Satu jam berlalu, Asih masih saja terlelap di sana. Hingga akhirnya dia pun terbangun dan segera duduk."Aku ketiduran?" tanya Asih."Kamu lelap sekali, aku tidak tega membangunkannya," jawab Barra.Tidak tega?Wah, apakah itu sebuah perhatian seorang suami terhadap istrinya?Perhatian yang membuatnya menjadi merasa di cintai?Cinta?Tidak, dia belum mendengarkan pengakuan itu dari mulut Barra, sehingga dia masih harus dalam keadaan yang seperti ini.Marah tidak jelas dan berusaha untuk membuat Barra mau mengakuinya secara langsung."Apa kamu kelelahan?" tanya Barra sambil merapikan rambut Asih yang sedikit berantakan.Ampun!Asih ingin sekali menangis, dia tak kuasa benar-benar tidak kuasa.Tahan Asih, misi mu belum selesai. Ini demi masa depan mu.Batin Asih pun kembali berbicara."Mas, aku mau pulang. Kita pulang ke rumah, Bunda, aja," ujar Asih."Rumah, Bunda?""Iya.""Tapi, Mas masih harus bertemu dengan Tuan Dion."Asih pun mengerucutkan bibirnya, dia kesal karena Barra tak mau
Barra melihat wajah Asih yang kini terlelap di sampingnya, wanita itu sangat kelelahan setelah selesai dengan semua godaan yang di berikan pada Barra tentunya.Semuanya tentu akan sangat membingungkan, bagaimana tidak?Barusan Asih bersikap sangat aneh dan itu diluar akal sehat.Penyebabnya apa?Entahlah, Barra tak tahu sama sekali. Namun, dia pun tak bisa menutupi perasaannya yang sangat senang dengan itu semua.Bahkan bibirnya sampai menyunggingkan senyuman tanpa hentinya saat kembali mengingat Asih hanya dengan memakai lingerie dan menggoda dirinya dengan begitu sexy.Sebagaimana seorang pria normal, tentunya dia akan sangat mudah merespon itu semua.Apa lagi yang membuatnya menjadi panas dingin adalah istrinya sendiri.Akhirnya dia pun mengusap rambut Asih, kemudian mengecup kening istrinya tersebut.Sejenak Barra kembali menatap dengan jarak yang begitu dekat, menatap dengan lekat dengan tatapan mata yang penuh dengan cinta.Cinta?Benarkah demikian?ya itu benar.Meskipun tidak
"Selesai makan, kamu langsung tidur. Kalau ada yang di butuhkan, Bunda yang akan membantumu," ujar Tias bersamaan dengan sendokan terakhir yang dia arahkan pada mulut Asih, artinya makan pun selesai.Kemudian Tias memberikan piring di tangannya pada Barra.Barra tentu saja bingung dengan apa yang dilakukan oleh Bundanya, dia bahkan tidak lantas mengambil alih piringnya, yang ada hanya melihat dengan penuh tanya.Dia bingung dengan sikap Tias, mengapa pula memberikan piring kotor padanya."Kenapa diam? Ambil, kemudian antar ke dapur," Tias pun memperjelas maksudnya agar Barra tidak hanya melihat piring di tangannya dan tampak wajahnya yang bingung."Barra?" tanya Barra yang belum percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Bundanya.Lihat saja wajah pria itu, masih saja bingung dengan maksud Bundanya. Padahal sudah demikian diperjelas oleh Tias."Iya, nama kamu, Barra, 'kan?" tanya Tias.Barra pun mengangguk lemah saat mendengar pertanyaan dari Tias dengan wajah bingungnya, hingga akhirn
"Ya, ampun. Hampir saja wajahku yang terkena daun pintu," gumam Barra yang penuh dengan kekesalan.Dia benar-benar merasa diperlakukan layaknya orang asing oleh wanita yang sangat menyayanginya dan melahirkannya itu dalam sekejap saja.Dan itu semua karena kehadiran Asih, di tambah dengan calon anaknya."Baru di perut Ibunya saja sudah berhasil menggeser posisi ku, apa lagi setelah lahir nanti?" Barra pun bergumam sambil mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring.Dia sibuk memikirkan sesuatu hal yang kini sangat berubah drastis, yaitu posisinya yang benar-benar sudah bergeser dari anak kesayangan, berubah seakan menjadi anak tiri.Tapi ada hal yang membuatnya menjadi lebih penasaran, yaitu sikap Asih dan keanehan yang terjadi pada wanita tersebut.Dia pun mengambil ponselnya dan mencoba untuk mencari tahu penyebab perubahan sikap Asih yang sangat drastis itu.Hingga mendadak dia pun mendudukkan tubuhnya kembali setelah mengetahui bahwa Sandi menemui Asih di toko.Barra pun berpi
