Lucas menatap tajam salah seorang pelayan yang gelagapan di depannya. Pelayan itu takut, wajah Lucas seperti siap menerkamnya hidup-hidup."Cepat jawab!" murka Lucas keras hingga Albert yang ada di sampingnya terperanjat.Mendengar keributan di ruang tengah, membuat beberapa pelayan langsung berhambur datang. Tak terkecuali Melly. Melly menelan ludah saat menyadari apa yang menyulut emosi pimpinannya itu. Ia kemudian segera maju di sisi pelayan yang telah dibentak Lucas.Mula-mula Melly membungkukkan badannya dalam. "Maaf, Tuan. Nona Chiara tadi izin untuk pergi ke bank."Bukannya reda, Lucas justru semakin menggeram kesal. Matanya melotot tak percaya, lantas mengangkat ponselnya dengan mulut yang terkatup rapat.Melly mendongak. Cukup terkejut dengan sebuah foto yang tampil di layar ponsel Lucas."Kau bilang apa tadi? Ke bank?!" Lucas menyipitkan mata singkat. "Ini yang kau bilang ke bank?!" berang Lucas marah. Matanya berkilat bagai kobaran api yang meletup-letup.Tampak di layar po
Lucas membuang napasnya kasar. Bertemu dengan pimpinan K Group merupakan salah satu hal yang tak ia sukai selain hujan dan darah. Ia hanya menatap Poppy, kemudian lanjut melahap makanannya.Poppy mengerucutkan bibir. Tidak suka diabaikan oleh orang lain. Sambil memainkan rambut gelombangnya dengan ujung telunjuk, ia menambahkan lagi."Aku harap kau patuh dan menemui ayahku. Itu bukan saran saja, melainkan kewajiban," ungkapnya mencebik.Lucas malas menanggapi. Ia pura-pura tak mendengar wanita itu berceloteh. Begitu juga Albert yang tak mau peduli. Baginya Poppy bukan orang yang asyik untuk diajak bicara. Sangat berbeda jauh dengan Chiara yang ia kenal. Albert terkesiap, Chiara belum muncul juga sampai sekarang. Dimana orang itu? Albert mengernyit samar.Chiara lebih memilih mendekam di dalam kamar meskipun perutnya sedang lapar. Tadi pagi ia mendengar ada suara tamu. Menyaksikannya dari balkon atas dan mendesah malas ketika tahu itu adalah Poppy lagi. Sepertinya mulai sekarang ia har
Seluruh tulang di wajah Lucas langsung menegang. Kini tangannya ikut mencekal kerah kemeja Zyan dan menghentakkannya ke dinding di dekatnya."Jangan sentuh dia!" raung Lucas dengan wajah merah padam. Kedua matanya mendelik tajam membentuk sebuah ancaman.Zyan justru terbahak-bahak. Tiap menyaksikan Lucas marah dan tersiksa adalah momen yang paling menghibur baginya."Kenapa? Kenapa dia begitu berarti untukmu? Apa gadis itu adalah gadis yang sama dengan temanmu yang mati tujuh belas tahun lalu?" Zyan menyeringai, memamerkan barisan giginya yang rapi."Hentikan mulutmu itu! Jangan pernah membahas dia. Apalagi mendekati Chiara!""Wow." Zyan memasang wajah terkejutnya. "Kau jadi membuatku semakin tertantang untuk mendapatkannya, Adikku."Emosi Lucas pun semakin terpatik. Tangannya menarik kerah kemeja Zyan lebih serius, sehingga napasnya dapat secara mudah terdeteksi oleh kakaknya tersebut. Zyan jadi lebih sering tertawa."Sialan! Tutup mulutmu!" Amarah Lucas sudah mencapai puncaknya. Ia
"Kau bercanda?!" Lucas mengalihkan tatapan kepada Chiara yang masih berdiri di dekatnya.Chiara mengangkat kedua bahunya. "Tidak, aku serius. Tinggal kau tanda tangani di bawah sana dan—""Dan apa?!" tohok Lucas langsung setengah geram. Matanya menatap nyalang seakan mengunci tiap gerakan Chiara.Menyaksikan keduanya membuat Albert penasaran dan sedikit mencondongkan tubuh demi mengintip apa yang diberikan Chiara kepada Lucas. Ia cukup terkejut juga begitu membaca kop judul paling atas.[Surat Perjanjian untuk Pemutusan Kontrak.]Chiara menarik napas satu kali, lalu mendesah kesal. Pasalnya Lucas tak segera to the point untuk menandatangani surat tersebut."Tolong, Lucas. Jangan mengulur waktu lagi. Aku tidak suka.""Aku lebih tidak suka lagi kalau kau bersikap gegabah dan seenaknya sendiri!" sembur Lucas tajam. Ia tak habis pikir kenapa wanita itu bersikeras untuk segera mengakhiri kontrak mereka. Padahal ia baru saja memulai permainan yang diajukan kedua orang tuanya.Chiara merengu
