"Rey, kita mau kemana, sih?"Megan kesusahan mengikuti langkah cepat Riley, menyusuri pelataran parkir. Terpaan angin, mengacak anak-anak rambut hingga menghalangi pandangannya."Ikut aja, Sayang," balas Riley.Seorang pria paruh baya berlari untuk menghampiri Riley."Selamat siang, Tuan Riley," sapanya."Siang, Ben. Apa permintaan saya sudah disiapkan?""Ya, Tuan. Semua sudah siap," sahut pria paruh baya berkebangsaan Italia itu terbata. "Kapten dan para narkoda menunggu anda dermaga kedua, Tuan. Di tempat biasa.""Kita segera berangkat.""Ba—baik, Tuan." Ben melirik takut sosok wanita asing disamping bosnya."Ini istriku, namanya Megan Charles," jelas Riley begitu sadar dengan perhatian yang ditunjukkan Ben pada Megan."Oh, maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bermaksud untuk—""Nanti kita bicarakan lagi," potong Riley tak sabar. Ia kembali menyeret Megan untuk ikut bersamanya."Baik, Tuan." Ben segera menarik diri, dengan sigap mengikuti langkah cepat Riley.Megan hanya bisa tersenyum
Cahaya rembulan mengintip malu-malu dari celah awan yang melapisi kelamnya langit malam ini. Pantulan cahaya merambat tegak lurus, memberi efek warna keemasan di atas permukaan air. Menambah aura romantis bagi pasangan pengantin baru yang tengah memadu kasih di bawah naungan sang rembulan."Hmm. Rey." Megan menepuk keras dada Riley, meminta jeda untuk bernapas. Namun, pria itu tak bergeming, dia semakin memperkuat tekanan di tekuk Megan, enggan untuk mengurai jarak."Rey!" Jerit Megan sambil mengigit cukup keras bibir yang melapisi miliknya. "Aku hampir mati kehabisan napas," keluhnya.Riley terkekeh pelan. "Itu tidak akan terjadi, Sayang. Aku sedang memberimu CPR."Megan berdecak sebal. Ia tahu, Riley tengah menggodanya."Sepertinya kamu punya hobi baru," sindir Megan."Oh ya, apa itu?" balas Riley. Berpura-pura polos."Mengangguku!""Benarkah?" Riley memasang wajah serius. "Bahkan aku belum melakukan setengah dari maksud 'menganggu' yang kamu katakan," ujarnya."Rey, ah ..."Megan
"Nih, minum." Baron meletakkan tiga kaleng di depan orang-orang yang duduk melingkari meja di depan supermarket. "Thank," balas Allen.Baron mengangguk kecil lalu mencampakkan punggungnya ke satu kursi yang tersisa."Sudah sadar? Sekarang katakan, apa yang membuatmu memgila seperti ini?"Nesa menggeleng, melarang Baron untuk memaksa pria malang yang tengah merapatkan kepalanya ke atas meja."Ini tidak adil!" Sergah Baron. "Paling tidak, kita harus tahu masalahnya agar dapat menolong."Allen menepuk pelan pundak barista itu, memintanya untuk lebih tenang dan sabar."Beri Zian waktu, mungkin masih sulit bag—""Rika dinikahkan dengan pria lain," lirih Zian."Hah?"Zian mengangkat kepalanya—menegakkan tubuh ke sandaran kursi. "Mama Rika, ingin putrinya menikah dengan pria pilihannya," tuturnya."Rika setujui?" Serobot Nesa penasaran.Zian menggoyangkan bahunya. "Aku nggak tahu, dia belum memberi keputusan apapun.""Menurutmu?" Baron melipat tangannya di depan dada. "Bukankah sudah waktu
"Sialan, berat banget." Baron menghempas tubuh Zian di atas ranjang. Membiarkan tubuh itu jatuh dalam posisi telungkup. Ia menghela napas panjang sekalian menyeka bulir keringat di keningnya."Harusnya ku tinggal aja di tempat karaoke," desisnya kesal."Baron, bantuin!"Teriakan dari lantai utama membuat Baron mengacak rambutnya frustasi."Bentar," balasnya. Ia membentang selimut hingga menutupi tubuh Zian dan berbalik, keluar dari kamar."Apa yang harus kita lakukan dengan dua orang ini?"Daniel mengaruk kepalanya melihat Allen dan Nesa yang masih terkapar di atas sofa panjang."Bawa Nesa ke kamar Megan. Kalau Allen, hmm—""Kita buang aja keluar," celetuk Baron asal.Daniel terkekeh geli. "Kamu masih punya energi untuk bercanda?""Hah." Baron menghela napas panjang sembari mencampakkan tubuhnya ke sofa dan memejamkan mata."Kenapa mereka harus bertingkah bersamaan," keluhnya.Gerakan tangan di pundaknya membuat Baron tersentak kaget."Pundakmu tegang banget," ujar Daniel sambil mema
