Neya tertegun mendengar perkataan Hazel. Padahal, tidak ada yang mengatakan jika Elvan adalah Papanya. Wanita itu memijit pelipisnya, dengan helan napas yang jauh lebih panjang dan dalam daripada biasanya. Dia pun menatap pada pria yang muncul di hadapannya, meskipun tadi malam sudah dia mengusir secara halus, pada akhirnya dia datang kembali."Ma ... suruh Papa masuk! Kasihan dia di luar." Perkataan Hazel itu, lalu ditanggapi Neya dengan senyuman. Sejujurnya, dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan Hazel, namun Hazel sepertinya sudah mengambil kesimpulan siapa Elvan sebenarnya. Anak itu, dengan begitu yakin mengatakan jika Elvan adalah papanya. Meskipun memang itulah kebenarannya, tapi bagi Neya rasanya dia masih begitu canggung. Sejak dulu, Neya memang mengatakan kalau Papa Hazel sedang jauh. Namun, dia tidak menyangka jika akan secepat ini Elvan datang, sebelum dia memberi penjelasan lebih lanjut. Insiden yang dialami Hazel, memang di luar dugaan mereka. Dulu, Neya selalu
"Sapu tangan Elvan?""Iya Nyonya, saat itu Elvan memang sedang sedikit flu. Bukankah sudah menjadi kebiasaan Elvan kalau dia selalu membawa sapu tangan saat terserang flu?"Kening Vera mengernyit, sembari menganggukkan kepala. "Kau benar Dewa. Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan untuk membongkar semua itu? Apakah kita harus membicarakan ini dengan Elvan? Sebenarnya aku juga ragu dengan kehamilan Aileen. Namun, Elvan melihat sendiri janin di perut Aileen saat mereka melakukan USG.""Emh, begini sebaiknya jangan dulu Nyonya, jangan beritahu dia dulu. Terkadang, Elvan tidak bisa mengendalikan emosinya. Saya khawatir jika emosinya tidak terkontrol, rencana kita untuk mengetahui siapa dewan direksi yang bersekongkol dengan Aileen, jadi berantakan. Lalu, tentang kehamilan Aileen, saya belum bisa menarik kesimpulan apapun. Karena saya yakin, jika satu kejahatan terungkap, maka kejahatan yang lain akan terungkap pula.""Iya Dewa, aku mengerti. Kita memang harus membuka satu per satu, l
"Udah cukup, nggak perlu minta maaf terus, Mas.""Kamu marah?"Neya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala. "Memaafkan itu mudah, apalagi kamu ayah kandung Hazel, tapi melupakan itu sulit. Apalagi, kejadian itu begitu menyakitkan. Aku bukanlah orang munafik, kuakui, rasanya masih sangat sakit."Elvan bermaksud menggenggam jemari Neya. Namun, wanita itu menepis tangan Elvan. "Mas, sebaiknya kamu pulang sekarang. Please ....""Pa, jangan pulang," ucap Hazel yang tiba-tiba menyahut di tengah perbincangan mereka. Keduanya pun menoleh pada Hazel yang yang kini bergantian menatap Elvan dan Neya. Elvan pun terkekeh.Dia kemudian mengelus wajah Hazel. "Kamu istirahat dulu ya!" Setelah mengatan itu, Elvan berbisik di telinga Hazel, dan anak itu pun tertawa sembari menganggukkan kepala, lalu dia memejamkan mata. Sedangan Elvan, laki-laki itu, kini berbaring di samping Hazel sambil memeluk bocah itu. Hingga beberapa saat kemudian, Hazel pun sudah terlelap. Elvan beranjak dari bed pasien,
Aileen tertegun sejenak. Dia tahu, yang saat ini berdiri di belakannya adalah Neya. Siap atau tidak, suka atau tidak, memang pertemuan dengan madunya itu tidak bisa dihindarkan. Apalagi saat ini mereka hidup dalam rumah yang sama. Entah bagaimana kisahnya setelah Hazel kembali ke rumah, Aileen tak tahu karena takdir pun tak pernah memberikan jawaban."Mba Aileen, gimana kabar Mba Aileen? Aku denger Mba Aileen hamil ya? Selamat ya, Mba. Aku ikutan seneng, akhirnya buah hati yang udah lama ditunggu, akhirnya hadir juga diantara kalian. Hazel pasti seneng punya adik."Aileen pun akhirnya membalikkan tubuh, dan berhadapan dengan wanita yang sebenarnya sangat dia benci. Wanita yang kehadirannya dalam rumah tangga dia dengan Elvan, sebenarnya akibat perbuatan Aileen sendiri, tapi pada akhirnya perbuatan itu bagaikan bumerang bagi dirinya sendiri. Karena nyatanya, kehadiran Neya, selalu saja menjadi ancaman bagi rumah tangga dia dan Elvan.Tak pernah terpikir sama sekali jika pada akhinya ke