Sekilas ada raut wajah tegang di wajah Franklin. Setidaknya Lucas yakin itu.Sebelum dapat menilainya lebih lanjut, Franklin mengembangkan senyumnya lebar lalu menarik Lucas ke dalam pelukannya."Akhirnya kita ketemu juga ya, Lucas," ungkapnya sambil menepuk-nepuk punggungnya. Lucas membalasnya dengan senyum meski pria bermata cokelat itu tak mengetahuinya."Iya. Senang bertemu dengan Anda," sahut Lucas.Mata Franklin sempat melirik Albert di tempatnya, kemudian mengurai peluk dari badan Lucas. Senyumnya kembali mekar sewaktu menatap Albert, lebih tepatnya meneliti pria itu."Oh iya, apakah dia asistenmu? Siapa namamu, Nak?" Franklin mengulurkan tangan untuk Albert. Albert pun menyambutnya dengan segan."Kau benar. Dia memang asisten pribadi saya," celetuk Lucas."Nama saya Albert, Tuan." Albert ikut menimpali.Kemudian ekspresi Franklin berubah menjadi rasa terkejut lain yang lebih membanggakan. Padahal menurutnya Albert tadi sangat mirip dengan orang itu. Ia pikir Albert mungkin saj
Sontak Lucas langsung bangkit berdiri, lantas menuntun langkahnya pergi. Gerakannya yang kacau menimbulkan beberapa perhatian. Tak terkecuali Robert dan Franklin yang sedang berada di meja yang berbeda.Albert kebingungan. Meski begitu ia tetap berdiri dan mengikuti jejak Lucas. Pasti ada sesuatu yang lebih urgent terjadi, batinnya. Mereka berdua berlari keluar di tengah gempuran banyak pasang mata yang berspekulasi di pikiran masing-masing.Lucas menggiring kakinya cepat lalu masuk ke dalam jok penumpang depan. Albert mengekor dan melakukan hal yang sama di jok pengemudi. Sambil tangannya tangkas melajukan mobil, Albert menoleh sekilas dan hendak bertanya. Namun Lucas menyahutnya lebih dulu."Kita ke mansion dulu, Albert. Chiara pingsan," ungkapnya cemas. Albert terkesiap, kemudian mempercepat laju mobilnya.Mobil Lucas berderum kencang memecah barisan kendaraan di depannya. Albert mengemudikan dengan kencang sambil menyalip sejumlah kendaraan di hadapan mereka.Setiba di mansion, Lu
"Lala…" Suara rendah Lucas semakin mengalun jelas di indra pendengar Chiara.Alis Chiara tertaut sempurna. Lantas rasa bahagia barusan berubah cepat menjadi dongkol. Chiara membuang muka kecewa. Ternyata apa yang dikatakan suara hatinya benar. Selama ini pria itu hanya memperlakukan dirinya baik karena wajahnya mirip Lala.Chiara membuang napas kasar. Lagi-lagi soal Lala!Lucas kemudian terbangun. Wajahnya kini pucat pasi. Tak terasa air matanya sudah merembes. Melihat Chiara sudah membuka mata membuat Lucas segera mengenyahkan jejak air mata dari pipinya. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. Mimpi yang sama berulang-ulang selama tujuh belas tahun terakhir."Sejak kapan kau bangun?" desah Lucas kepada Chiara yang menekuk wajahnya. Chiara tak bisa menahan kekesalannya kepada pria itu. Bahkan telah menumpuk."Sejak kau menyebut nama Lala lagi," ketusnya.Lucas hanya menghela napas panjang. Ia tak ingin membahas Lala bersama Chiara sekarang. Terlebih setelah melihat wajah wanita itu kusut."
Pria paruh baya di depannya terhenyak. Kedua mata yang mulai disambangi keriput memandang Robert dengan tatapan penuh keraguan. Ia jadi teringat mengenai perbuatan yang sama dilakukan oleh sosok pimpinan perusahaan lain dua puluh tahun lalu kepada sebuah keluarga kecil yang harmonis."Bagaimana?" desak Robert lagi memastikan.Sang dokter menunduk, kemudian mengeluarkan semua unek-uneknya. "Maaf, Tuan, terakhir kali ada orang yang menyuruh saya. Saya selalu dihantui perasaan bersalah mengenai korbannya itu."Robert tertawa keras. Bahkan sampai matanya berkaca-kaca."Isaac. Korbanmu itu sudah mati sekarang. Apalagi yang perlu kau takutkan, huh?"Si dokter mulai mengangkat kepala. Menatap Robert dengan keheranan. Apa yang lucu dari masa lalu itu? Sekali-kali ia tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Padahal keluarga itu terkenal baik, dermawan. Sangat berbeda jauh dengan keluarga Knight."Maaf, Tuan. Saya tidak bisa," tegasnya kemudian.Ada kerutan halus di dahi Robert sekilas