Justin dan Hana baru kembali dari rumah sakit. Di perjalanan keduanya mampir di sebuah restoran. Niat hati ingin makan enak, tapi ternyata lagi lagi Justin berulah dengan aturannya yang masih berlaku. Bayangin aja, ini restoran sudah ada deretan menu yang tersedia di buku menu, tapi dia malah memesan makanan sesuai keinginanya.“Ini restoran sudah ada menunya, loh, Je ... malah main perintah bikinin ini dan itu,” omel Hana.“Memangnya kenapa? Aku kan hanya riquest makanan yang ku inginkan. Tidak, lebih tepatnya apa yang baik dan steril untukmu. Lihat, kan, mereka juga setuju dengan apa yang ku minta,” balas Justin.Hana menyambar segelas air mineral dan meneguknya hingga habis tak tersisa.“Kamu haus?” tanya Justin.Hana mengangguk. “Haus gara gara kelakuan anehmu. Kamu bikin aku dehidrasi,” gerutunya.Justin hanya tersenyum mendengar balas Hana. Terserahlah, ya ... apapun yang dia pikir tentang dirinya. Mau dikira cerewet, sok mengatur sekalipun. Ia terima, kok. Setidaknya selama mas
Tian mondar mandir di kamar, dengan Rhea yang hanya bisa menatap fokus pada suaminya itu. Entah apa yang sedang terjadi, hingga cowok ini begitu tampak khawatir.“Ada masalah apa, sih?”“Justin dan Hana,” jawabnya seadanya.“Iya, aku tahu ini masalah Justin dan Hana. Hanya saja aku mau lebih detail.”“Kamu bilang Hana nelepon tadi dan nanyain keberadaan Justin, kan?”Rhea mengangguk. “Dan masalahnya di mana, Sayang?”“Tadi aku hubungi Willy, katanya Hana juga nyariin Justin ke kantor. Dia nangis dan ... sepertinya Justin sedang berbohong.”“Maksud kamu, On Justin pergi dengan alasan mau ke kantor tapi pada kenyataannya di nggak ke kantor. Begitukah?”“Sepertinya begitu.”Rhea bersidekap dadaa dihadapan Tian seakan menelisik jauh ke dalam manik mata suaminya itu demi mencari tahu sesuatu. Tahu sendiri jika keduanya bersahabt, setidaknya apapun yang ada dalam otak Justin, pasti sama dengan pemikiran Tian.“Jangan menatapku seperti itu. Meskipun aku sahabatnya Justin, tapi untuk yang sat
Masuk perlahan ke area pekarangan rumah, tentunya dengan rasa deg deg an. Pasalnya ini di sekitar emreka, ada beberapa penjagaan. Rhea berada di belakang Tian, bahkan tangannya tak lepas dari sang istri.“Aku seperti berada dalam adegan film action. Tiba tiba aku takut,” bisik Rhea semakin mengeratkan genggaman tangannya di tangan Tian.Tadi sudah ia katakan untuk menunggu di luar sana, tapi Rhea malah kekeuh ikut dengannya. Sekarang apalagi kalau bukan menhadapi apa yang ada di depan mata.“Tapi btw, kita kok kayak pasangan Brad Pitt dan angelina Jolie, ya,” tambah Rhea lagi dengan nada pelan.Bisa bisanya Rhea dalam keadaan cemas, malah memikirkan adegan film action. Humornya benar benar dibuat anjlok oleh wanita ini. Sudahlah, yang tadinya cemas, seketika ingin tertawa rasanya.Tian mengintip dibalik jendela yang posisinya terbuka. Dengan Rhea yang memantau keadaan sekitar. Memang tak terlihat jelas apa yang terjadi di dalam sana, tapi dari suara yang ia dengar, bisa dipastikan kal
Tian menghentikan laju mobilnya di parkiran sebuah restoran. Keduanya memutuskan untuk makan di luar sebelum pulang ke rumah. Apalagi, rasanya lumayan menguras tenaga mengurursi permasalahan Hana dan Justin.Saat berjalan memasuki restoran, Tian menghentikan langkahnya ketika menyadari ada yang tak beres dengan Rhea. Matanya menelisik pada kaki sang istri.“Ke-kenapa?” tanya Rhea saat mendapati ekspressi Tian padanya.Tian tak menjawab, tapi malah berjongkok dihadapan Rhea ... kemudian menyingsingkan sedikit rok istrinya itu di bagian lutut. Hanya saja, dengan cepat dia malah menghindar.“Kamu mau ngapain, sih, Tian.”“Baik baik aja, kan?”“Iya, aku baik baik aja. Memangnya kenapa?”Sikap Rhea, wajah dia ketika menjawab, dan terlebih saat dia berjalan ... memperlihatkan kalau ada sesuatu yang tak baik baik saja. Ayolah, kepekaannya akan wanita ini terlalu besar hingga rasanya tak akan mempan untuk dibohongi.Tian mengangkat tubuh Rhea dengan cepat dan kembali emmbawanya ke dalam mpobi
