"Ternyata lucu juga mendengarkan orang polos bertemu dengan orang polos. Sama-sama manja, sama-sama lucu." Daniel terkekeh menatap istrinya yang kini berdiri di samping ranjang rumah sakit dan duduk di sana usai berhasil membujuk Violet untuk pulang."Kak Daniel sih, mana bisa mengusir Violet!" seru Frisca menatapnya sebal. "Bukan tidak bisa, Sayang. Tapi malas." Frisca meminum obatnya, ia duduk di atas ranjang dengan kedua kakinya yang kini menggantung. Gadis itu menatap Daniel dengan tatapan yang aneh. Apa yang tadi Violet katakan padanya tentang Papanya Daniel. Mungkin itu semua urusan Daniel dan keluarganya, tidak ada hubungannya dengan Frisca. "Kenapa diam saja, hem?" Daniel menatapnya lekat dan mendekat. Frisca seketika menggeleng cepat. "Tidak, tidak papa." "Kamu sendiri yang menawarkan diri menjadi temannya Violet. Siap-siap setiap hari bakal diganggu. Dia bakal setiap hari muncul di hadapan kamu," ujar Daniel mengusak pucuk kepala Frisca. "Tidak masalah. Tapi, dia jah
Pagi ini Bibi sudah gaduh mengetuk pintu kamar Frisca memekik memanggilnya berulang kali. Namun Nyonya dan Tuannya tidak cepat menjawab. Sedangkan Daniel di dalam, ia memeluk istri kecilnya yang sangat lelap di dalam dekapan hangatnya. "Tuan... Tuan Daniel, ada tamu di luar yang mencari Tuan! Tuan Daniel!" pekik Bibi meninggikan suaranya. Daniel berdecak kesal menyadari tidurnya diganggu, ia segera melepaskan pelukannya pada sang istri dan segera berjalan keluar dari dalam kamarnya. Bibi di sana menatap Daniel sambil terkekeh, ekspresi Tuannya seperti ingin berteriak. "Ada apa sih Bi... Masih pagi juga," seru Daniel menggaruk tengkuknya lehernya yang tak gatal. "Nyonya kecil sedang tidur, bisa-bisa dia ngamuk kalau Bibi keras-keras terikanya." "Ehe, maaf Tuan Daniel. Itu, anu... Di depan ada cewek yang nyari Nyonya, katanya temannya Nyonya," ujar Bibi tersenyum manis. Seketika Daniel keluar dan menutup pintu kamarnya. Laki-laki itu berjalan menuruni Anak tangga dan ia menatap
Frisca tersenyum manis melingkari salah satu tanggal spesial di kalender yang ia pegang. Hari ini, tepat tanggal dua puluh satu adalah hari yang sejak kemarin-kemarin ditunggu oleh Frisca. Hari di mana Frisca akan sibuk seharian menyiapkan sesuatu yang istimewa. "Akhirnya, hari ini datang juga!" Senyuman manis mengembang di bibir Frisca. Gadis itu berdiri tegak menata cermin di depannya. Ia sudah siap dengan dress rumah, dan rambut panjangnya yang terikat. "Bagus! Kak Daniel sudah berangkat, Bibi sudah belanja semuanya dan... Oh, lebih baik aku cek dulu." Frisca melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Di sana ia melihat Bibi yang tengah sibuk memasak. Sengaja Frisca berjalan tanpa suara, sudah ada niatan nakal dalam benaknya ingin membuat Bibi berteriak dan kaget. "Satu... Dua... Dan tig-" "Hayoo, mau kagetin Bibi, kan?!" pekik wanita itu tanpa membalikkan badannya. Helaan napas bosan lolos dari bibir Frisca. Ia berdiri di samping pembantunya dan terkikik geli. "Kok Bibi
Frisca berjalan cepat keluar dari dalam kantor milik Daniel. Tangisannya tidak bisa is hentikan begitu saja, karena pemandangan tadi sangat membuatnya kecewa. Entah tahu atau tidak, sadar atau tidak Frisca merasa kalau kini suaminya tengah mengejarnya. "Taksi... Mana taksi!" seru Frisca berhenti di depan halte. Ia tetap menangis sedih, dan mengeluarkan ponselnya. "Kak Daniel... Ke mana Kak Daniel, kenapa tidak bisa aku hubungi?!" peki Frisca kesal. Gadis itu mencari nomor siapapun di ponselnya sampai kini ia mencoba menghubungi Papanya, entah nanti akan dimarahi semacam apapun, Frisca tidak peduli. "Papa..." Gadis itu menangis lebih dulu saat panggilnya terjawab. "Loh, Frisca kenapa? Kenapa nangis, nak? Di mana Daniel?! Apa yang terjadi Frisca?!" pekik Johan, terdengar sangat cemas. "Pa, minta seseorang buat jemput Frisca," pinta gadis itu. "Nggak bisa Sayang, Papa sedang ada rapat dan..." "KENAPA SIH, SEMUA ORANG NGGAK ADA YANG NGERTI PWRASAAN FRISCA!" teriak gadis itu. Ta