"A-aku hanya menyambungkan benang merah atas penjelasan kamu, Ney. Bukannya tadi kamu bilang kalo malam itu ada kekacauan di mini market tempat kamu kerja? Jadi, aku ambil kesimpulan kalo kamu pasti terlambat pulang ke rumah."Neya tersenyum sinis. "Sayangnya, aku bukan Neya yang dulu. Yang bisa kamu bodoh-bodohi dengan bualanmu.""Bualan apa? Nggak usah ngarang deh, Ney. Emang bener 'kan kalo Mas Elvan yang perkosa kamu? Salahnya aku di mana? Mereka emang peralat kamu 'kan biar dapet keturunan. Emang kamu nggak bisa lihat apa, mereka cuma mau Hazel, bukan kamu! Setelah Hazel dewasa dan nggak butuh kamu sebagai ibunya, kamu juga bakalan dibuang! Nggak usah sok dulu deh jadi orang! Cuma jadi istri kedua aja songong banget!"Mendengar perkataan itu, Neya berjalan mendekati Aileen, lalu berbisik di telinganya, "Inget Mba, siapa yang udah bikin aku jadi istri kedua. Kita lihat aja, siapa yang akan dibuang dari keluarga ini!"Kekehan nyaring pun terdengar dari Neya. Setelah itu, wanita ter
Neya menoleh, tak mengucap sepatah kata pun. Wanita itu, hanya balas menatap Elvan dengan tatapan datar. Elvan pun mengulum senyum, lalu naik ke atas bed pasien, dan memeluk putranya. Sedangkan Neya, duduk di atas bed jaga, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Namun, pikirannya entah ke mana."Besok ikut aku ke kantor!" Suara bariton Elvan membuat Neya tersentak. Wanita itu, lalu mengangkat wajahnya dan menatap suaminya itu."Apa? Bukankah aku sudah mengajukan cuti?""Sebentar saja. Ada masalah yang harus kita selesaikan berdua, Ney. Maaf kalau masalah ini ganggu kamu, tapi masalah ini cukup penting dan harus kita selesaikan bersama.""Apa ini ada kaitannya dengan dewan komisaris?" tanya Neya, dan dijawab anggukkkan oleh Elvan. "Kamu tahu masalah itu?"Neya tersenyum kecut sembari mengangguk. "Aku tahu masalah itu, Mas. Aku tahu sejak aku memimpin perusahaan itu, banyak yang tidak menyukaiku karena aku seorang perempuan. Namun, aku tahu kalau sebenarnya, bukan itu alasan mereka."Elva
Sepulang dari mini market, Aileen memasuki mansion sambil mengendap-endap, dan saat dia akan menaiki tangga, tiba-tiba saja ruangan itu menyala."Kamu dari mana, Aileen?" tanya Vera yang saat ini ternyata sedang duduk di sofa."Oh, Mama. Mama belum tidur?""Jawab dulu pertanyaanku, Aileen. Kamu dari mana? Apa kamu tidak sadar kalo ini sudah malam? Kau seharusnya juga tahu kalau wanita hamil, sebaiknya tidak keluar di malam hari.""Tapi Ma, ini bukan di Indonesia. Lagi pula, aku keluar juga karena ada urusan sebentar.""Apa katamu? Bukan berada di Indonesia? Ini bukan tentang adat, Aileen. Namun, kau harus memikirkan kondisi janin, dan juga kesehatanmu sendiri. Udara malam, tidak baik untuk wanita hamil."Aileen menganggukkan kepala, dia menyadari siapa yang dia hadapi saat ini, yaitu Vera yang keras kepala."Iya Ma, aku ngerti. Kalau gitu aku pamit ke kamar dulu."Saat Aileen mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba Vera memanggilnya kembali. "Tunggu Aileen!" panggil Vera. Sontak, Aileen
Aileen dan Vera pun menoleh ke arah sumber suara. Melihat sosok yang datang, tubuh Aileen pun melemas. Tenaganya seakan hilang, tidak hanya tenaga. Bahkan, nyawanya seakan juga sudah melayang, entah ke mana. Rasanya dia ingin memutar waktu dan mencabut kembali perkataannya beberapa saat yang lalu.Aileen merutuki kebodohannya sendiri yang terpancing ucapan Vera hingga membuat dia mengatakan yang sebenarnya tentang keberadaan sapu tangan itu. Tubuh Aileen luruh, jatuh ke atas marmer dingin yang kini terasa menusuk-nusuk tulang. Tak hanya tubuh, tapi juga harga dirinya juga jatuh. Aileen takut, dia benar-benar takut dengan situasi yang saat ini sedang dihadapi. Kini, wanita itu hanya menunduk seraya terisak. "Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Mas. Sungguh, aku nggak pernah punya niat buruk ke kamu.""Lebih baik kau simpan kata-kata busukmu, Aileen! Sudah cukup, sudah cukup kebusukan yang kamu lakukan pada rumah tangga kita! Aku sangat muak padamu, Aileen! Ternyata selama ini aku sud