Satu minggu sejak kecelakaan, Anya belum sadar juga. Dokter menyatakan kalau Anya dalam keadaan koma.
Stefan sengaja menempatkan istrinya di ruang perawatan privat. Agar tidak banyak wartawan atau siapa pun yang bisa masuk seenaknya. Ada beberapa penjaga disiapkan kalau-kalau ada penjenguk yang tidak dikenal.
Andini selalu ada di ruangan privat itu, kalau pun ada urusan, dia akan meninggalkan pesan dan memastikan ada yang menjaga Anya selain dirinya.
Stefan setiap malam menginap menjaga istrinya.
“Aku sangat menyesal, Anya bisa seperti ini,” ucap Aska sedih. Ada air mata menetes di sudut matanya. Andini melihatnya dengan jelas.
Andini tidak menanggapi apa-apa, wajahnya datar dan dingin menatap Aska. “Apa Pak Aska bersama dengan Bu Anya saat kecelakaan itu?”
“Tidak. Kami melanjutkan bicara soal pekerjaan sebelum Anya pulang. Hanya itu. Aku tidak menyangka Anya akan kecelakaan seperti ini. Untungnya si sopir itu sudah menyerahkan diri. Kalau tidak, aku akan sangat merasa bersalah.”
Andini menghela napas menatap bosnya yang tidak berdaya dengan alat bantu kehidupan. Apakah Bu Anya akan kembali seperti sedia kala?
“Apa sudah ada keputusan soal pengganti Bu Anya, sebagai direktur umum?” tanya Aska tanpa rasa sungkan.
“Belum ada putusan dari Pak Winata dan Pak Stefan.”
“Stefan?” ulang Aska seolah ada rasa cemas dalam suaranya. “Lalu, bagaimana dengan pengelolaan perusahaan?”
“Semua itu akan diserahkan oleh Pak Stefan sepenuhnya. Termasuk laporan keuangan,” tambah Andini—yang tentu sudah mendengar soal kebocoran dana di perusahaan.
“Apa?” Aska seperti tidak percaya dengan semua omongan Andini.
Karena tatapan Andini yang tajam, Aska lantas menghela napas. “Baiknya saat ini aku percaya saja. Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku akan tetap bekerja sebagai bentuk dedikasi ke perusahaan.”
Andini hanya mengangguk, matanya mengikuti gerakan Aska. Ada rasa tidak percaya kepada lelaki itu. Namun, entah mengapa Bu Anya-nya selalu membela Aska mati-matian. Malah Aska diangkat menjadi wakil direktur di perusahaan.
Aska berjalan keluar dari ruangan privat dengan cepat. Ada sekretarisnya, Lani yang menyambutnya.
Lelaki itu mengusap wajahnya. “Untung saja aku bisa menangis dengan mudah,” katanya sarkas kepada Lani. “Bagaimana apa kamu sudah urusi masalah kendaraanku yang hancur?”
“Belum ada persetujuan dari bagian GA. Karena menunggu revisi budgeting dari Pak Stefan,” jawab Lani.
Aska mengerang, “Kenapa soal kayak begini aja kamu nggak bisa tangani?! Masa, harus saya yang turun tangan?”
“Sekarang perusahaan dikuasai oleh Stefan, paling tidak Pak Winata mengatakan hal itu,” tambah Lani, dia menyodorkan dokumen ke arah Aska. “Ini ada hal yang harus diurus perihal bisnis baru kita yang baru saja berjalan.”
Aska melihatnya, beberapa saat kemudian dia lalu tersenyum. “Ini awal yang bagus."
“Kira-kira begitu, Pak. Tapi, kita harus mengadakan rapat para pemegang saham tapi laporan ini harus disampaikan.”
Aska menarik napas, lalu menatap Lani. “Tunda saja dulu dengan alasan Anya yang masih koma."
Lani hanya bisa mengikuti apa perkataan bosnya. Tidak bisa melawan. Lagi pula, Aska menggajinya dengan jumlah yang sangat besar. “Baik, Pak.”
“Ayo, kita jalan lagi,” ujar Aska. Kali ini dirinya seperti ada di atas angin. Langkahnya ringan menuju mana pun. Soal perusahaan, Aska bisa mencari alasan agar Stefan disingkirkan dari kepengurusan perusahaan.
***
Sementara, perusahaan yang Anya pimpin memerlukan pengganti. Meski karyawannya tidak banyak, tetapi perusahaan itu harus terus berjalan.
“Tapi harus ada seseorang yang mengurusnya,” ujar Stefan, saat selesai rapat pemegang saham di perusahaannya.
