“Andini istri saya yang kedua! Semua yang terlihat adalah jatah untuk uang bulanannya,” papar Stefan dengan lugas. “Sebagai suami yang baik, saya memenuhi permintaannya. Saya harus berbuat adil, kan? Anya bergelimang harta, dan Andini paling tidak, tidak kesusahan.”
Perkataan Stefan seperti gaungan, terlontar berulang-ulang di telinga Andini. Apakah hanya dia saja yang mendengarnya? Atau sekarang dia sudah gila? Mata Andini memindai sekelilingnya. Menunggu apa ada orang yang menghakiminya?
Namun, semua orang diam.
“Jadi, mulai sekarang, Andini akan memimpin perusahaan ini. Saya yang akan mengawasinya langsung. Seharusnya kalian tidak perlu khawatir.”
Semua peserta rapat masih kaget dengan pengakuan Stefan. Tidak ada yang menyanggah atau pun memakluminya.
Andini yang katanya istri kedua pun, diam seribu bahasa. Tatapannya terasa dingin dan marah kepada Stefan.
“Rapat hari ini cukup. Lusa saya mau ada rapat lagi untuk membicarakan projek dan klien yang sedang dikerjakan.”
Tidak ada jawaban satu pun. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan ruangan. Tinggal Stefan dan Andini.
Bahkan Felix pun tidak berani memberikan taanggapan dan komentar. Jadi, ketika Stefan dan Andini ada dalam satu ruangan, Felix meninggalkan mereka.
“Ikut saya,” ucap Stefan kepada Andini. “Saya mau bicara.”
Andini bergeming, “Bicara saja di sini,” jawabnya acuh tak acuh.
Stefan menghela napas. “Pertama-tama, maafkan saya. Saya tidak bermaksud ….”
“Kenapa sampai seperti ini?” tuding Andini, air matanya menetes.
“Karena, kalau saya beberkan semua, maka semua rahasia keluarga kamu akan ketahuan oleh semua orang!” Stefan menarik napas, lalu menatap Andini dengan lembut. “Saya tidak mau itu terjadi.”
Napas Andini memburu, tangannya mengepal menatap Stefan dengan marah.
“Lebih baik semua aib keluarga saya terbuka. Dari pada demi saya Pak Stefan bisa beresiko dipecat, bahkan tidak dianggap mantu oleh Pak Winata.”
“Tidak perlu khawatir, kamu jalani saja tugasmu sebagai pengganti Anya. Usahakan, kamu memaksimalkan kinerjamu selama tiga bulan ini.”
“Bagaimana kalau Bu Anya bangun dan menyadari semua ini?”
“Saya juga sudah merencanakan semua, Andini. Soal Anya dan kedudukanku di perusahaan pimpinan Pak Winata.” Stefan menarik napas. “Mulai saat ini kamu harus siap hadir disetiap acara perusahaan, acara sekolah Prayan. Kamu menggantikan Anya dalam bidang bisnis dan juga menggantikannya di ranjang.”
Detak jantung Andini tak karuan. Pipinya menghangat dan bersemu merah.
“Kamu tahu sendiri, kan, bagaimana seleraku?” tambah Stefan. “Pasti Anya pernah bercerita padamu, kan?”
Dalam pikiran Andini semua terlintas apa yang pernah Anya ceritakan soal Stefan di ranjang. Pakaian dalam model terbaru, warna lembut, alat penyemangat berhubungan. Itu, kan, yang selalu Anya ceritakan soal Stefan.
Wanita berambut panjang itu susah payah menelan ludah. Kuduknya berdiri, dia mengusapnya perlahan sambil berdeham.
Stefan makin dalam menatap Andini. “Hm?” alisnya dia naikkan.
Andini, membuang pandangannya, “Uhm … Itu, rahasia Bu Anya yang tidak perlu diceritakan kepada asistennya.”
Stefan mengangguk, dia meneguk sisa kopi yang ada di depannya. “Kamu tahu kopi apa yang saya suka, kan?”
Andini langsung mengangguk, “Hot capuccino no sugar,” katanya terbata melihat cara Stefan meneguk kopi itu. Apa rasa bibir Stefan?
Namun beberapa detik berlalu Andini menggeleng dengan cepat.
“Oke. Felix nanti akan menyediakan apartemen untukmu. Mulai besok bersiaplah, kamu bukan seorang wanita jomlo lagi. Kamu sudah punya suami. Selanjutnya, kita perlu meresmikan hubungan ini agar tidak ada yang curiga. Kamu bisa tunggu kabar dari Felix.”
Stefan bangkit dari kursinya, merapikan jasnya. Namun tatapan matanya tidak bisa berpindah dari Andini. “Sampai bertemu nanti malam.”
