"Sopan? Kamu bicara soal kesopanan?" Asih pun menantang Barra, dia tak mau mengalah sama sekali.Karena menurutnya Barra menuduhnya tanpa jelas alasannya, apakah mungkin dia hanya bisa diam menerima itu semua."Ya, kamu semakin kesini semakin tidak karuan saja. Ada apa? Apa setelah bertemu dengan, Sandi?""Apa hubungannya? Tidak ada!" Asih pun menepis semua tuduhan yang diberikan oleh Barra padanya.Barra pun mencoba untuk diam, mungkin Asih demikian karena pengaruh hormon kehamilan.Barra tak ingin pertengkaran berlanjut dan malah menciptakan sebuah masalah."Kenapa diam? Apa yang aku katakan benar, makanya kamu diam, karena memang tidak punya alasan untuk mengelak lagi. Kamu, dan, Sandi bersaudara dan sama-sama bersaing mendapatkan aku. Agar merasa hebat, kamu jahat!""Aku dan Sandi memang bersaudara, tapi jangan berpikir yang tidak-tidak.""Lalu apa?" Asih pun membuang tatapan matanya, dia lebih memilih untuk melihat arah lain dari pada Barra di hadapannya.Kesal sekali rasanya, u
"Ada apa ini? Kalian bertengkar?" tanya Tias yang tiba-tiba muncul.Awalnya dia hanya melihat saja, tapi dari kejauhan sana matanya melihat Barra dan Asih yang sedang berbicara dengan wajah serius.Dirinya yang penasaran pun langsung menghampiri anak menantunya tersebut, tujuannya hanya satu.Dia tak ingin pertengkaran keduanya membuat janin di rahim Asih malah mendapatkan imbasnya.Tapi saat dia bertanya kedua orang itu hanya diam sambil melihat dirinya."Kenapa tidak menjawab, Bunda nggak mau ada pertengkaran. Karena, sebesar apapun masalahnya, akan tetap ada jalan keluarnya," tambah Tias lagi."Nggak ada masalah apa-apa, Bun, hanya saja ada orang yang marah-marah tidak jelas sebabnya apa," jelas Barra.Barra pun melihat Asih, begitu juga dengan Tias yang ikut melihat Asih juga."Enak aja, aku nggak marah-marah tidak jelas. Aku marah jelas penyebabnya!" kata Asih yang juga berusaha untuk membela dirinya."Ya, dan masalahnya kamu cemburu!" jawab Barra lagi.Asih pun hanya bisa diam s
Cinta?Apa lagi itu yang ada di benak Asih, mengapa jadi dia yang merasa tidak nyaman untuk melihat wajah Barra saja."Tapi, ngomong-ngomong soal cemburu, kata orang-orang, cemburu itu tanda cinta," lanjut Barra.Glek!Nah, kenapa kali ini Barra malah merangkak menjadi seorang cenayang?Lihat saja, dia bahkan tahu apa yang tengah di perdebatan oleh Asih dengan pikirannya sendiri.Sulit dimengerti, tapi haruskah Barra mengetahui perasaan yang ada?Tapi rasanya itu tidak perlu, sebab itu terlalu memalukan sekali bagi Asih tentunya."Istri, Mas kok diem? Tapi, tidak membantah apa yang, Mas bilang berarti benar!" kata Barra lagi."Apaansih, sok tahu!" Asih pun segera menuju kamar mandi, dia tak ingin Barra tahu tentang dirinya yang menegang karena ucapan Barra yang begitu manis.Asih pun segera mencuci wajahnya, dia melihat wajahnya dari pantulan cermin.Sesaat kemudian kembali mengingat panggilan Barra untuknya."Cantik."Ah, lagi-lagi dia berbunga-bunga karena panggilan sederhana itu.T
"Lihatlah pria itu, bahkan dia juga tidak perduli. Dia pergi begitu saja, sangat menjengkelkan!" gerutu Asih.Asih belum juga bisa meredam kemarahannya, apa lagi saat Barra memutuskan untuk pergi dengan begitu saja."Bilang aja kalau sebenarnya dia nggak sayang sama aku, nggak cinta. Dasar pria aneh!" kata Asih lagi yang kini sibuk berdebat dengan dirinya sendiri sambil memunggungi pintu.Tanpa sadar jika Barra berada di sana, dia kembali untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan di atas sofa. Sebuah laptop yang seharusnya dia bawa untuk memeriksa beberapa pekerjaan meskipun berada di dalam rumah.Namun, dia malah mendengar sesuatu yang sepertinya sangat lucu.Awalnya dia pikir sebuah pernyataan tidak perlu, karena mengingat sudah sama-sama dewasa.Bukankah perlakukan jauh lebih membuktikan?Baiklah, mungkin bagi seorang wanita seperti istrinya sedikit berbeda.Barra masih berdiri di sana, menggaruk alisnya sambil terus berpikir melihat istrinya yang sibuk berbicara sendiri menunggui d
Dua jam berlalu, Asih masih saja merasa tidak tenang.Penyebabnya pun masih saja sama, yaitu Barra.Hingga kini dia pun menjadikan meja sebagai tempat untuk menopang tubuhnya.Kedua tangannya mengetuk-ngetuk meja, dan tak mengerti harus bagaimana.Mungkin bagi orang lain itu bukan masalah rumit, hanya saja berbeda dengan Asih yang sedang mengandung dan agak sensitif.Mungkin saja karena hormon tersebut hingga sulit rasanya untuk mengendalikan pikiran.Huuuufff.Asih pun menarik napas saat melihat Nilam keluar dari ruangannya."Nilam!" seru Asih yang sedang tak ingin sendiri, dia ingin di temani, itu saja."Bentar, Mbak."Nilam tetap memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut.Lagi-lagi Asih menarik napas dan itu sudah untuk yang kesekian kalinya.Satu menit, dua menit, dua puluh menit kemudian."Mbak Asih, gimana kalau kita makan? Aku lapar," kata Nilam yang kini akhirnya kembali lagi setelah beberapa saat lalu keluar.Asih pun tersentak kaget, mendengar suara Nilam yang tiba-tiba.