“Kamu yang harus mengurusnya,” sambar Bapak Winata, ayah dari Anya.
Stefan menghela napas, prihatin dengan omongan mertuanya. Harusnya mereka saat ini memikirkan keadaan Anya.
“Untuk sementara ini, ada asisten pribadinya, Andini. Saya akan mengawasinya. Mungkin saya juga akan lihat keadaan Anya selama satu minggu ke depan. Perusahaannya masih tetap bisa berjalan.”
Winata mendelik ke arah Stefan. “Harusnya kamu yang menanganinya langsung. Ingat Stefan, kamu ada di posisi ini karena Anya juga. Dan karena saya.”
Lagi-lagi hal ini yang Stefan dengar. Lelaki itu menghela napas. Mertuanya ini harusnya sudah tidak ambil bagian lagi di perusahaan, bikin sakit kepala saja!
Dan, Stefan tidak menanggapi dan merespon apa pun. Dia sangat menghormati mertuanya, jadi dari pada tersinggung lebih baik, Stefan diam.
“Apa kau sudah melihat laporan keuangan perusahaan Anya? Saya lihat tadi ada yang tidak biasa dalam laporannya. Entah ada dana hilang. Dan entah beberapa bulan ini, Anya menarik dana besar-besaran dari perusahaan induk yang saya pimpin.”
Stefan mengangguk. “Saya sudah lihat laporannya, dan itu terjadi selama enam bulan. Felix dan tim keuangan perusahaan kita sedang melakukan audit di perusahaan Anya.”
Winata tersenyum miring, “Selamat mencoba, mungkin kali ini kamu bisa membuat terobosan menemukan di mana penggelapan dana tersebut,” nada bicara terdengar menyindir.
Winata selalu meremehkan menantunya. Menganggap kalau Stefan tidak mampu mengelola dan memimpin perusahaan. Walau kenyataannya, Stefan selalu berhasil dalam hal apa pun.
Stefan selalu mengalah. Tidak bohong, menikah dengan Anya memang mengubah jalan hidupnya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Stefan dengan sopan. “Saya akan selalu berusaha agar semua urusan ini lancar sesuai dengan keinginan Anda.”
Kalau sudah formal begini, artinya Stefan akan bertekad menjalankan perusahaan Anya dengan baik. Dan memenuhi keinginan mertuanya.
“Nah, begitu, dong! Sudah seharusnya kamu mengikuti saja apa perkataan saya dan keluarga.”
Stefan, menunduk, “Tapi kali ini, Anda harus memberi saya waktu.”
“Apa maksud kamu?”
“Saya akan menemukan kebocoran keuangan itu dalam waktu tiga bulan, tidak peduli apakah Anya sudah sadar atau belum. Jika saya berhasil, saya harap Anda tidak ikut campur lagi mengurus perusahaan saya.” Tatapan Stefan tajam.
Beberapa saat Winata diam hanya menatap balik Stefan. Menelan saliva saat ini sulit sekali dilakukan.
“Dan saya akan mengambil alih keseluruhan perusahaan ini. Saya akan membeli saham Anda.”
Winata tertawa garing, “Hahaha, ingat kamu anak kampung! Selamanya akan jadi anak kampung!” hina mertuanya. Dia lantas bangkit dari duduknya, langkahnya cepat ke arah pintu. “Jangan pernah bermimpi kamu,” tutupnya.
“Mungkin itu memang hanya mimpi anak kampung. Tapi ingat anak kampung yang satu ini cukup kompeten. Atau Anda takut, kalau-kalau saham Anda jatuh ke tangan saya?”
Stefan tersenyum tipis, Winata membeku tidak bisa berkata, lidahnya kelu.
Stefan mungkin dulu adalah lelaki yang lemah, cupu dan juga lugu. Namun, Winata ingat dia juga yang menempa Stefan agar tangguh, cerdas dan taktis seperti sekarang ini.
Jakun Winata naik turun, tidak kuasa dan tidak mampu menjawab. Anya adalah anak satu-satunya, usia makin bertambah. Apakah kalau Stefan pergi semuanya akan bisa dia urus sendiri?