Andini membeku menatap Stefan. Matanya memelotot. “Apa?”
Stefan hanya tersenyum tipis, tidak berkata lagi.
“Tunggu!” sergah Andini, membuat Stefan berhenti di depan pintu. “Apakah bapak saat ini tidak mencintai Bu Anya lagi?”
“Saya tidak perlu menjawabnya. Itu urusan pribadi saya,” jawab Stefan, lalu keluar dari ruangan rapat. Langkahnya mantap keluar dari gedung kantor Anya. Ada Felix menunggu di teras lobi.
Stefan melirik asistennya yang menyusul berjalan di sampingnya.
“Maaf, Pak soal data bank itu,” ucapnya.
“Tidak masalah. Saya malah mencurigai Aska saat ini. Dari mana dia dapat data bank tersebut.”
“Saya akan menyelidikinya, Pak.”
“Baiknya kamu bergerak cepat, Felix. Saya hanya diberi waktu selama tiga bulan. Kalau tidak, semua tamat.”
“Bapak tahu, kan itu tidak akan pernah terjadi. Gedung ini sudah menjadi milik bapak.”
Stefan menarik napas, walau dia akui ini semua investasi yang bagus. “Ini semua atas saranmu. Oh, ya, sediakan apartemen untuk Andini.”
“Soal itu, apakah perlu …”
“Menikah?” tebak Stefan, matanya mengikuti kendaraan yang baru saja berhenti di depannya.
“Ya. Bapak dan Andini …”
“Siapkan saja segera. Jangan sampai ada orang yang curiga.”
“Baik, Pak,” jawab Felix dengan segera.
Stefan masuk ke dalam mobil yang sudah disediakan bersama Felix.
Perjalanan kembali ke kantor Stefan macet. Felix yang duduk di samping Stefan sibuk dengan telepon dan juga laptopnya.
Pertanyaan Andini berulang-ulang terngiang di telinga Stefan.
Dan berulang-ulang pula Stefan menjawab dalam batinnya, “Aku tidak pernah mencintainya.”
“Maaf, Pak, bagaimana?” tanya Felix. “Klien kita memang dari China, tapi pengangkutan ini rasanya adalah hal yang berat.
Dahi Stefan mengerut menatap Felix. “Berikan dokumennya pada saya, nanti akan saya pelajari begitu sampai di apartemen.”
***
“Sial!” selesai rapat, Aska mengomel sendirian di ruangannya. Saking keselnya, dia menyapu dengan tangan barang yang ada di meja kerjanya. Dalam sekejap ruangan kerja berantakan. “Kenapa si keparat itu menyerahkan perusahaan ke asisten bodoh macam Andini! Apa yang ada dalam pikirannya. Andini yang sok pintar, gimana mungkin dia bisa menggantikan posisi Anya.”
Aska tidak habis pikir, napasnya masih memburu. Matanya merah menyala. Beberapa saat rasa marahnya kian membara, lalu dia menoleh ke arah pintu begitu mendengar ketukan.
“Masuk!” jawabnya, sambil duduk dan mengatur napas.
“Pak,” sapa Lina perlahan memasuki ruangan.
“Kamu lagi! Apa data yang kamu berikan itu benar? Kenapa Stefan bisa mengelak? Apa dia nggak tahu kalau selama ini yang menjalani perusahaan itu gue. Gue!”
“Maaf, Pak, saya tidak tahu kalau Andini adalah istri kedua Pak Stefan.”
Aska mendecak, “Kecentilan juga lelaki itu. Mana tahu kalau istrinya ada dua. Meski selama ini gue tahu kalau hubungan dia sama Anya nggak sebaik itu.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Lina. "Susah-susah aku menyogok pihak bank untuk data transaksi Stefan."
Aska hanya tersenyum miring sambil manggut-manggut. "Kita akan lanjutkan rencana kita."
Lina menatap bosnya, yang tampaknya sudah punya rencana yang sempurna.
“Gue akan ikuti dulu alur permainan Stefan, setelah itu, gue akan membuat semua orang kalah. Termasuk Stefan,” desisnya.
Lina tidak paham dengan perkataan bosnya. Jadi dia hanya manggut-manggut seolah paham dengan rencana Aska.