"Sayang, bisakah kamu menjaga jarak dari pria bernama Daniel?"Megan menautkan kedua alisnya. "Daniel? Kenapa?" tanyanya sambil mengunyah hotdog di tangannya.Riley mendesis gemas. "Pelan-pelan, bahaya keselek," ujarnya sambil menyeka mayonaise di sudut bibir Megan lalu mengecap sisa krim di jarinya."Kenapa?""Emm. Aku hanya merasa bocah itu punya maksud terselubung. Dia selalu menatap mu."Megan membulatkan matanya dengan pipi yang menggelembung. Rambut sebahunya terurai, dihempas angin yang masuk melalui jendela mobil yang terbuka."Tuhan!" Erang Riley sambil menekan tombol untuk menaikkan kaca. "Uhm, Rey!" Jerit Megan karena Riley meraup bibinya cepat. Menjilati setiap sudut sembari menggigit bagian yang menebal."Berhenti membuatku gila, Sayang!" Desah Riley di tengah napas yang memburu."Rey, tenangkan dirimu. Kita lagi di luar," desis Megan panik. Ia menjauhkan diri, memalingkan wajahnya untuk melihat kondisi di luar. Berharap tak ada satupun orang yang berada di sekitar mobi
"Mama?!" Daniel membulatkan matanya begitu melihat wanita dengan paras ayu dan tubuh sintal, meski di umurnya yang sudah cukup matang—membuka dan melewati pintu masuk."Oh, kamu masih mengenal wajah Mamamu?" Sindir Yasmen.Daniel memaksa sebait senyum. Ia paham betul tabiat Mamanya yang melempar sindiran tajam setiap kali kesal dengan tingkah putranya.Ia bergegas menghampiri Yasmen. "Mama, ngapain disini?" Daniel melirik dua orang yang mendampingi Yasmen, mengirimkan tatapan mengancam. Membuat keduanya meringis, serba salah."Tentu saja untuk menemuimu dan—" Yasmen melirik wajah-wajah asing di dalam ruangan. "Teman-temanmu.""Mama dengar, kamu menjenguk teman yang sakit?"Yasmen mengurai senyum ramah, menyapa orang-orang yang tengah menatapnya."Ah ya." Daniel mengaruk kepalanya lalu buru-buru menarik lengan Baron untuk berdiri disampingnya. "Ini, Baron," ujar Daniel untuk membuka sesi perkenalan."Halo, Baron." Balas Yasmen. Namun Baron tak bergeming. Pemuda itu hanya menatapnya d
"Meg, gimana kalau kita bulan madu ke Paris?""Hmm." Megan mengumam sambil berpikir. "Entahlah.""Kamu tidak suka?" Riley mengeratkan rangkulan di pinggang Megan saat beberapa pasang mata menatap istrinya penuh minat. Ia menarik Megan untuk lebih dekat, membuat posisinya nyaris masuk dalam pelukan."Aku sudah beberapa kali mengunjungi Paris."Riley mengangguk paham. "Lalu? Kamu punya ide lain?""Gimana kalau Sicily? Sudah lama aku ingin ke sana," cetus Megan."Itali?"Ya." Angguk Megan penuh semangat. "Aku ingin mengunjungi kota Palermo.""Baiklah. Kamu boleh memilih kemanapun yang kamu mau, nanti aku akan meminta Irene mengatur jadwal kita.""Irene?" Nada suara Megan turun ketika mendengar nama sekretaris baru itu disebut."Kenapa harus dia?" Gumamnya."Untunglah bocah itu pergi.""Hmm, siapa?" Megan mengikuti arah pandangan suaminya."Oh, Daniel." ujar Megan gusar. Ia tidak ingin Riley kembali mengangkat emosinya. "Tapi, siapa itu?""Siapa?" Riley yang mengalihkan perhatian kembali
"Apa Papa tahu Mama pergi dari rumah?"Daniel meletakkan minuman kaleng yang telah ia hangatkan di depan Yasmen lalu duduk di kursi rotan yang berhadapan langsung dengan sofa panjang dimana Mamanya duduk santai sambil membalik halaman majalah fashion edisi terbaru Minggu ini."Tentu saja. Mana mungkin Papa mu melepaskan Mama pergi tanpa izin," sanggah Yasmen tanpa berkedip."Baguslah. Aku hanya tidak ingin Mama dan Papa bertengkar hanya karena masalah ini."Yasmen mendengus sebal. "Kalian ini, anak sama bapak sama aja. Selalu mengekang Mama untuk tinggal di rumah dan tidak melakukan apapun," keluhnya."Papa hanya tidak ingin Mama terluka. Apalagi di masa kampanye seperti ini, lawan akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan Papa untuk mengincar suara terbanyak, salah satunya dengan menyakiti orang-orang terdekat," tutur Daniel mengingatkan.Ia memaklumi keluh kesah Ibunya namun tak bisa berbuat apapun. Papa sangat protektif pada istrinya begitupula dirinya yang tidak ingin Mama menj