[Mas, kok malah diem sih? Biasanya kalo aku pulang kamu semangat banget. Kamu nggak seneng aku pulang? Atau, jangan-jangan kamu lagi suka ya sama cewek lain?][Nggak Sayang, bukan gitu. Aku diem karena aku lagi bingung. Hari ini, aku mau pergi ke Kalimantan. Kalo kamu pulang hari ini, kita nggak bisa ketemu dong, Sayang.][Kamu mau pergi? Kok nggak ngomong sih sama aku. Biasanya, kamu juga ngomong dulu kalo mau ke luar kota.][Ini mendadak, Aileen. Ada masalah di lapangan yang harus kutangani, kalo kamu nggak percaya. Kamu bisa tanya ke Dewa, atau Mama.][Iya ... Iya deh, kapan aku nggak percaya sama suami aku?][Makasih ya, Sayang.][Ya udah sana siap-siap, kabari aku kalo udah pulang.][Iya Aileen.]Elvan menutup sambungan telepon sembari menghela napas lega. "Untung saja dia percaya, lebih baik sekarang aku kasih tau ke Dewa sama Mama dulu," ucap Elvan sembari mengutak-atik ponselnya."Ney!" Sebuah suara yang tak asing di telinga Elvan, menyentak lamunan laki-laki itu saat sedang me
"Kau juga sepertinya harus berusaha lebih keras, Bos."Elvan mengerutkan keningnya. "Ayolah, begitu saja kau tidak tahu? Dasar pecundang, punya istri dua ternyata tidak membuatmu pintar dalam merayu.""Jadi aku harus merayunya? Bukankah dia sudah takluk padaku?" elak Elvan."Kau memang benar-benar payah. Sekarang aku tanya padamu, apa kalian pernah punya waktu berdua selain di rumah, dan nonton bioskop waktu itu, yang tiketnya saja, dibelikan oleh Tante Vera?"Elvan menggeleng pelan. Dalam benaknya dia membenarkan kata Dewa, memang mereka tidak pernah memiliki quality time bersama, dan sialnya dia baru menyadari itu. Selama ini, hubungannya dengan Neya memang begitu kaku. Tidak banyak perbincangan dan interaksi yang mereka lakukan. Mereka hanya terlibat obrolan, saat tengah sarapan dan makan malam, tidak lebih. Melihat sikap diam Elvan, Dewa hanya menggeleng perlahan."Lalu, apa yang harus kulakukan? Saat ini, perut Neya sudah besar. Aku tidak mungkin mengajaknya pergi jauh.""Tidak u
"Pulau ini akan dinamakan dengan nama anak kita?""Ya, aku memang sengaja membelinya untuk anak kita, Ney."Neya hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya mendengar perkataan Elvan. Wanita itu, lalu menatap suaminya itu dengan tatapan sendu."Apa kamu benar-benar menyayangi anak ini?""Aku sangat menyayangi anak kita," jawab Elvan sambil bersiap untuk menyandarkan speed boatnya di jembatan kayu yang ada di dermaga."Tapi dia bukan anak kandungmu, Mas.""Tolong jangan berkata seperti itu, bagiku dia adalah putra pertamaku yang sangat kunantikan kehadirannya.""Tapi ...." Neya ingin menyela, namun Elvan menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu."Aku menikah denganmu itu artinya semua yang ada di dalam hidupmu juga bagian dari diriku, termasuk anak yang ada di dalam kandunganmu."Neya tak mampu lagi membantah, tak tahu harus berkata apa. Kebahagiaan itu, terasa di puncak. Dia tak menyangka jika rasa sayang Elvan begitu besar pada anak yang ada di dalam kandungannya. Bahkan
Elvan menatap wanita muda yang saat ini tidur di sampingnya. Tubuh telanjang wanita itu, hanya tertutup sebuah selimut putih, wajahnya terlihat sangat tenang dan damai. Elvan tahu, Neya pasti kelelahan. Setelah perjalanan dengan mengunakan spead boat, tapa jeda dia meminta Neya untuk kembali melakukan pergulatan panas dengannya. Di usia kehamilan Neya sekarang, Neya memang lebih gampang lelah. Dan setelah pergulatan panas itu, dia tertidur.Sebenarnya, Elvan pun menyadari hal tersebut, tapi hasratnya, sudah sangat sulit dia bendung. Bercinta dengan wanita hamil memang berbeda, meskipun gaya bercinta tidak bebas. Namun, ada sebuah sensasi dan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Tak kuasa menahan rasa di dada, Elvan mendekat dan mencium pipi Neya, wanita itu mendesah pelan, mendapatkan serangan tiba-tiba di pipinya. Perlahan Neya pun membuka mata dan mendapati Elvan yang saat ini tengah menatapnya sambil tersenyum."Mas ...," ucapnya lirih, dadanya terasa bergemuruh kenc