Winata menarik napas, “Baik, saya beri waktu tiga bulan. Kamu bisa lakukan apa pun untuk membuktikan ucapan kamu. Ingat, dalam tiga bulan kamu tidak bisa membuktikan apa pun, kamu akan saya coret dari akta mana pun perusahaan saya. Dan saya tidak ingin melihat wajah kamu lagi. Paham?”Stefan tersenyum lebar. “Paham.”Winata keluar dari ruangan itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdetak keras. Apa tadi? Apa yang menantunya katakan? Dan Winata tanpa tedeng eling menyetujui begitu saja perkataan Stefan.Sementara itu, Stefan langsung sibuk di sambungan telepon. Stefan memang tidak bodoh, ahli dalam menangani perusahaan. Pak Winata mempunya beberapa unit bisnis. Hotel, restoran skala internasional, periklanan yang Anya kelola, ekspor dan impor, Stefan yang menjalani perusahaan itu. Dan hasilnya tidak mengecewakan.Perusahaan itu berkembang pesat dalam jangka waktu lima tahun.“Bagaimana hasilnya, Felix?”“Sejauh ini belum ditemukan ada penggelapan uang. Tapi, ada anggaran yang jauh da
“Andini istri saya yang kedua! Semua yang terlihat adalah jatah untuk uang bulanannya,” papar Stefan dengan lugas. “Sebagai suami yang baik, saya memenuhi permintaannya. Saya harus berbuat adil, kan? Anya bergelimang harta, dan Andini paling tidak, tidak kesusahan.”Perkataan Stefan seperti gaungan, terlontar berulang-ulang di telinga Andini. Apakah hanya dia saja yang mendengarnya? Atau sekarang dia sudah gila? Mata Andini memindai sekelilingnya. Menunggu apa ada orang yang menghakiminya?Namun, semua orang diam.“Jadi, mulai sekarang, Andini akan memimpin perusahaan ini. Saya yang akan mengawasinya langsung. Seharusnya kalian tidak perlu khawatir.”Semua peserta rapat masih kaget dengan pengakuan Stefan. Tidak ada yang menyanggah atau pun memakluminya.Andini yang katanya istri kedua pun, diam seribu bahasa. Tatapannya terasa dingin dan marah kepada Stefan.“Rapat hari ini cukup. Lusa saya mau ada rapat lagi untuk membicarakan projek dan klien yang sedang dikerjakan.”Tidak ada jawa
“Pastikan istri saya jangan tahu dulu tentang pesta ini,” suruh Stefan dengan suara yang berwibawa.Apa yang Stefan tidak miliki di Dunia ini? Istri cantik, anak tampan dan cerdas. Perusahaan besar dalam waktu singkat, semua sempurna. Hari ini Stefan sedang mempersiapkan hari jadi pernikahan yang ke-7. Pesta kejutan ini Stefan siapkan bersama asisen istrina bernama Andini.“Baik, Pak,” sahut Andini—yang sudah bekerja selama lima tahun sebagai asisten istri Stefan, Anya. “Orang tua Bu Anya sudah datang, jadi kita tinggal tunggu Bu Anya.”“Kamu sudah pastikan, ada sopir yang jemput istri saya?” tanya Stefan. “Kamu tahu sendiri kalau Anya menyetir. Semua bisa kacau.”“Ya. Dan saat ini Bu Anya sudah di jalan,” papar Andini, setelah melihat ponselnya. Satu pesan dari Anya kalau lokasinya saat ini sudah dekat dengan rumah.“Oke, saya ganti baju dulu, kamu sudah siapkan setelan yang saya minta. kan? Jangan lupa baju untuk Prayan juga.”“Sudah, Pak, saya gantung di belakang pintu kamar. Warna
“Keadaan Ibu Anya tidak menguntungkan. Di perutnya pendarahan hebat,” papar dokter. Mendengar hal itu Stefan pasrah.Di ruang tunggu operasi, Andini menerima telepon tidak berhenti. Banyak orang menanyakan keadaan Anya. Berita kecelakaan itu menyebar dengan cepat.“Apakah itu artinya …” Stefan tidak bisa melanjutkan perkataannya. Rasanya sulit sekali bernapas.“Kami dari tim dokter akan berusaha semaksimal mungkin. Saat ini Ibu Anya masih ditangani.”“Tolong, Dok, usahakan yang terbaik untuk istri saya. Saya mohon,” ucap Stefan, suaranya gemetar. Habis akal, bagaimana hidup dia dan anaknya kalau Anya tidak tertolong. Tidak terasa air matanya mengalir.Andini tidak tega melihat Stefan yang harus menerima kenyataan kalau istrinya sekarat di dalam kamar operasi. Wanita itu membelikan Stefan air mineral.“Pak, minum ini dulu,” ucap Andini, sambil menyodorkan botol air mineral.Stefan menerima minuman yang diberikan Andini, meski ragu. “Terima kasih.”Andini dan Stefan diam. Tidak ada yang