Elvan mengetuk-ngetuk jemarinya ke atas meja, menatap cemas pada Aileen yang saat ini ada di atas brankar, dengan alat USG di atas perutnya. Saat ini, mereka memang sedang berada di ruangan dokter kandungan setelah beberapa saat yang lalu, Aileen menghubunginya, dan meminta menemani ke rumah sakit.Awalnya, Elvan yakin jika hal tersbut, hanya sebatas mencari perhatian sebagai upaya untuk mempertahankan pernikahan dengannya. Karena, Elvan pun yakin jika Aileen pasti sudah tahu dirinya telah bertemu dengan Neya, dan mengetahui siapa Hazel sebenarnya.Akan tetapi, setelah berada di rumah sakit, Elvan khawatir jika dugaan kehamilan yang dirasakan Aileen itu benar. Apalagi, tak ada raut cemas dan takut di wajah wanita cantik itu saat berhadapan dengan dokter yang menanganinya."Lihat Tuan. Titik ini, pertanda adanya janin di dalam rahim Nyonya Aileen."Jantung Elvan seakan berhenti berdetak mendengar penuturan dokter kandungan tersebut. "Ja-jadi, istri saya sedang hamil, Dok?" tanya Elvan
Aileen berjalan sembari mengamit lengan Elvan. Senyum manis tak pernah lepas di bibirnya sejak pulang dari rumah sakit. Sedangkan Elvan, laki-laki itu tampak begitu tenang, sesekali dia membalas perkataan Aileen sembari melontarkan candaan mesra. Meskipun hal yang dia lakukan sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia rasakan di dalam hati.Tentu saja Aileen merasa begitu bahagia. Dalam benaknya, meskipun Elvan sudah bertemu dengan Neya. Namun, laki-laki itu sepertinya masih ada dalam genggamannya. Hal tersebut, dapat terlihat dari sikap lembut Elvan padanya. Laki-laki itu sama sekali tak berubah. Jadi, bukahnkah ini artinya pertemuan itu tak berpengaruh apapun pada Elvan? Apalagi, setelah dokter mengatakan jika dirinya hamil. Aileen yakin, Elvan pasti semakin mencintainya.Saat ini, mereka sedang berjalan dari arah basement hotel tempat mereka menginap, menuju ke lobby. Namun, tiba-tiba langkah keduanya terhenti, manakala melihat sosok wanita yang saat ini sedang duduk di lobby s
Tak ada jawaban dari Neya. Setelah sosok lelaki itu masuk, wanita tersebut hanya memindai pandangannya lagi pada Hazel. Meskipun Elvan mendekat, dan pada akhirnya, pria itu hanya berdiri mematung. Neya memang tak ingin berbicara apapun demi kesehatan pikirannya.Sedangkan Elvan, sepertinya juga tak ingin bicara atau mungkin tidak tahu apa yang harus dia bicarakan saat melihat wanita itu hanya diam di depannya. Neya memang tidak terlalu peduli karena dia sudah tidak berharap banyak pada Elvan.Tak berapa lama, keheningan pun berakhir saat dokter yang menangani Hazel, masuk ke ruangan tersebut, dan membuat keduanya bangkit berdiri untuk menyambut dokter itu.Kini mereka tampak mengamati sang dokter yang sedang memeriksa keadaan Hazel. Entah mengapa, tiba-tiba tubuhnya Neya merasa lemas. Kondisi Hazel yang belum sadarkan diri, tentu saja membuat beban pikiran tersendiri bagi wanita itu, dan membuat tubuh Neya oleng seketika. Wanita itu hampir saja jatuh.Akan tetapi, lagi-lagi Elvan meno
"Ma ...." Hazel memanggil Neya kembali, seolah meminta penjelasan. Melihat Neya yang terlihat bingung. Elvan memilih pergi dari ruangan tersebut. Dia tak ingin membuat Neya tertekan dengan keberadaannya, dan juga ingin membebaskan Neya untuk menjawab pertanyaan itu, tanpa harus merasa sungkan. Elvan harus sadar diri jika Neya, belum sepenuhnya bisa memaafkan dia. Begitu pula dengan Hazel, Elvan tidak mau memaksa anak itu untuk bisa menerima kehadirannya.Elvan sadar, selama ini Hazel hanya mengenal Neya dan kedua orang tuanya. Kehadiran dia, tentu masih terasa asing bagi Hazel, apalagi pertemuan awal mereka bukan pertemuan yang berkesan. Saat itu, Hazel bahkan merasa takut padanya dan juga Aileen, dan sekarang anak tersebut baru saja mengalami insiden yang membuatnya cidera. "Ma, sebenarnya Om itu siapa?" tanya Hazel kembali setelah Elvan keluar dari ruang perawatan itu. Hazel yang merasa penasaran, seakan tidak ada habisnya bertanya jika Neya belum menjawab pertanyaan tersebut."Di
