"Maafkan aku, Ney," ucap Elvan dengan suara parau, menyiratkan rasa penyesalan yang tergambar jelas di wajah.Wanita itu tak menjawab, dadanya begitu sesak mengingat lima tahun terakhir yang dia lalui. Bahkan, setelah kejadian itu, Neya harus dibawa ke rumah sakit akibat kontraksi mendadak yang dia alami. Air ketubannya bahkan pecah tak berapa lama setelah Elvan pergi. Kondisi tersebut, mengharuskan Neya untuk melahirkan secepatnya. Dewa pun menghubungi Vera, dan wanita itulah yang mendampingi Neya saat kontraksi di rumah sakit. Dan untungnya, usia kehamilan Neya sudah memasuki waktu yang cukup untuk melahirkan.Ingatan Neya kembali pada beberapa tahun silam, kala itu suara tangis bayi terdengar nyaring menggema di ruang persalinan. Rasa sakit yang begitu dahsyat, serta rasa lelah seakan semua telah sirna saat Neya melihat seorang bayi mungil yang kini sedang dibersihkan oleh beberapa orang perawat yang turut membantu persalinannya. Vera memeluk erat Neya yang masih terbaring lemah
Elvan menoleh pada Neya yang saat ini sedang tersenyum sinis serta menatap ke arah pintu ruang operasi. Elvan pikir, kata maaf yang sudah terucap diantara mereka berdua bisa menghapus segala hal buruk yang pernah terjadi. Namun ternyata, memang tidak semudah itu. Setelah mendengar perkataan Neya, Elvan pun baru menyadari perkataannya beberapa tahun silam, ternyata begitu membekas di hati wanita tersebut. Kata yang terucap dengan segenap emosi dalam diri itu, seakan terpatri dalam relung hati terdalam Neya."Maafkan aku, Ney. Maaf waktu itu aku udah berpikiran buruk sama kamu.""Bukannya aku udah bilang ini semua bukan sepenuhnya salah kamu, Mas? Aku cuma mau mengingatkan kalau Hazel itu adalah anak dari Mas Dewa seperti yang kamu tuduhkan dulu.""Maaf, tapi nggak kaya gitu Ney. Sekarang aku ...." Elvan tak lagi melanjutkan kalimatnya, ketika Neya mulai berjalan menjauhi mereka, wanita itu seolah mengabaikan apa yang dikatakan oleh Elvan."Sudahlah, beri dia waktu. Yang dia butuhkan h
"Elvan, sebenarnya sejak Neya memegang perusahaan kita, banyak yang tidak menyetujuinya karena dia seorang perempuan. Mereka tidak suka dipimpin oleh wanita. Padahal, papa meminta Neya untuk memegang perusahaan tersebut, bukan hanya karena dia menantu papa ataupun ibu kandung dari Hazel. Namun, karena papa tahu dia punya kemampuan.""Punya kemampuan?" sahut Elvan, keningnya mengernyit, awalnya dia pikir keputusan Ilham menyuruh Neya untuk memegang perusahaan tersebut, karena Neya masih berstatus istrinya, sekaligus ibu kandung dari Hazel. Namun, sepertinya tidak hanya sebatas itu semata."Ya, dia memang punya kemampuan. Awalnya, kami menyuruh Neya melanjutkan kuliah, untuk mewujudkan mimpinya yang ingin memiliki pendidikan tinggi, sekaligus agar pikirannya teralihkan, dan tidak terus-menerus merasa depresi. Namun, ternyata dia sangat menonjol. Bahkan, Neya pun menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Ketika papa meminta dia memegang kendali perusahaan, laba perusahaan semakin meningka
Elvan mengetuk-ngetuk jemarinya ke atas meja, menatap cemas pada Aileen yang saat ini ada di atas brankar, dengan alat USG di atas perutnya. Saat ini, mereka memang sedang berada di ruangan dokter kandungan setelah beberapa saat yang lalu, Aileen menghubunginya, dan meminta menemani ke rumah sakit.Awalnya, Elvan yakin jika hal tersbut, hanya sebatas mencari perhatian sebagai upaya untuk mempertahankan pernikahan dengannya. Karena, Elvan pun yakin jika Aileen pasti sudah tahu dirinya telah bertemu dengan Neya, dan mengetahui siapa Hazel sebenarnya.Akan tetapi, setelah berada di rumah sakit, Elvan khawatir jika dugaan kehamilan yang dirasakan Aileen itu benar. Apalagi, tak ada raut cemas dan takut di wajah wanita cantik itu saat berhadapan dengan dokter yang menanganinya."Lihat Tuan. Titik ini, pertanda adanya janin di dalam rahim Nyonya Aileen."Jantung Elvan seakan berhenti berdetak mendengar penuturan dokter kandungan tersebut. "Ja-jadi, istri saya sedang hamil, Dok?" tanya Elvan