Malam ini matanya tak bisa tidur. Pikiran pikiran buruk seolah berkecamuk memnuhi otaknya. Kembali ke posisi duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur. Menatap ke luar jendela kamar yang gordennya tak tertutup keseluruhan.Kini pandangannya beralih pada sosok Justin yang tengah tidur nyenyak di sampingnya. Hembusan napas teratur itu, menandakan dia benar benar dalam keadaan tenang saat ini. Karena kalau tidak, dia pasti akan tampak gelisah dan tak bisa diam.Menyentuh wajah tidur itu dengan lembut, kemudian mengecup singkat. Bahkan saking lembutnya, seakan kecupan itu tak akan dia rasakan.Tersenyum simpul dengan fokus yang masih terarah pada Justin yang tidur.“Harus ku ganti dengan apa semua kebaikan dan perhatian yang kamu berikan padaku, Je? Rasanya seakan tak ada apa apanya peranku selama ini karena sebegitu besarnya hal yang kamu berikan.”Menghela napasnya berat, seakan menahan rasa sesak yang sepertinya tak bisa ia tahan.“Aku memang mengharap rasa sayang dari orang tuaku
Biasanya bercanda, bergurau ... tapi kini Rhea benar-benar diam. Seolah-olah dia benar-benar berada di titik rasa kesal.Tian yang awalnya sudah tiduran, kembali duduk dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Menatap ke arah Rhea yang sepertinya memang menjaga jarak dengannya.Membelai lembut kepala Rhea yang memunggunginya. “Kamu cemburu, atau justru nggak percaya padaku, sih, Rhe?” tanya Tian pelan.Rhea kembali membuka matanya yang sengaja ia pejamkan hanya untuk membuktikan kalau dirinya sudah tidur. Sentuhan yang ia rindukan.Tian membenturkan belakang kepalanya ke tembok, saat pertanyaannya tak mendapatkan jawaban dari Rhea. Padahal ia tahu betul kalau dia belum tidur. Hanya saja dia seakan mengabaikan apa yang ia tanyakan.Jujur saja, ya ... emosinya lumayan kalau sudah marah. Jadi, jangan sampai sikap buruknya itu terjadi. Hanya mencoba menahan, apalagi ia tahu kalau istrinya masih terlalu dini dengan permasalahan rumah tangga. Hubungan keduanya memang sudah te
Tian tak menjawab, tapi terus saja mendekati Rhea. Tapi niat mesumnya terhenti saat sebuah cubita menerpa pinggangnya. Hingga rengkuhannya di badan Rhea terlepas dan mengaduh.“Ya ampun, Rhe ... cubitanmu benar benar mengerikan,” ujar Tian menunjuk sebuah bekas yang tampak memerah di pinggangnya. Kulitnya putih, bersih ... tentu saja warna merah itu seamkin tampak.Rhea malah tertawa puas saat melihat ekspressi muka Tian.“Siapa suruh menjahiliku,” tawa Rhea langsung kabur melipir menuju kamar mandi.Yap, seperti yang sudah direncanakan. Setelah semuanya selesai, keduanya kini sudah bersiap untuk berangkat. Ya, jarak yang harus ditempuh sekitar empat jam perjalanan. Itupun jika lancar, beda lagi kalau diterpa sebuah kemacetan panjang. Waktunya tak akan bisa dipredsiksi.Rhea menguncir rambutnya menjadi satu ikatan, tapi baru juga ikatan itu terpasang, Tian justru dengan sengaja malah menarik ikatan itu ... hingga membuat rambut panjangnya kembali terurai.“Tian,” keluhnya atas kelakua
Satu jam perjalanan, Tian menghentikan laju mobilnya di parkiran sebuah restoran. Sudah jama makan siang, itu aryinya waktunya makan. Kalau tidak, perutnya kembali berulah. Enggak mau, kan, jika saat sibuk dengan pekerjaan nanti, dirinya malah menghadapi serangan si lambung yang malah kumat.Menanggalkan self-belt, kemudian fokus pada Rhea yang masih tidur neynyak di sampingnya. Tampak begitu tenang, hingga tak tega untuk membangunkan. Hanya saja, saat ini sudah jam makan siang.“Rhe, bangun dulu,” ujar Tian menyentuh lembut wajah Rhea, mencoba membangunkan dia.“Hmm,” lenguh Rhea mendapatkan sentuhan itu dengan kedua matanya yang masih terpejam. “Kita udah sampai, ya?” tanyanya perlahan membuka mata yang terasa perih.“Belum,” jawab Tian. “Kita makan siang dulu, ya.”“Ya ampun, mataku ngantuk banget. Berasa ada setan yang nemplok di kelopak mataku hingga berasa berat untuk terbuka,” keluhnya dengan nada malas hendak kembali tidur. Tapi terhenti saat Tian malah mengecup kedua matanya