"A-aku hanya menyambungkan benang merah atas penjelasan kamu, Ney. Bukannya tadi kamu bilang kalo malam itu ada kekacauan di mini market tempat kamu kerja? Jadi, aku ambil kesimpulan kalo kamu pasti terlambat pulang ke rumah."Neya tersenyum sinis. "Sayangnya, aku bukan Neya yang dulu. Yang bisa kamu bodoh-bodohi dengan bualanmu.""Bualan apa? Nggak usah ngarang deh, Ney. Emang bener 'kan kalo Mas Elvan yang perkosa kamu? Salahnya aku di mana? Mereka emang peralat kamu 'kan biar dapet keturunan. Emang kamu nggak bisa lihat apa, mereka cuma mau Hazel, bukan kamu! Setelah Hazel dewasa dan nggak butuh kamu sebagai ibunya, kamu juga bakalan dibuang! Nggak usah sok dulu deh jadi orang! Cuma jadi istri kedua aja songong banget!"Mendengar perkataan itu, Neya berjalan mendekati Aileen, lalu berbisik di telinganya, "Inget Mba, siapa yang udah bikin aku jadi istri kedua. Kita lihat aja, siapa yang akan dibuang dari keluarga ini!"Kekehan nyaring pun terdengar dari Neya. Setelah itu, wanita ter
Neya menoleh, tak mengucap sepatah kata pun. Wanita itu, hanya balas menatap Elvan dengan tatapan datar. Elvan pun mengulum senyum, lalu naik ke atas bed pasien, dan memeluk putranya. Sedangkan Neya, duduk di atas bed jaga, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Namun, pikirannya entah ke mana."Besok ikut aku ke kantor!" Suara bariton Elvan membuat Neya tersentak. Wanita itu, lalu mengangkat wajahnya dan menatap suaminya itu."Apa? Bukankah aku sudah mengajukan cuti?""Sebentar saja. Ada masalah yang harus kita selesaikan berdua, Ney. Maaf kalau masalah ini ganggu kamu, tapi masalah ini cukup penting dan harus kita selesaikan bersama.""Apa ini ada kaitannya dengan dewan komisaris?" tanya Neya, dan dijawab anggukkkan oleh Elvan. "Kamu tahu masalah itu?"Neya tersenyum kecut sembari mengangguk. "Aku tahu masalah itu, Mas. Aku tahu sejak aku memimpin perusahaan itu, banyak yang tidak menyukaiku karena aku seorang perempuan. Namun, aku tahu kalau sebenarnya, bukan itu alasan mereka."Elva
Sepulang dari mini market, Aileen memasuki mansion sambil mengendap-endap, dan saat dia akan menaiki tangga, tiba-tiba saja ruangan itu menyala."Kamu dari mana, Aileen?" tanya Vera yang saat ini ternyata sedang duduk di sofa."Oh, Mama. Mama belum tidur?""Jawab dulu pertanyaanku, Aileen. Kamu dari mana? Apa kamu tidak sadar kalo ini sudah malam? Kau seharusnya juga tahu kalau wanita hamil, sebaiknya tidak keluar di malam hari.""Tapi Ma, ini bukan di Indonesia. Lagi pula, aku keluar juga karena ada urusan sebentar.""Apa katamu? Bukan berada di Indonesia? Ini bukan tentang adat, Aileen. Namun, kau harus memikirkan kondisi janin, dan juga kesehatanmu sendiri. Udara malam, tidak baik untuk wanita hamil."Aileen menganggukkan kepala, dia menyadari siapa yang dia hadapi saat ini, yaitu Vera yang keras kepala."Iya Ma, aku ngerti. Kalau gitu aku pamit ke kamar dulu."Saat Aileen mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba Vera memanggilnya kembali. "Tunggu Aileen!" panggil Vera. Sontak, Aileen
Aileen dan Vera pun menoleh ke arah sumber suara. Melihat sosok yang datang, tubuh Aileen pun melemas. Tenaganya seakan hilang, tidak hanya tenaga. Bahkan, nyawanya seakan juga sudah melayang, entah ke mana. Rasanya dia ingin memutar waktu dan mencabut kembali perkataannya beberapa saat yang lalu.Aileen merutuki kebodohannya sendiri yang terpancing ucapan Vera hingga membuat dia mengatakan yang sebenarnya tentang keberadaan sapu tangan itu. Tubuh Aileen luruh, jatuh ke atas marmer dingin yang kini terasa menusuk-nusuk tulang. Tak hanya tubuh, tapi juga harga dirinya juga jatuh. Aileen takut, dia benar-benar takut dengan situasi yang saat ini sedang dihadapi. Kini, wanita itu hanya menunduk seraya terisak. "Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Mas. Sungguh, aku nggak pernah punya niat buruk ke kamu.""Lebih baik kau simpan kata-kata busukmu, Aileen! Sudah cukup, sudah cukup kebusukan yang kamu lakukan pada rumah tangga kita! Aku sangat muak padamu, Aileen! Ternyata selama ini aku sud
