"Asih!" pintu langsung saja terbuka, Asih dan Nilam pun dengan refleks melihat kearah pintu.Senyuman di bibir Asih menghilang begitu saja saat melihat wajah yang muncul di depan matanya.Sandi.Sandi yang tiba-tiba muncul, bahkan memasuki ruang pribadi yang seharusnya tak bisa dimasuki oleh sembarang orang.Yang hanya masuk yaitu orang-orang yang sudah benar-benar diijinkan, ataupun karyawan yang memang sudah di panggil ke sana.Dan Sandi tidak termasuk diijinkan untuk masuk, tetapi mengapa masuk ke ruangan itu."Kamu?" tanya Asih sambil berdiri dari duduknya."Nilam, permisi, Mbak.""Jangan pergi, tetap di sini!"Asih dengan cepat menahan Nilam, sebab dia tak mau hanya berdua saja dengan Sandi.Dia sadar sudah memiliki seorang suami, bahkan sedang mengandung juga.Tidak ingin membuat Barra kecewa, meskipun pria itu tidak tahu sama sekali keadaan saat ini."Asih, aku ingin bicara dengan mu. Kita bicara berdua saja," pinta Sandi dengan penuh harapan.Apa yang sebenarnya diinginkan ole
Asih masih saja menatap layar ponselnya terus-menerus, dimana masih tampak menyala dan itu adalah panggilan dari Barra.Hingga akhirnya panggilan pun terputus dan Asih pun mengusap wajahnya yang begitu basah karena air mata.Sejenak dia berpikir dengan perlakuan Barra padanya beberapa waktu kebelakang, rasanya perlakuan suaminya itu begitu hangat tanpa ada yang berbeda.Apakah itu semua karena ada maksud tertentu?Entahlah, Asih begitu pusing memikirkan hal seperti ini.Ini sangat membuatnya menjadi tidak bisa berpikir dengan jernih.Hingga sebuah pesan pun di terimanya, awalnya dia berpikir itu adalah Barra.Akan tetapi ternyata bukan, karena yang mengirimkan pesan justru seseorang yang baru saja menemuinya.Entah mengapa jari-jari Asih pun bergerak untuk membukanya.Mungkin dia penasaran atau hanya sekedar ingin tahu saja.[Aku masih menunggumu, sampai kapan pun. Pikirkan yang aku katakan tadi, jangan sampai kau tersakiti] Sandi.Asih pun menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, d
Akhirnya Asih pun dapat bernapas dengan sedikit lega, karena Nia menjawab panggilan tersebut.Hingga tanpa menunggu Nia bersuara sekalipun Asih sudah terlebih dahulu berbicara."Nia, aku mau kamu kasih tau resepsionis ini di mana, ruangan, Barra," kata Asih sambil melihat wanita di hadapannya itu dengan penuh kemarahan.Sebenarnya itu hanya sebagai dari alasan saja, karena yang penyebab sebenarnya adalah Sandi.Semuanya harus diselesaikan, begitu juga saat ini.Jika tidak, maka dia bisa mati berdiri karena memikirkan sesuatu hal yang sangat menguras pikirannya."Maksudnya, gimana?" tanya Nia yang sepertinya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Asih.Bagaimana dia akan mengerti, belum juga menjelaskan secara baik-baik sudah terkesan seperti sedang buru-buru tanpa arah dan tujuan yang jelas.Sedangkan Nia juga sedang tidak enak badan, jadi dia harus mendengar penjelasan perlahan sebelum mengetahui maksud Asih saat ini."Tolong katakan padanya, aku ingin bertemu, Barra," kata As
"Mohon maaf, rapat kita selesai untuk hari ini," Barra pun langsung saja bangkit dari duduknya, sedangkan Asih mengikut dirinya dari belakang.Perasaan Asih saat ini kacau, antara takut namun juga butuh sebuah pembuktian.Sudahlah, jangan terlalu banyak menimbang. Bagaimana pun juga dia butuh sebuah pembuktian untuk semuanya.Sampai akhirnya Barra pun masuk ke dalam ruangannya, sedangkan Asih pun masih saja mengikutinya.Barra pun berbalik badan dan melihat Asih yang kini berdiri di depan daun pintu yang sudah tertutup rapat.Lagi-lagi Asih hanya diam saja, tampaknya ada perasaan bersalah di dirinya.Dia sadar ini bukan dirinya, bersikap semaunya terhadap Barra sudah cukup lama dia tinggalkan.Tidak, Asih tak boleh lemah!"Mas, aku mau jalan-jalan!" kata Asih tanpa ingin di bantah sama sekali."Kemana?" tanya Barra.Sepertinya pria itu tidak banyak bertanya kepada Asih tentang keanehan Asih saat ini, mungkin dia juga berusaha untuk mengerti dengan kehamilan yang membuat suasana hati i