Neya tertegun mendengar perkataan Hazel. Padahal, tidak ada yang mengatakan jika Elvan adalah Papanya. Wanita itu memijit pelipisnya, dengan helan napas yang jauh lebih panjang dan dalam daripada biasanya. Dia pun menatap pada pria yang muncul di hadapannya, meskipun tadi malam sudah dia mengusir secara halus, pada akhirnya dia datang kembali."Ma ... suruh Papa masuk! Kasihan dia di luar." Perkataan Hazel itu, lalu ditanggapi Neya dengan senyuman. Sejujurnya, dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan Hazel, namun Hazel sepertinya sudah mengambil kesimpulan siapa Elvan sebenarnya. Anak itu, dengan begitu yakin mengatakan jika Elvan adalah papanya. Meskipun memang itulah kebenarannya, tapi bagi Neya rasanya dia masih begitu canggung. Sejak dulu, Neya memang mengatakan kalau Papa Hazel sedang jauh. Namun, dia tidak menyangka jika akan secepat ini Elvan datang, sebelum dia memberi penjelasan lebih lanjut. Insiden yang dialami Hazel, memang di luar dugaan mereka. Dulu, Neya selalu
"Sapu tangan Elvan?""Iya Nyonya, saat itu Elvan memang sedang sedikit flu. Bukankah sudah menjadi kebiasaan Elvan kalau dia selalu membawa sapu tangan saat terserang flu?"Kening Vera mengernyit, sembari menganggukkan kepala. "Kau benar Dewa. Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan untuk membongkar semua itu? Apakah kita harus membicarakan ini dengan Elvan? Sebenarnya aku juga ragu dengan kehamilan Aileen. Namun, Elvan melihat sendiri janin di perut Aileen saat mereka melakukan USG.""Emh, begini sebaiknya jangan dulu Nyonya, jangan beritahu dia dulu. Terkadang, Elvan tidak bisa mengendalikan emosinya. Saya khawatir jika emosinya tidak terkontrol, rencana kita untuk mengetahui siapa dewan direksi yang bersekongkol dengan Aileen, jadi berantakan. Lalu, tentang kehamilan Aileen, saya belum bisa menarik kesimpulan apapun. Karena saya yakin, jika satu kejahatan terungkap, maka kejahatan yang lain akan terungkap pula.""Iya Dewa, aku mengerti. Kita memang harus membuka satu per satu, l
"Udah cukup, nggak perlu minta maaf terus, Mas.""Kamu marah?"Neya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala. "Memaafkan itu mudah, apalagi kamu ayah kandung Hazel, tapi melupakan itu sulit. Apalagi, kejadian itu begitu menyakitkan. Aku bukanlah orang munafik, kuakui, rasanya masih sangat sakit."Elvan bermaksud menggenggam jemari Neya. Namun, wanita itu menepis tangan Elvan. "Mas, sebaiknya kamu pulang sekarang. Please ....""Pa, jangan pulang," ucap Hazel yang tiba-tiba menyahut di tengah perbincangan mereka. Keduanya pun menoleh pada Hazel yang yang kini bergantian menatap Elvan dan Neya. Elvan pun terkekeh.Dia kemudian mengelus wajah Hazel. "Kamu istirahat dulu ya!" Setelah mengatan itu, Elvan berbisik di telinga Hazel, dan anak itu pun tertawa sembari menganggukkan kepala, lalu dia memejamkan mata. Sedangan Elvan, laki-laki itu, kini berbaring di samping Hazel sambil memeluk bocah itu. Hingga beberapa saat kemudian, Hazel pun sudah terlelap. Elvan beranjak dari bed pasien,
Aileen tertegun sejenak. Dia tahu, yang saat ini berdiri di belakannya adalah Neya. Siap atau tidak, suka atau tidak, memang pertemuan dengan madunya itu tidak bisa dihindarkan. Apalagi saat ini mereka hidup dalam rumah yang sama. Entah bagaimana kisahnya setelah Hazel kembali ke rumah, Aileen tak tahu karena takdir pun tak pernah memberikan jawaban."Mba Aileen, gimana kabar Mba Aileen? Aku denger Mba Aileen hamil ya? Selamat ya, Mba. Aku ikutan seneng, akhirnya buah hati yang udah lama ditunggu, akhirnya hadir juga diantara kalian. Hazel pasti seneng punya adik."Aileen pun akhirnya membalikkan tubuh, dan berhadapan dengan wanita yang sebenarnya sangat dia benci. Wanita yang kehadirannya dalam rumah tangga dia dengan Elvan, sebenarnya akibat perbuatan Aileen sendiri, tapi pada akhirnya perbuatan itu bagaikan bumerang bagi dirinya sendiri. Karena nyatanya, kehadiran Neya, selalu saja menjadi ancaman bagi rumah tangga dia dan Elvan.Tak pernah terpikir sama sekali jika pada akhinya ke