“Keadaan Ibu Anya tidak menguntungkan. Di perutnya pendarahan hebat,” papar dokter. Mendengar hal itu Stefan pasrah.
Di ruang tunggu operasi, Andini menerima telepon tidak berhenti. Banyak orang menanyakan keadaan Anya. Berita kecelakaan itu menyebar dengan cepat.
“Apakah itu artinya …” Stefan tidak bisa melanjutkan perkataannya. Rasanya sulit sekali bernapas.
“Kami dari tim dokter akan berusaha semaksimal mungkin. Saat ini Ibu Anya masih ditangani.”
“Tolong, Dok, usahakan yang terbaik untuk istri saya. Saya mohon,” ucap Stefan, suaranya gemetar. Habis akal, bagaimana hidup dia dan anaknya kalau Anya tidak tertolong. Tidak terasa air matanya mengalir.
Andini tidak tega melihat Stefan yang harus menerima kenyataan kalau istrinya sekarat di dalam kamar operasi. Wanita itu membelikan Stefan air mineral.
“Pak, minum ini dulu,” ucap Andini, sambil menyodorkan botol air mineral.
Stefan menerima minuman yang diberikan Andini, meski ragu. “Terima kasih.”
Andini dan Stefan diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan untuk beberapa waktu. Andini lelah menjelaskan keadaan Anya kepada semua orang. Termasuk wartawan, mengapa mereka tahu kabar ini dengan cepat?
Sedangkan Stefan, tidak habis pikir, bagaimana mungkin Anya kecelakaan.
“Din, apa kamu tahu bagaimana keadaan sopir Anya? Dari tadi, saya tidak mendengar kabarnya.”
Andini terkesiap, baru menyadari kalau dirinya sibuk sendiri dengan keadaan Anya. Dia lalu mengambil ponsel yang ada di saku celana, “Saya akan ke bagian administrasi, Pak.”
Andini berjalan cepat ke bagian administrasi, atau ke mana pun, wanita itu juga kebingungan sendiri. Di bagian Instalasi Gawat Darurat pun tidak ada orang yang masuk karena kecelakaan.
“Kami tidak bisa memberikan informasinya, Bu,” kata bagian administrasi.
Andini menghela napas, biasanya dia akan selalu menemukan cara untuk mendapatkan informasi. Apa pun itu. Kali ini, nihil. Dia berjalan lemah keluar dari ruangan administrasi. Tidak bisa memperoleh data pasien, Andini menelepon sopir Anya.
“Lha wong Bu Anya ndak sama saya, Mbak, tadi kata Bu Anya mau setir sendiri,” kata si sopir, Pak Nurdin. “Saya nunggu di perempatan buat jemput. Lha tahu-tahu dapet kabar orangnya kecelekaan.”
“Jadi, bapak baik-baik aja?” tanya Andini khawatir, tangannya gemetar kalau-kalau sopir itu terluka parah.
“Yo, baik-baik aja, Mbak Andini,” jawab Pak Nurdin lagi.
“Oke kalo begitu,” Andini lantas memutus sambungan teleponnya.
Beberapa saat menelusuri koridor dengan pikiran kosong, Andini melihat brankar melintas di depannya. Wajah pasiennya, Andini kenal, meski ada noda darah di sana. Itu adalah Aska, wakil direktur di tempat dia bekerja.
“Apa iya?” Andini membatin, “Aska pulang dengan Bu Anya. Karena selama ini, Bu Anya sering sekali bekerja dengan Pak Aska.”
Apa mungkin? Bukankah Aska sedang tugas di luar kota. Andini menggigit bibirnya kebingungan, kalau Pak Nurdin tidak jemput Bu Anya, lalu siapa yang menjemputnya?
Namun perhatian Andini keburu terpecah ke ponselnya yang berdering. Stefan yang meneleponnya.
Andini langsung ke ruang tunggu kamar operasi. Tempat Stefan menunggu.
Sudah ada dua orang berseragam polisi lengkap ada di dekat Stefan. Lelaki itu menatap Andini, seperti minta pertolongan.
“Andini, kedua polisi ini mau meminta keterangan dari Anya,” ucap Stefan tegas.
“Maaf, tapi Bu Anya sedang menjalani operasi,” kata Andini ragu, dahinya mengerut. “Apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan?”
Salah satu polisi itu mengangguk, “Ada seorang sopir minibus mengaku menabrak mobil yang Bu Anya tumpangi, tapi, kami masih menyelidikinya. Bu Anya terlibat dalam kecelakaan tunggal. Sopir truk ini menabrak mobil Bu Anya karena mengantuk.”