Aileen berjalan sembari mengamit lengan Elvan. Senyum manis tak pernah lepas di bibirnya sejak pulang dari rumah sakit. Sedangkan Elvan, laki-laki itu tampak begitu tenang, sesekali dia membalas perkataan Aileen sembari melontarkan candaan mesra. Meskipun hal yang dia lakukan sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia rasakan di dalam hati.Tentu saja Aileen merasa begitu bahagia. Dalam benaknya, meskipun Elvan sudah bertemu dengan Neya. Namun, laki-laki itu sepertinya masih ada dalam genggamannya. Hal tersebut, dapat terlihat dari sikap lembut Elvan padanya. Laki-laki itu sama sekali tak berubah. Jadi, bukahnkah ini artinya pertemuan itu tak berpengaruh apapun pada Elvan? Apalagi, setelah dokter mengatakan jika dirinya hamil. Aileen yakin, Elvan pasti semakin mencintainya.Saat ini, mereka sedang berjalan dari arah basement hotel tempat mereka menginap, menuju ke lobby. Namun, tiba-tiba langkah keduanya terhenti, manakala melihat sosok wanita yang saat ini sedang duduk di lobby s
Tak ada jawaban dari Neya. Setelah sosok lelaki itu masuk, wanita tersebut hanya memindai pandangannya lagi pada Hazel. Meskipun Elvan mendekat, dan pada akhirnya, pria itu hanya berdiri mematung. Neya memang tak ingin berbicara apapun demi kesehatan pikirannya.Sedangkan Elvan, sepertinya juga tak ingin bicara atau mungkin tidak tahu apa yang harus dia bicarakan saat melihat wanita itu hanya diam di depannya. Neya memang tidak terlalu peduli karena dia sudah tidak berharap banyak pada Elvan.Tak berapa lama, keheningan pun berakhir saat dokter yang menangani Hazel, masuk ke ruangan tersebut, dan membuat keduanya bangkit berdiri untuk menyambut dokter itu.Kini mereka tampak mengamati sang dokter yang sedang memeriksa keadaan Hazel. Entah mengapa, tiba-tiba tubuhnya Neya merasa lemas. Kondisi Hazel yang belum sadarkan diri, tentu saja membuat beban pikiran tersendiri bagi wanita itu, dan membuat tubuh Neya oleng seketika. Wanita itu hampir saja jatuh.Akan tetapi, lagi-lagi Elvan meno
"Ma ...." Hazel memanggil Neya kembali, seolah meminta penjelasan. Melihat Neya yang terlihat bingung. Elvan memilih pergi dari ruangan tersebut. Dia tak ingin membuat Neya tertekan dengan keberadaannya, dan juga ingin membebaskan Neya untuk menjawab pertanyaan itu, tanpa harus merasa sungkan. Elvan harus sadar diri jika Neya, belum sepenuhnya bisa memaafkan dia. Begitu pula dengan Hazel, Elvan tidak mau memaksa anak itu untuk bisa menerima kehadirannya.Elvan sadar, selama ini Hazel hanya mengenal Neya dan kedua orang tuanya. Kehadiran dia, tentu masih terasa asing bagi Hazel, apalagi pertemuan awal mereka bukan pertemuan yang berkesan. Saat itu, Hazel bahkan merasa takut padanya dan juga Aileen, dan sekarang anak tersebut baru saja mengalami insiden yang membuatnya cidera. "Ma, sebenarnya Om itu siapa?" tanya Hazel kembali setelah Elvan keluar dari ruang perawatan itu. Hazel yang merasa penasaran, seakan tidak ada habisnya bertanya jika Neya belum menjawab pertanyaan tersebut."Di
Neya tertegun mendengar perkataan Hazel. Padahal, tidak ada yang mengatakan jika Elvan adalah Papanya. Wanita itu memijit pelipisnya, dengan helan napas yang jauh lebih panjang dan dalam daripada biasanya. Dia pun menatap pada pria yang muncul di hadapannya, meskipun tadi malam sudah dia mengusir secara halus, pada akhirnya dia datang kembali."Ma ... suruh Papa masuk! Kasihan dia di luar." Perkataan Hazel itu, lalu ditanggapi Neya dengan senyuman. Sejujurnya, dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan Hazel, namun Hazel sepertinya sudah mengambil kesimpulan siapa Elvan sebenarnya. Anak itu, dengan begitu yakin mengatakan jika Elvan adalah papanya. Meskipun memang itulah kebenarannya, tapi bagi Neya rasanya dia masih begitu canggung. Sejak dulu, Neya memang mengatakan kalau Papa Hazel sedang jauh. Namun, dia tidak menyangka jika akan secepat ini Elvan datang, sebelum dia memberi penjelasan lebih lanjut. Insiden yang dialami Hazel, memang di luar dugaan mereka. Dulu, Neya selalu