Sampai saat ini akhirnya Barra hanya diam, antara bingung harus melakukan apa dan juga malu karena sudah bersikap seperti orang bodoh."Kok, Mas, diem?" tanya Asih karena sampai detik ini Barra masih saja diam sambil berdiri saling berhadapan dengan Asih.Asih juga penasaran apa yang kini dipikirkan oleh seorang Barra.Yang jelas semoga saja semoga saja suaminya itu tak bersikap lebih aneh, karena Asih sudah mulai tak bisa menahan tawa karena kelucuan ini."Hehehe," Barra pun menggaruk kepalanya, untuk hal seperti ini sungguh dia sangat sulit untuk meluapkannya."Oh, ya, Mas, itu contekannya jatuh," Asih menunjuk ada sebuah kertas kecil.Asih tau kertas tersebut ada tulisannya, contekan untuk mengungkapkan sebuah kalimat cinta yang barusan keluar dari bibir Barra.Ingin rasanya Asih tertawa lebar saat ini juga karena mengingat bertapa konyolnya Barra, namun sampai detik ini pun dia masih berusaha untuk menahan diri. Sekaligus menghargai usaha suaminya itu, bagaimana pun ini tak mudah
Barra memarkirkan mobilnya sesaat sampai di kediaman majikannya, karena dia dan Asih masih harus tinggal di sana.Tentunya selain karena pekerjaan juga, karena Nia yang menginginkan mereka masih tinggal bersama Asih."Kita pulang ke sini dulu, soalnya, Mas ada pekerjaan dengan, Tuan Dion. Kamu juga masih jadi orang kepercayaan, Ibu Nia. Tentu saja kita masih harus sama-sama di sini," kata Barra sambil melihat Asih yang duduk manis di sampingnya.Asih pun tersenyum, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut."Iya, Mas. Nggak papa, kok," kata Asih."Katanya sih rumah yang bersebelahan dengan rumah, Tuan Dion itu di jual. Rencananya, Mas mau beli. Supaya kamu juga bisa tinggal di rumah sendiri. Tapi, dengan jarak yang dekat dengan, Ibu Nia. Dan, pastinya akan sangat baik," jelas Barra."Tapi, rumah itu gede banget, Mas, pasti harganya juga mahal," Asih tahu rumah yang dimaksud oleh Barra, dan menurut Asih itu rumah yang sangat besar dan mewah.Meskipun tidak sebesar rumah
Makan malam bersama keluarga sungguh hal yang sangat menyenangkan, begitu pun dengan keluarga satu ini.Apa lagi ini adalah masakan Nia dan juga Kiara, Dion yang ingin makan malam ini dengan masakan istri tercintanya yang menurutnya tidak ada yang bisa menandinginya.Selain karena memang rempah-rempah yang di racik begitu tepat, Dion juga tahu istrinya itu memasak dengan penuh cinta.Benar-benar tidak ada yang bisa menandinginya."Mas, mau makan yang mana?" tanya Nia saat suaminya sudah duduk di kursi meja makan.Dion pun melihat banyaknya makanan yang di tata di atas meja makan."Ini semuanya kamu masak sendiri?" tanya Dion."Dibantu sama, Kiara," jawab Nia."Saya cuman ikut yang di suruh, Ibu, Tuan," jelas Kiara menimpali.Urusan memasak Kiara tidak terlalu pintar, selain karena saat di rumah selalu ada Ibunya yang memasak. Dia juga sangat tidak hobi memasak.Kiara memang seorang wanita yang cerdas dan punya ambisi untuk bisa membahagiakan Ibunya, tapi tidak dengan urusan dapur."Ma