Tak mau membuang waktu, bergegas Aileen mengikuti mobil milik Elvan tersebut. Sepanjang jalan, perasaan Aileen terasa begitu campur aduk, hatinya memanas hingga menjalar ke seluruh tubuh. Apalagi jalanan ibu kota pagi ini sudah padat, semakin menambah kecamuk di dada.Mobil milik Elvan, tampak memasuki sebuah hotel mewah, tentu saja hal itu membuat emosi Aileen seketika memuncak, dalam benaknya Elvan pasti sudah membohonginya. Hal itu, dikuatkan dengan keanehan yang dia temukan tadi malam, serta nomor ponsel Elvan yang tak bisa dihubungi.Dengan jantung berdebar, Aileen yang sudah turun dari mobilnya mendekat ke arah mobil Elvan. Wanita itu sudah bersiap menumpahkan amarahnya. Namun, ketika melihat sosok yang keluar dari mobil tersebut, seketika amarah itu pun surut."Dewa!" pekik Aileen, ketika laki-laki tampan yang sudah sepuluh tahun menjadi sekretaris suaminya itu turun dari mobil."Nyo-Nyonya Aileen?" Dewa membelalakkan mata, seraya menyebut nama Aileen yang saat ini berdiri di d
Aileen masih berada di dalam bilik toilet mall yang dikunjunginya. Rasanya begitu sakit ketika Elvan mengabaikan panggilan darinya, dan ini yang pertama Elvan lakukan. Rasa sakit itu, mungkin rasanya tidak sesakit ini manakala dirinya sedang terpuruk.Saat ini Aileen benar-benar membutuhkan Elvan, dia sadar saat ini suaminya sedang tidak bersamanya. Dia sadar, Elvan sedang berada jauh darinya, dan dia pun sadar saat ini dirinya tak dapat menangis dan menumpahkan rasa sakit dalam pelukan Elvan. Namun, apa tidak bisa laki-laki itu meluangkan waktunya hanya untuk sebentar saja.Tubuh itu sudah luruh ke lantai, dia terduduk dengan punggung menyentuh dinding yang dingin. Air matanya masih berlinang diantara nafas-nafas panjang yang Aileen hembuskan. Entah sudah berapa banyak air mata itu tumpah, yang jelas pipi Aileen teramat basah, matanya pun sembab.Perempuan itu tak kunjung beranjak dari bilik toilet, yang membuat jengkal demi jengkal tubuhnya mulai menggigit. Detik berikutnya pandanga
Elvan menatap Aileen yang masih memejamkan mata, hatinya terasa seperti ditusuk sebilah bambu, sakit dan menyesakkan dada manakala mengingat penuturan dokter yang beberapa saat lalu baru saja didengarnya. Aileen, istri yang sangat dia cintai, ternyata memiliki sebuah rahasia yang tidak dia ketahui. Padahal, selama ini mereka selalu bersama. Nyatanya kebersamaan itu terasa begitu semu, bahkan Elvan pun tak tahu, senyum dan raut ceria di wajah Aileen mungkin juga hanya sebatas kiasan saja."Sindrom Polikistik Ovarium, Infertilisasi," gumam Elvan, tangannya mengepal erat. Air mata yang tidak pernah jatuh dari kedua sudut matanya, seketika tumpah dan sangat sulit dia bendung. Laki-laki itu tidak menyangka, jika Aileen selama ini menyembunyikan penyakit tersebut.Menghadapi kenyataan itu, Elvan tidak marah. Tidak sama sekali, dia menerima semua yang ada pada diri Aileen, termasuk kekurangan yang diderita wanita itu. Elvan hanya tidak tega melihat Aileen selama ini berjuang sendiri. Sedangka
Elvan menatap wanita yang sedang terlelap di sampingnya, lalu membelai wajah polos yang baru saja menghabiskan pergumulan panas dengannya. Selama satu minggu terakhir, Elvan memang tidak berkunjung je rumah tersebut, bahkan hanya sempat berkirim pesan singkat untuk menanyakan kandungan Neya, tidak lebih.Akhir-akhir ini, pekerjaannya memang begitu menumpuk, belum lagi kondisi kesehatan Aileen yang memburuk, hingga membuatnya terpaksa sedikit mengabaikan Neya. Untung saja, setelah memberikan penjelasan pada istri kecilnya itu, dia mau mengerti. Elvan tahu, Neya memang tidak pernah menuntut apapun padanya, hingga membuat Elvan selalu merasa kian bersalah pada Neya. Apalagi saat wanita itu menyatakan rasa cintanya, dan Elvan belum pernah membalas ungkapan cinta itu. Bukannya tidak mau, tapi ragu.Sebatas yang Elvan tahu, rasa yang dia miliki, hanya karena dia tertarik dan peduli pada wanita yang saat ini tengah mengandung darah dagingnya itu. Dan hubungan fisik yang mereka lakukan, adala