Satu jam berlalu, Asih masih saja terlelap di sana. Hingga akhirnya dia pun terbangun dan segera duduk."Aku ketiduran?" tanya Asih."Kamu lelap sekali, aku tidak tega membangunkannya," jawab Barra.Tidak tega?Wah, apakah itu sebuah perhatian seorang suami terhadap istrinya?Perhatian yang membuatnya menjadi merasa di cintai?Cinta?Tidak, dia belum mendengarkan pengakuan itu dari mulut Barra, sehingga dia masih harus dalam keadaan yang seperti ini.Marah tidak jelas dan berusaha untuk membuat Barra mau mengakuinya secara langsung."Apa kamu kelelahan?" tanya Barra sambil merapikan rambut Asih yang sedikit berantakan.Ampun!Asih ingin sekali menangis, dia tak kuasa benar-benar tidak kuasa.Tahan Asih, misi mu belum selesai. Ini demi masa depan mu.Batin Asih pun kembali berbicara."Mas, aku mau pulang. Kita pulang ke rumah, Bunda, aja," ujar Asih."Rumah, Bunda?""Iya.""Tapi, Mas masih harus bertemu dengan Tuan Dion."Asih pun mengerucutkan bibirnya, dia kesal karena Barra tak mau
Barra melihat wajah Asih yang kini terlelap di sampingnya, wanita itu sangat kelelahan setelah selesai dengan semua godaan yang di berikan pada Barra tentunya.Semuanya tentu akan sangat membingungkan, bagaimana tidak?Barusan Asih bersikap sangat aneh dan itu diluar akal sehat.Penyebabnya apa?Entahlah, Barra tak tahu sama sekali. Namun, dia pun tak bisa menutupi perasaannya yang sangat senang dengan itu semua.Bahkan bibirnya sampai menyunggingkan senyuman tanpa hentinya saat kembali mengingat Asih hanya dengan memakai lingerie dan menggoda dirinya dengan begitu sexy.Sebagaimana seorang pria normal, tentunya dia akan sangat mudah merespon itu semua.Apa lagi yang membuatnya menjadi panas dingin adalah istrinya sendiri.Akhirnya dia pun mengusap rambut Asih, kemudian mengecup kening istrinya tersebut.Sejenak Barra kembali menatap dengan jarak yang begitu dekat, menatap dengan lekat dengan tatapan mata yang penuh dengan cinta.Cinta?Benarkah demikian?ya itu benar.Meskipun tidak
"Selesai makan, kamu langsung tidur. Kalau ada yang di butuhkan, Bunda yang akan membantumu," ujar Tias bersamaan dengan sendokan terakhir yang dia arahkan pada mulut Asih, artinya makan pun selesai.Kemudian Tias memberikan piring di tangannya pada Barra.Barra tentu saja bingung dengan apa yang dilakukan oleh Bundanya, dia bahkan tidak lantas mengambil alih piringnya, yang ada hanya melihat dengan penuh tanya.Dia bingung dengan sikap Tias, mengapa pula memberikan piring kotor padanya."Kenapa diam? Ambil, kemudian antar ke dapur," Tias pun memperjelas maksudnya agar Barra tidak hanya melihat piring di tangannya dan tampak wajahnya yang bingung."Barra?" tanya Barra yang belum percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Bundanya.Lihat saja wajah pria itu, masih saja bingung dengan maksud Bundanya. Padahal sudah demikian diperjelas oleh Tias."Iya, nama kamu, Barra, 'kan?" tanya Tias.Barra pun mengangguk lemah saat mendengar pertanyaan dari Tias dengan wajah bingungnya, hingga akhirn
"Ya, ampun. Hampir saja wajahku yang terkena daun pintu," gumam Barra yang penuh dengan kekesalan.Dia benar-benar merasa diperlakukan layaknya orang asing oleh wanita yang sangat menyayanginya dan melahirkannya itu dalam sekejap saja.Dan itu semua karena kehadiran Asih, di tambah dengan calon anaknya."Baru di perut Ibunya saja sudah berhasil menggeser posisi ku, apa lagi setelah lahir nanti?" Barra pun bergumam sambil mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring.Dia sibuk memikirkan sesuatu hal yang kini sangat berubah drastis, yaitu posisinya yang benar-benar sudah bergeser dari anak kesayangan, berubah seakan menjadi anak tiri.Tapi ada hal yang membuatnya menjadi lebih penasaran, yaitu sikap Asih dan keanehan yang terjadi pada wanita tersebut.Dia pun mengambil ponselnya dan mencoba untuk mencari tahu penyebab perubahan sikap Asih yang sangat drastis itu.Hingga mendadak dia pun mendudukkan tubuhnya kembali setelah mengetahui bahwa Sandi menemui Asih di toko.Barra pun berpi