“Apa? Jadi istri saya kecelakaan tunggal?” ulang Stefan, menatap Andini dengan alis yang bertaut. Dia tidak banyak berkata. Namun, tatapannya tajam ke arah Andini ada banyak pertanyaan dalam benaknya.
“Kalau begitu, kami permisi dulu,” pamit si polisi.
Andini menundukkan kepala, dalam hatinya cemas tak karuan. Mengapa ada polisi di sini?
“Di mana Pak Nurdin?” tanya Stefan langsung tanpa basa-basi tatapannya tajam ke arah Andini.
“Dia ada ….” Andini tidak yakin mau berbohong atau berkata jujur kepada Stefan.
“Jangan pernah berbohong kepada saya, Andini. Barusan aspri saya telepon kalau Anya bersama Aska ketika kecelakaan itu terjadi. Apa mereka sering bersama?”
“Mereka hanya membicarakan pekerjaan. Jadi sering bertemu,” jawabnya.
Stefan tersenyum miring, “Kamu naif sekali, Andini. Siapa yang bisa sangka?” lelaki itu berdecak sambil menggeleng-geleng. “Apa yang kamu sembunyikan sebenarnya?”
Andini menggeleng, harusnya dia mengakatakan yang sebenarnya. “Bu Anya memang tidak pulang dengan Pak Nurdin. Tadi saya yang telepon Pak Nurdin, Bu Anya pulang sendirian.”
Jantung Stefan berhenti beberapa detik, matanya menelisik, bertanya, dengan siapa Anya pulang? “Lantas, apa kamu tahu apa yang istri saya lakukan dengan Aska?” cecarnya.
Andini menggeleng. Aska yang dia lihat, ini baru prasangka saja, kan? Lagi pula, belum tentu mereka ada hubungan seperti yang Stefan kira.
“Astaga, berapa lama kamu jadi asistennya? Masa hal seperti ini kamu tidak tahu!?” pekik Stefan, gusar, lalu mengacak rambutnya.”
“Sumpah, Pak, saya tidak tahu.”
Stefan menarik napas, wajahnya merah padam.
Tidak lama seorang dokter keluar dari kamar operasi. Prosedur operasi memang sudah berjalan lebih dari empat jam, ini sudah tengah malam.
“Suami Ibu Anya?” tanya si dokter sambil membuka maskernya.
“Ya,” jawab Stefan. “Bagaimana keadaan istri saya, Dok?”
“Operasinya berhasil, tangan yang patah, dan pendarahan hebat di perut, bisa kami tangani. Karena kehilangan banyak darah, ada kemungkinan Ibu Anya akan kritis selama beberapa jam ke depan. Kami akan terus pantau perkembangannya. Saya permisi dulu.”
Stefan tidak bisa berkata-kata. Apa yang ada di belakang semua kecelakaan ini? Apakah Anya yang melakukan penggelapan. Mata lelaki itu memerhatikan Andini. Apa dia yang berbohong, pura-pura polos dan tidak tahu apa-apa, padahal sebenarnya dia adalah kaki tangan Anya?
Andini lantas mengikuti brankar yang didorong keluar dari kamar operasi. Matanya melirik ke arah Stefan sekilas lalu lirikannya berpindah ke arah Anya yang ada di atas brankar. Ada berbagai macam alat penunjang kehidupan.
Stefan masih membeku melihat brankar itu melewati dirinya.
Selama ini Stefan pastikan kalau segala gerak gerik Anya ada dalam pengawasannya.
Ada teka teki kecelakaan yang belum Stefan tahu. Jadi, dia menghubungi asisten pribadinya.
“Felix, bagaimana? Dengan siapa istri saya pulang tadi?”
“Saya sedang mengamati Aska, wakil dari Bu Anya, dia juga kecelakaan di tempat yang sama, tetapi keadaannya tidak seburuk Bu Anya.”
“Oke, saya tunggu kabar selanjutnya. Kabari saya terus soal kasus ini,” sahut Stefan lalu memutus sambungan telepon. Pikirannya kosong, selama ini dia setia kepada Anya, tidak ada perempuan selain dirinya.
Namun, apakah Anya punya hubungan gelap dengan Aska? Mengapa dia tega.