Kepulan asap dari chamomile tea di atas cangkir menyeruak ke indra penciuman Elvan. Vera yang duduk di sampingnya mengusap bahu putranya dengan lembut. Dia tahu, Elvan masih diselimuti amarah, tapi bagaimanapun juga dia harus bisa mengendalikan amarahnya itu, dan harus bisa berpikir dengan tenang."Minum dulu tehnya, tenangkan dirimu dulu.""Elvan tak menyahut, hanya menatap nanar ke arah depan. Sorot matanya, penuh emosi berselimut luka. Lelaki itu, tak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri tentang kebodohan di atas sebuah kata cinta.Aileen, bukanlah sosok yang baru dikenalnya. Sudah belasan tahun mereka menjalani hubungan, tapi tak lantas membuat dia benar-benar mengenal sosok istrinya. Dulu, Elvan selalu dibutakan rasa cintanya pada Aileen, bahkan sampai mengabaikan istrinya yang lain, demi Aileen semata.Apapun akan Elvan lakukan untuk Aileen, meskipun rasa cinta itu juga sempat memudar, dan sedikit tersisih ketika dia mulai merasakan cinta pada Neya. Namun, Elvan masih mau men
"A-aku hanya sekedar bertanya. Maafkan aku," sahut wanita yang saat ini berdiri di hadapan Dewa. Kepala wanita itu, menunduk ke bawah, tak sanggup melihat kilatan amarah di mata suaminya."Ingat Luna, aku sudah menolong dan menutup aibmu. Jadi, kau tidak berhak untuk mencampuri urusanku, bahkan hanya sekedar bertanya, kau juga tidak berhak sama sekali. Kau cukup berpura-pura menjadi istriku, dan merawat anak itu. Apa kau mengerti?"Luna menganggukkan kepala, lalu menjawab, "Ya." Dengan suara yang begitu lirih, hampir tidak terdengar sama sekali. Dia menyesali kebodohannya di malam ini yang menunggu Dewa pulang, bahkan sampai menanyakan hal yang seharusnya tabu dalam hubungan mereka. Padahal, seharusnya dia sadar diri bagaimana posisinya di mata suaminya tersebut. Memang pernikahan mereka hanyalah sebatas pernikahan kontrak. Namun, sayangnya Luna selalu berharap jika suatu saat nanti, Dewa akan mencintainya. Meskipun, dia pun tahu, berharap Dewa jatuh cinta padanya sungguh mustahil, k
Sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan gedung perusahaan yang ada di pusat kota Sydney. Pintu sebelah kanan mobil itu pun terbuka, kemudian seorang laki-laki berparas tampan yang usianya sudah memasuki kepala empat, keluar. Lalu, memutari mobil dan membuka pintu mobil sebelah sebelah kiri.Setelah itu, seorang wanita cantik keluar dari mobil tersebut. Keduanya, kini bergandengan tangan masuk ke dalam gedung. Sepanjang memasuki gedung tersebut, beberapa orang karyawan yang melihat keduanya tampak menatap mereka dengan tatapan penuh tanda tanya.Sayup-sayup juga mulai terdengar bisik-bisik dari beberapa orang karyawan tersebut. Celotehan mereka sebenarnya didengar oleh pasangan suami istri yang merupakan pemilik perusahaan itu. Namun, keduanya tetap melangkah dengan tenang, tak menghiraukan semua itu, dan justru tersenyum ramah pada beberapa orang karyawan yang menyapanya.Tanpa mereka tahu, di balik salah satu tembok gedung tersebut, tampak seorang laki-laki sedang tersenyum simpul
Ciuman Elvan terasa begitu mendesak bersama lumatan kuat, ada sebuah rasa rindu yang ingin dia sampaikan melalui sentuhannya pada Neya. Awalnya Neya tak membalas ciuman itu karena di sadar. Saat ini mereka sedang di kantor. Neya hanya diam, tapi ada air mata yang mengalir dari kedua sudut matanya, dia pun merasakan kerinduan yang sama, seperti Elvan. Lima tahun keduanya terbelenggu dalam cinta dan benci yang begitu dalam.Elvan terus memagut bibir Neya, hingga membuat wanita itu terengah. Akhirnya, kedua bibir Neya pun terbuka dan Elvan kembali melumat belahan bibirnya secara bergantian atas dan bawah. Tangan pria itu bergerak ke di depan kemeja Neya, lalu melepas satu per satu tautan kancing itu.Neya yang kian hanyut, dan tak mampu lagi membendung perasaannya, akhirnya perlahan membalas ciuman Elvan. Pada akhirnya, Neya pun pasrah, mengikuti kemauan Elvan, dan lebih mengikuti keinginan hatinya dengan pertimbangan jika saat ini mereka sedang ada di kantor.Pupus sudah logikanya yang