“Pastikan istri saya jangan tahu dulu tentang pesta ini,” suruh Stefan dengan suara yang berwibawa.Apa yang Stefan tidak miliki di Dunia ini? Istri cantik, anak tampan dan cerdas. Perusahaan besar dalam waktu singkat, semua sempurna. Hari ini Stefan sedang mempersiapkan hari jadi pernikahan yang ke-7. Pesta kejutan ini Stefan siapkan bersama asisen istrina bernama Andini.“Baik, Pak,” sahut Andini—yang sudah bekerja selama lima tahun sebagai asisten istri Stefan, Anya. “Orang tua Bu Anya sudah datang, jadi kita tinggal tunggu Bu Anya.”“Kamu sudah pastikan, ada sopir yang jemput istri saya?” tanya Stefan. “Kamu tahu sendiri kalau Anya menyetir. Semua bisa kacau.”“Ya. Dan saat ini Bu Anya sudah di jalan,” papar Andini, setelah melihat ponselnya. Satu pesan dari Anya kalau lokasinya saat ini sudah dekat dengan rumah.“Oke, saya ganti baju dulu, kamu sudah siapkan setelan yang saya minta. kan? Jangan lupa baju untuk Prayan juga.”“Sudah, Pak, saya gantung di belakang pintu kamar. Warna
“Keadaan Ibu Anya tidak menguntungkan. Di perutnya pendarahan hebat,” papar dokter. Mendengar hal itu Stefan pasrah.Di ruang tunggu operasi, Andini menerima telepon tidak berhenti. Banyak orang menanyakan keadaan Anya. Berita kecelakaan itu menyebar dengan cepat.“Apakah itu artinya …” Stefan tidak bisa melanjutkan perkataannya. Rasanya sulit sekali bernapas.“Kami dari tim dokter akan berusaha semaksimal mungkin. Saat ini Ibu Anya masih ditangani.”“Tolong, Dok, usahakan yang terbaik untuk istri saya. Saya mohon,” ucap Stefan, suaranya gemetar. Habis akal, bagaimana hidup dia dan anaknya kalau Anya tidak tertolong. Tidak terasa air matanya mengalir.Andini tidak tega melihat Stefan yang harus menerima kenyataan kalau istrinya sekarat di dalam kamar operasi. Wanita itu membelikan Stefan air mineral.“Pak, minum ini dulu,” ucap Andini, sambil menyodorkan botol air mineral.Stefan menerima minuman yang diberikan Andini, meski ragu. “Terima kasih.”Andini dan Stefan diam. Tidak ada yang
Satu minggu sejak kecelakaan, Anya belum sadar juga. Dokter menyatakan kalau Anya dalam keadaan koma.Stefan sengaja menempatkan istrinya di ruang perawatan privat. Agar tidak banyak wartawan atau siapa pun yang bisa masuk seenaknya. Ada beberapa penjaga disiapkan kalau-kalau ada penjenguk yang tidak dikenal.Andini selalu ada di ruangan privat itu, kalau pun ada urusan, dia akan meninggalkan pesan dan memastikan ada yang menjaga Anya selain dirinya.Stefan setiap malam menginap menjaga istrinya. “Aku sangat menyesal, Anya bisa seperti ini,” ucap Aska sedih. Ada air mata menetes di sudut matanya. Andini melihatnya dengan jelas.Andini tidak menanggapi apa-apa, wajahnya datar dan dingin menatap Aska. “Apa Pak Aska bersama dengan Bu Anya saat kecelakaan itu?” “Tidak. Kami melanjutkan bicara soal pekerjaan sebelum Anya pulang. Hanya itu. Aku tidak menyangka Anya akan kecelakaan seperti ini. Untungnya si sopir itu sudah menyerahkan diri. Kalau tidak, aku akan sangat merasa bersalah.”
Winata menarik napas, “Baik, saya beri waktu tiga bulan. Kamu bisa lakukan apa pun untuk membuktikan ucapan kamu. Ingat, dalam tiga bulan kamu tidak bisa membuktikan apa pun, kamu akan saya coret dari akta mana pun perusahaan saya. Dan saya tidak ingin melihat wajah kamu lagi. Paham?”Stefan tersenyum lebar. “Paham.”Winata keluar dari ruangan itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdetak keras. Apa tadi? Apa yang menantunya katakan? Dan Winata tanpa tedeng eling menyetujui begitu saja perkataan Stefan.Sementara itu, Stefan langsung sibuk di sambungan telepon. Stefan memang tidak bodoh, ahli dalam menangani perusahaan. Pak Winata mempunya beberapa unit bisnis. Hotel, restoran skala internasional, periklanan yang Anya kelola, ekspor dan impor, Stefan yang menjalani perusahaan itu. Dan hasilnya tidak mengecewakan.Perusahaan itu berkembang pesat dalam jangka waktu lima tahun.“Bagaimana hasilnya, Felix?”“Sejauh ini belum ditemukan ada penggelapan uang. Tapi, ada anggaran yang jauh da