“Aku harus bagaimana lagi, Bu? Sudahlah, ini jalan yang terbaik. Di antara Iyan atau Rani yang akan memberikan ginjal pada Aira. Itu pun kalau ibu masih menginginkan cucu ibu sembuh.” Kataku sewot, sembari berdiri dan melangkah masuk ke kamar.
“Coba sekali lagi kamu ke rumah Nia untuk—”
“Untuk bunuh diri, Bu? Biar aku dibunuh sama suami Nia? Kalau begitu, coba saja Ibu yang ke sana. Aku capek jadi boneka. Giliran aku pusing gak punya uang, semua kupikirkan sendiri.” Tidak ingin debat berlama-lama, kututup pintu kamar dengan suara keras. Biar ibu paham.
Kubaringkan tubuh lelah di atas kasur. Entah mengapa, semenjak kutahu Nia menikah dengan Pak Irsya, hati begitu kosong. Terlebih, saat sendiri seperti seperti sekarang. Bayangan perilaku di masa lalu terekam jelas dalam otak.
Kumiringkan tubuh, menatap sisi kosong di sampingku. Dulu, aku pernah mengisi malam penuh gairah dengan ibu dari Dinta dan Danis. Kini,
“Maafkan aku, Bu. Pikiranku sedang kacau. Tapi, demi apa pun juga, tolong, jangan bawa-bawa mereka ke dalam masalah kita.”“Kamu terlihat berbeda setelah balik dari rumah Nia. Apa jangan-jangan, kamu kena guna-guna?” selidik ibu penuh kewaspadaan.“Nia sudah tidak peduli dengan aku, Bu. Buat apa dia mengguna-guna? Apa yang ingin Nia dapat dari lelaki miskin sepertiku?” Kupelankan intonasi bicaraku, berharap wanita yang telah melahirkanku itu sedikit tersadar dengan apa yang dipikirkan selama ini. “Bu, kenapa Ibu masih bawa-bawa Nia ke dalam masalah kita? Aku dan Nia sudah selesai. Bahkan, dia tidak ingin lagi berurusan dengan keluarga ini.”“Ibu tidak akan pernah memaafkan Nia, Gam. Karena dia, keluarga kita seperti ini. Kamu kehilangan pangkat, karena dia. Kamu menjadi lelaki yang tidak beruang, itu semua Nia yang menyebabkan. Dan kini, Iyan serta Rani terancam mendonorkan ginjal pada Aira. Itu semua k
Mendengar bapak berbicara dengan Lik Mimin, entah mengapa, firasat ini mengatakan bahwa hal ini akan menimbulkan masalah baru di keluarga kami.“Kalau timbul masalah, aku tidak mau ikut-ikutan lho, Pak.” Aku berkata sambil meminta gawai pada bapak.“Kamu tenang saja. Niat bapak ini nbaik. Seharusnya, Mimin berterima kasih sama bapak.”Tidak kujawab ucapan bapak barusan. Aku memilih menjahit kembali.***Iyan, Rani, serta Aira pulang saat hampir zuhur. Wajah tegang tegambar jelas dari pasangan suami istri itu.“Bagaimana hasil pemeriksaannya, Yan? Sudah keluar ginjal siapa yang cocok?” Aku memulai pembicaraan, ketika kami beristirahat di ruang makan yang bersebelahan dengan balai tempat menjahit.“Sudah, Mas. Punyaku yang lebih cocok untuk Aira,” jawab Iyan, terlihat lemas. “Mas, gimana dengan masalah biaya?”“Tidak cukup kalau pakai uang Rani?” tanyaku mema
“Mas .... Eh, Mbak. Maaf, jangan ganggu saya. Saya ini orang yang sedang tidak bahagia. Tolong, jangan tambah penderitaan dalam hidup saya,” pintaku, memohon sambil duduk. Berharap, manusia tidak jelas itu iba.“Makanya, kalau tidak bahagia, ayo madam bikin seneng.”Muka tidak berbentuk begitu minta dipanggil madam?“Saya sedang ingin menikmati kesedihan, Mas. Eh, Mbak. Maksud saja, Madam.”Makhluk jadi-jadian itu semakin mendekat dan mulai mengelus tubuhku yang sudah berdiri.“Tolong! Tolong!” Aku berteriak, berharap beberapa pedagang yang berada agak jauh dari sini mendengar teriakanku.“Diem kamu! Kalau berteriak, aku seret dan per*o*a kamu di semak-semak. Atau kalau tidak, aku ceburin kamu ke laut!”Mulutku dibekap menggunakan tangan kekarnya. Suaranya berubah menjadi laki-laki galak. Tubuh ini bergidik ngeri. Meskipun sempat berniat bunuh diri, tapi aku jadi takut saat m
NIAKami pergi ke suatu mal untuk menuruti keinginan anak-anak bermain. Ada yang berbeda dari Pak Irsya. Selama kami duduk berdampingan, pria itu tidak pernah mengajak ngobrol. Dirinya hanya berbincang dengan anak-anak. Sesekali, mereka tertawa bersama dan akan mengalihkan pembicaraan bila diriku ikut bergabung dalam candaan.Beberapa kali kulirik pria yang baru tadi malam mengucapkan ijab kabul padaku. Namun, lelaki di balik kemudi itu sama sekali tidak mengindahkan keberadaan istrinya. Aku merasa sedang tidak diacuhkan. Dan keadaan itu berlangsung sampai kami sampai di tempat parkir.“Kakak, Adik, turunnya hati-hati. Tunggu papa bukain pintu.” Pak Irsya berujar sambil membuka pintu lalu turun, masih dengan tidak memedulikan keberadaanku.Kenapa tiba-tiba berubah? Apa yang salah dengan diri ini?Bila Pak Irsya marah karena sesuatu hal, seharusnya anak-anak masih menganggapku ada. Namun, yang terjadi, aku sama sekali tidak disapa. Aku l
