut saat membaca rangkaian kata yang ada di permukaan kertas tersebut. Dia tak menyangka jika Lavira benar-benar polos. Kepolosan yang tanpa sadar menjadi daya tarik tersendiri bagi gadis itu, sehingga mampu mengikat seorang Avram Dakasa.“Dia terlalu polos untukku yang penuh kubangan darah ini,” gumam Avram menggeleng pelan merasa geli akan tingkah Lavira.Avram bergerak meraih benda pipih yang berada di