"Sopan? Kamu bicara soal kesopanan?" Asih pun menantang Barra, dia tak mau mengalah sama sekali.Karena menurutnya Barra menuduhnya tanpa jelas alasannya, apakah mungkin dia hanya bisa diam menerima itu semua."Ya, kamu semakin kesini semakin tidak karuan saja. Ada apa? Apa setelah bertemu dengan, Sandi?""Apa hubungannya? Tidak ada!" Asih pun menepis semua tuduhan yang diberikan oleh Barra padanya.Barra pun mencoba untuk diam, mungkin Asih demikian karena pengaruh hormon kehamilan.Barra tak ingin pertengkaran berlanjut dan malah menciptakan sebuah masalah."Kenapa diam? Apa yang aku katakan benar, makanya kamu diam, karena memang tidak punya alasan untuk mengelak lagi. Kamu, dan, Sandi bersaudara dan sama-sama bersaing mendapatkan aku. Agar merasa hebat, kamu jahat!""Aku dan Sandi memang bersaudara, tapi jangan berpikir yang tidak-tidak.""Lalu apa?" Asih pun membuang tatapan matanya, dia lebih memilih untuk melihat arah lain dari pada Barra di hadapannya.Kesal sekali rasanya, u
"Ada apa ini? Kalian bertengkar?" tanya Tias yang tiba-tiba muncul.Awalnya dia hanya melihat saja, tapi dari kejauhan sana matanya melihat Barra dan Asih yang sedang berbicara dengan wajah serius.Dirinya yang penasaran pun langsung menghampiri anak menantunya tersebut, tujuannya hanya satu.Dia tak ingin pertengkaran keduanya membuat janin di rahim Asih malah mendapatkan imbasnya.Tapi saat dia bertanya kedua orang itu hanya diam sambil melihat dirinya."Kenapa tidak menjawab, Bunda nggak mau ada pertengkaran. Karena, sebesar apapun masalahnya, akan tetap ada jalan keluarnya," tambah Tias lagi."Nggak ada masalah apa-apa, Bun, hanya saja ada orang yang marah-marah tidak jelas sebabnya apa," jelas Barra.Barra pun melihat Asih, begitu juga dengan Tias yang ikut melihat Asih juga."Enak aja, aku nggak marah-marah tidak jelas. Aku marah jelas penyebabnya!" kata Asih yang juga berusaha untuk membela dirinya."Ya, dan masalahnya kamu cemburu!" jawab Barra lagi.Asih pun hanya bisa diam s
Cinta?Apa lagi itu yang ada di benak Asih, mengapa jadi dia yang merasa tidak nyaman untuk melihat wajah Barra saja."Tapi, ngomong-ngomong soal cemburu, kata orang-orang, cemburu itu tanda cinta," lanjut Barra.Glek!Nah, kenapa kali ini Barra malah merangkak menjadi seorang cenayang?Lihat saja, dia bahkan tahu apa yang tengah di perdebatan oleh Asih dengan pikirannya sendiri.Sulit dimengerti, tapi haruskah Barra mengetahui perasaan yang ada?Tapi rasanya itu tidak perlu, sebab itu terlalu memalukan sekali bagi Asih tentunya."Istri, Mas kok diem? Tapi, tidak membantah apa yang, Mas bilang berarti benar!" kata Barra lagi."Apaansih, sok tahu!" Asih pun segera menuju kamar mandi, dia tak ingin Barra tahu tentang dirinya yang menegang karena ucapan Barra yang begitu manis.Asih pun segera mencuci wajahnya, dia melihat wajahnya dari pantulan cermin.Sesaat kemudian kembali mengingat panggilan Barra untuknya."Cantik."Ah, lagi-lagi dia berbunga-bunga karena panggilan sederhana itu.T
"Lihatlah pria itu, bahkan dia juga tidak perduli. Dia pergi begitu saja, sangat menjengkelkan!" gerutu Asih.Asih belum juga bisa meredam kemarahannya, apa lagi saat Barra memutuskan untuk pergi dengan begitu saja."Bilang aja kalau sebenarnya dia nggak sayang sama aku, nggak cinta. Dasar pria aneh!" kata Asih lagi yang kini sibuk berdebat dengan dirinya sendiri sambil memunggungi pintu.Tanpa sadar jika Barra berada di sana, dia kembali untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan di atas sofa. Sebuah laptop yang seharusnya dia bawa untuk memeriksa beberapa pekerjaan meskipun berada di dalam rumah.Namun, dia malah mendengar sesuatu yang sepertinya sangat lucu.Awalnya dia pikir sebuah pernyataan tidak perlu, karena mengingat sudah sama-sama dewasa.Bukankah perlakukan jauh lebih membuktikan?Baiklah, mungkin bagi seorang wanita seperti istrinya sedikit berbeda.Barra masih berdiri di sana, menggaruk alisnya sambil terus berpikir melihat istrinya yang sibuk berbicara sendiri menunggui d