Keluar dari kamar, kulihat Pak Irsya sedang memainkan gawainya. Beliau sempat melirik padaku, yang sudah berubah penampilan dengan wajah sedikit terpoles. Kubaringkan tubuh ini di atas suamiku yang tidur terlentang. Wajah kami sudah sangat dekat sekarang.“Maaf sudah membuat Mas marah. Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi,” ucapku lirih.“Aku takut kamu akan berpaling pada Agam kembali. Bagaimanapun, dia adalah ayah kandung Dinta dan Danis, juga mantan suami kamu. Aku sudah menunggu lama untuk memiliki kalian. Dari sorot matanya, terlihat sekali kalau Agam masih menginginkanmu,” ujarnya sambil memainkan anak rambut yang keluar dari ikatan.“Dia hanya masa laluku. Jangan pernah berpikir seperti itu, ya? Aku memang selalu memiliki rasa kasihan terhadap siapa saja yang dalam keadaan susah, tapi tidak untuk kembali jatuh pada kesalahan yang sama. Dan aku sudah menegaskan padanya untuk tidak kembali lagi ke rumah ini. Percayalah, hat
“Mas Seno pindah kerja, Gam. HP-nya rusak, makanya susah dihubungi. Dia juga minta mbak buat menjual kebun, katanya mau investasi beli kebun sawit di sana. Saat ini, ada seseorang yang butuh uang secepatnya. Kamu bisa bantu carikan yang mau beli secepatnya, kan, Gam?” Dengan penuh semangat, anak sulung bapak bercerita.“Mbak, sudah memikirkan semuanya? Mbak percaya sama Mas Seno?” Entah kenapa, aku merasa tidak yakin dengan apa yang disampaikan kakak iparku.“Sudahlah, Gam. Percaya saja sama Masmu. Dia gak pernah neko-neko, kan? Yang dijual juga miliknya sendiri.” Mbak Eka bersikeras. “Kalau nanti memang kebun sawitnya maju, kamu bisa menyusul ke sana buat kerja kalau liburan.”“Mau dijual semua, Mbak?” tanyaku untuk memastikan.“Iya, Mas Seno butuh uang tiga ratus juta.”“Ya sudah, minta sama bapak saja, Mbak. Aku tidak tahu caranya.” Secara halus aku menolak permi
Sebelum resepsi pernikahan resmi dilangsungkan, Mas Irsya berangkat ke sekolah dari rumahku. Sesekali, kami bertiga diajak menginap di rumahnya yang besar.Suatu sore yang cerah, saat di rumahnya, kami duduk di teras berdua. Dinta dan Danis memilih tinggal di rumah bersama mbahnya.“Nia,” panggil lelaki yang sudah sah menjadi suamiku.“Hm?” gumamku, sebagai jawaban.“Besok, orang tuaku datang ke sini. Aku akan memperkenalkan kamu pada keluarga besarku yang datang. Jadi, kita menginap di sini, ya? Besok pagi, aku suruh Doni jemput Dinta dan Danis.”“Iya. Terserah Mas saja.” Bibir ini mulai terbiasa memanggilnya dengan sebutan mas.“Nia,” panggilnya lagi.Kali ini aku hanya menoleh tanpa menyahut. Menarik bibir ke samping untuk menunjukkan bahwa diriku masih memperhatikan apa yang akan disampaikannya.“Kenapa kamu tidak pernah bertanya tentang latar belakangku?&rdq
Bahagia akan datang pada di yang tepat. Seperti saat ini, hari-hariku selalu diisi dengan kebahagiaan dengan pria yang selalu memperlakukanku penuh cinta. Mengisi malam-malam indah dengan penuh kesyahduan. Setiap sorot mata yang dipancarkan Mas Irsya, selalu terlihat cinta untukku di sana.Terkadang, kita dipertemukan dengan orang salah supaya bisa mengerti betapa berharganya sosok yang baik untuk hidup kita di masa yang akan datang. Tentu, Mas Irsya bukan seseorang tanpa cela. Karena sejatinya, tiada manusia yang sempurna. Sikapnya posesif dan cemburuan. Namun, entah mengapa, aku selalu bahagia bila dirinya seperti itu. Seakan, lelaki itu begitu takut kehilanganku. Aku merasa diriku begitu berharga untuknya.***Esok harinya, keluarga besar Mas Irsya benar-benar datang ke rumah. Hanya dua mobil. Mas Irsya melarangku melakukan persiapan untuk mereka. Dengan alasan, aku ratu di rumah ini bukan pembantu. Jadi, untuk jamuan, semuanya diurus oleh tukang masak