Satu minggu sejak kecelakaan, Anya belum sadar juga. Dokter menyatakan kalau Anya dalam keadaan koma.Stefan sengaja menempatkan istrinya di ruang perawatan privat. Agar tidak banyak wartawan atau siapa pun yang bisa masuk seenaknya. Ada beberapa penjaga disiapkan kalau-kalau ada penjenguk yang tidak dikenal.Andini selalu ada di ruangan privat itu, kalau pun ada urusan, dia akan meninggalkan pesan dan memastikan ada yang menjaga Anya selain dirinya.Stefan setiap malam menginap menjaga istrinya. “Aku sangat menyesal, Anya bisa seperti ini,” ucap Aska sedih. Ada air mata menetes di sudut matanya. Andini melihatnya dengan jelas.Andini tidak menanggapi apa-apa, wajahnya datar dan dingin menatap Aska. “Apa Pak Aska bersama dengan Bu Anya saat kecelakaan itu?” “Tidak. Kami melanjutkan bicara soal pekerjaan sebelum Anya pulang. Hanya itu. Aku tidak menyangka Anya akan kecelakaan seperti ini. Untungnya si sopir itu sudah menyerahkan diri. Kalau tidak, aku akan sangat merasa bersalah.”
Winata menarik napas, “Baik, saya beri waktu tiga bulan. Kamu bisa lakukan apa pun untuk membuktikan ucapan kamu. Ingat, dalam tiga bulan kamu tidak bisa membuktikan apa pun, kamu akan saya coret dari akta mana pun perusahaan saya. Dan saya tidak ingin melihat wajah kamu lagi. Paham?”Stefan tersenyum lebar. “Paham.”Winata keluar dari ruangan itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdetak keras. Apa tadi? Apa yang menantunya katakan? Dan Winata tanpa tedeng eling menyetujui begitu saja perkataan Stefan.Sementara itu, Stefan langsung sibuk di sambungan telepon. Stefan memang tidak bodoh, ahli dalam menangani perusahaan. Pak Winata mempunya beberapa unit bisnis. Hotel, restoran skala internasional, periklanan yang Anya kelola, ekspor dan impor, Stefan yang menjalani perusahaan itu. Dan hasilnya tidak mengecewakan.Perusahaan itu berkembang pesat dalam jangka waktu lima tahun.“Bagaimana hasilnya, Felix?”“Sejauh ini belum ditemukan ada penggelapan uang. Tapi, ada anggaran yang jauh da
“Andini istri saya yang kedua! Semua yang terlihat adalah jatah untuk uang bulanannya,” papar Stefan dengan lugas. “Sebagai suami yang baik, saya memenuhi permintaannya. Saya harus berbuat adil, kan? Anya bergelimang harta, dan Andini paling tidak, tidak kesusahan.”Perkataan Stefan seperti gaungan, terlontar berulang-ulang di telinga Andini. Apakah hanya dia saja yang mendengarnya? Atau sekarang dia sudah gila? Mata Andini memindai sekelilingnya. Menunggu apa ada orang yang menghakiminya?Namun, semua orang diam.“Jadi, mulai sekarang, Andini akan memimpin perusahaan ini. Saya yang akan mengawasinya langsung. Seharusnya kalian tidak perlu khawatir.”Semua peserta rapat masih kaget dengan pengakuan Stefan. Tidak ada yang menyanggah atau pun memakluminya.Andini yang katanya istri kedua pun, diam seribu bahasa. Tatapannya terasa dingin dan marah kepada Stefan.“Rapat hari ini cukup. Lusa saya mau ada rapat lagi untuk membicarakan projek dan klien yang sedang dikerjakan.”Tidak ada jawa
“Pastikan istri saya jangan tahu dulu tentang pesta ini,” suruh Stefan dengan suara yang berwibawa.Apa yang Stefan tidak miliki di Dunia ini? Istri cantik, anak tampan dan cerdas. Perusahaan besar dalam waktu singkat, semua sempurna. Hari ini Stefan sedang mempersiapkan hari jadi pernikahan yang ke-7. Pesta kejutan ini Stefan siapkan bersama asisen istrina bernama Andini.“Baik, Pak,” sahut Andini—yang sudah bekerja selama lima tahun sebagai asisten istri Stefan, Anya. “Orang tua Bu Anya sudah datang, jadi kita tinggal tunggu Bu Anya.”“Kamu sudah pastikan, ada sopir yang jemput istri saya?” tanya Stefan. “Kamu tahu sendiri kalau Anya menyetir. Semua bisa kacau.”“Ya. Dan saat ini Bu Anya sudah di jalan,” papar Andini, setelah melihat ponselnya. Satu pesan dari Anya kalau lokasinya saat ini sudah dekat dengan rumah.“Oke, saya ganti baju dulu, kamu sudah siapkan setelan yang saya minta. kan? Jangan lupa baju untuk Prayan juga.”“Sudah, Pak, saya gantung di belakang pintu kamar. Warna