"Jangan nangis, dek. Kakak tahu ini berat, tapi kamu nggak sendirian sekarang, Sayang." Dante memeluk sang adik dengan erat. Terpaksa kini ia membawa Frisca ke vila miliknya yang cukup jauh dari kota. Di sana Frisca bisa menenangkan pikirannya. Pemandangan vila yang sejak dulu sangat Frisca sukai, ia merasa tidak mau pulang kalau sudah di sana."Istirahat ya, Kakak masakin sesuatu," bujuk Dante mengusap pucuk kepala sang adik. Frisca mengangguk lemah. "Iya Kak. Tapi Kak Dante jangan pulang," pinta gadis itu melas. Dante mengembuskan napas pelan. "Kakak nggak akan pulang sebelum kamu tenang. Lagian Camelia juga sedang pulang ke rumahnya." Frisca tidak menanggapinya, melainkan ia memilih berbaring di sofa dan membiarkan Dante pergi manjauh darinya. Di vila itu memiliki banyak sekali pelayan yang nantinya akan membantu Frisca da juga Dante. Ini juga bukan pertama kalinya bagi Frisca datang ke tempat ini. 'Apa dia sekarang mencariku? Apa dia juga memikirkan aku dan memikirkan apa
Satu bulan berlalu. Frisca tidak menyangka kalau ia pergi dari Daniel selama satu bulan penuh. Sesuai dengan yang ia inginkan, kalau dirinya memang ingin menjauh sejenak dari suami tercintanya. Tidak bohong kalau Frisca tidak merindukan Daniel. Hampir setiap hari ia menanyakan kabar sang suami kepada kakaknya, Dante. "Hem, sudah satu bulan kita tidak bertemu. Apa Kak Daniel tidak merindukanku?" Frisca tersenyum tipis menatap foto pernikahan mereka. "Frisca kangen, tapi Frisca masih belum siap sakit hati lagi seperti kapan hari. Lukanya masih terasa sampai saat ini, sakitnya pun kadang terasa sama." Kembali gadis itu meletakkan figora foto di atas nakas. Frisca memperhatikan hujan di luar kamarnya. Sudah beberapa hari ini memang diguyur hujan yang cukup lebat, Frisca juga meminta pada Dante untuk selalu menjaganya. "Frisca... Kau di mana?" Suara Dante di luar kamar membuat Frisca menoleh ke belakang seketika ia bangkit dan berjalan keluar. Di sana ia melihat Dante yang membawa
"Tempat ini sangat dingin, aku tidak percaya Frisca betah tinggal di sini." Daniel memperhatikan sekita rumah dan yang jauh lebih ia perhatikan adalah tentang alam sekitar. Tempat itu jauh dari rumah ke rumah di bawah sana. Berada di pegunungan yang tinggi. Setahunya kalau Frisca sangat-sangat rentan dengan udara dingin tapi ini ia malah berada di sebuah pegunungan dan tidak dipercayai kalau dia tinggal sampai satu bulan."Bagus kan, tepatnya," ujar gadis itu tersenyum menatap Daniel. Kali ini Daniel hanya mengangguk. Beralih ia menatap wajah cantik Frisca yang nampak berbinar-binar. "Apa kau selama ini tidak merindukanku?" tanya Daniel mengusap pucuk kepala istrinya. Gadis itu tertunduk, bibirnya melengkung senyum. "Tentu saja rindu. Bagaimana mungkin aku tidak rindu," jawabnya tersenyum kecil. "Dan aku orang yang jauh lebih hancur saat kau tinggal pergi, Sayang." "Huh?" Frisca sontak menoleh. Apa yang ia lihat kini, wajah Daniel yang begitu sedih dan kecewa. Kesedihan selam
Satu bulan Frisca tidak melihat kondisi rumahnya. Dan begitu ia pulang saat ini, semuanya terasa berubah. Mulai dari beberapa kursi yang dipindahkan, sampai beberapa barang-barang kesukaan Frisca ada di mana-mana, termasuk di sofa ruang keluarga. Gadis itu meraih boneka Unicorn miliknya di sofa dan memeluknya dengan erat. Ia tahu kalau Daniel tidak akan pernah menerim tamu siapapun di rumahnya kecuali Dante dan orang-orang kepercayaannya di kantornya. "Kenapa barang-barangku ada di mana-mana?" tanya Frisca menoleh ke belakang menatap suaminya yang sibuk membawa barang-barang Frisca masuk ke dalam rumah. "Aku tidak punya sesuatu yang membuatku merasakan kehadiranmu di sampingku, selain barang-barang yang sering kau peluk. Kau tidak akan bisa digantikan oleh apapun," jawab Daniel tersenyum tipis. Frisca meremas boneka Unicorn yang ia peluk dan menatao Daniel dengan tatapan yang hangat. Begitunya Daniel menyayangi Frisca. Rasa egois yang selalu membuat Frisca merasa serba salah meng