Hari sudah pagi, Frisca bangun lebih dulu dari anak dan suaminya. Gadis itu beranjak duduk dan menahan satu lengannya memegangi lengan sang suami yang tengah tertidur. Perutnya yang sudah besar, sering kali Frisca merasa kesulitan dengan hal itu. "Sayang, sudah bangun," lirih Daniel menatap sang istri yang baru saja bangun. "Heem, perutku terasa kaku," ujar Frisca mengusap perutnya dengan pelan. "Kenap, hem? Bandel sekali Hem... Adik," bisik Daniel, laki-laki itu menundukkan kepalanya dan mengecup perut besar Frisca. Frisca menoleh ke arah Miko yang tidur di tepi, anak itu masih memeluk erat bonekanya dengan lelap dalam tidurnya. Telapak tangan Frisca mengusap-usap surai hitam rambut suaminya. "Sudahlah, ayo bangun, Sayang," ajak Frisca kini memegangi lengan sang suami dan beranjak berdiri. Dengan bantuan Daniel, Frisca pun bangkit dan berdiri di hadapan Daniel. Laki-laki itu memeluk perut sang istri dan mengusap-usapnya. Seperti yang sudah diduga-duga kalau Daniel sangat men
"Papi, Miko minta sekolah boleh nggak? Biar sama kayak anak itu!" Miko menarik-narik lengan Daniel dan menunjuk ke arah luar jendela mobil Papanya di mana banyak anak pergi bersekolah pagi ini. Daniel dan Frisca sontak menoleh ke arah luar. Memang pagi ini kebetulan mobil Daniel berhenti di depan lampu merah, hingga Miko melihat banyak anak-anak yang pergi ke sekolah. "Boleh sayang, tapi tunggu dulu ya... kan Mami sebentar lagi mau melahirkan. Miko juga masih terlalu kecil buat sekolah," ujar Daniel pada sang putra. Anak itu cemberut, namun akhirnya dia menganggukkan kepalanya. "Iya Papi, tapi janji ya kalau Miko boleh sekolah?" "Pasti boleh dong! Anak Mami pasti boleh banget sekolah. Nanti ya sayang, kalau Miko sudah satu tahun lagi, sudah besar adiknya, terus... Miko juga sudah punya pengasuh yang bisa jagain Miko," ujar Frisca mengusap pucuk kepala anaknya. "Iya Mami." Anak itu kembali menatap ke arah jalanan. Di sana, Frisca tersenyum menatap wajah antusias putranya. Selam
Daniel mengajak Miko dan Frisca makan siang bersama Dante dan juga seorang kliennya. Mereka kini tengah berada di sebuah rumah makan mewah. Di sana, Daniel begitu perhatian pada putra kecilnya, anak itu sangat baik dan juga ia sangat patuh pada apapun yang Daniel katakan. "Lohh Pak Daniel kok sudah punya anak besar, bukannya kalian menikah baru beberapa tahun saja kan? Kok punya anak segini?" tanya salah satu rekan Daniel. Daniel pun menggelengkan kepalanya saja. "Dia tetap anakku, meskipun tidak terlahir dari rahim istriku," jawab Daniel dengan nada tidak mengenakkan. Cukup tahu saja kalau ada yang menyangkut-pautkan soalan anak, ia paling sensitif dan tidak suka. "Oh maaf Pak, saya hanya ingin tahu saja." Laki-laki itu cukup peka kalau ternyata Daniel tidak semudah itu untuk mengerti perasaan orang lain. "Tidak papa, memang Miko bukan anak kandung kami. Tapi-""Oh anak angkat ya? Atau adopsi?" tanya rekan Daniel satu lagi. Miko terdiam memperhatikan dua orang yang tengah memb
"Kak, Frisca titip Miko ya, nanti Frisca sama Daniel mau antri untuk mengecekkan kandunganku, aku titip anakku ya..." Frisca mengusap pucuk kepala Miko, ia kini berada di rumah orang tuanya. Mama dan Papanya tidak ada, dan hanya ada Dante yang sedang di rumah. Laki-laki itu masih bergelung di bawah selimutnya, karena ini masih sangat pagi. Setelah berbisah dengan Camelia karena pernikahan mereka yang tidak berjalan mulus, Dante menjadi sosok yang sam seperti dulu lagi. "Kak Dante!" sentak Frisca dengan nada kesal. Miko terkikik melihat Mamanya memarahi Dante yang benar-benar membuat siapa saja kesal saat berada di sampingnya. "Om! Om Dante..." Miko pun langsung beranjak naik ke atas ranjang kamar Dante. Di sana, Miko langsung memeluk Dante dan menggelutnya. Dante memeluknya erat dan menggelitiki anak itu hingga mereka tertawa-tawa bersama. "Sudahlah Dek, tinggalkan saja ajak jelek ini di sini. Kau ke sini dengan siapa?" tanya Dante menatap sang adik. "Sama Daniel, dia sedang d
"Jalan-jalan bersama Miko rasanya seperti duda anak satu."Celetukan ringan itu keluar begitu saja dari bibir Dante. Laki-laki yang kini tengah duduk bersandar pada bangku kayu taman dan memperhatikan anak adiknya yang bermain bola bersama anak seusianya. Di sana, Dante memperhatikan anak itu yang begitu aktif. Pantas saja kalau Frisca sering mengeluh diam-diam, dia yang sedang hamil besar, dan anaknya lagi yang satu tengah aktif-aktifnya. "Om... mau itu! Mau beli itu!" pekik Miko mendekati Dante dan menunjuk ke arah sebuah pendagang es krim. "Halah... tidak usah aneh-aneh Cil, kau nanti flu aku yang akan kena bogem mentah Mamamu," seru Dante dengan santainya ia menolak. Miko mendengkus pelan. "Om Dante tidak asik! Pantas saja masih jomblo, orang pelit banget sama Miko!" seru bocah itu. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Dante, ia tidak mau malu dengan keponakannya, hingga mau tidak mau kini Dante langsung beranjak dari duduknya. Di sana Miko langsung tersenyum lebar dan
"Miko kangen Mami, kenapa Om Dante sama Oma dan Opa tidak bolehin Miko pulang?" Anak itu menatap tiga orang dewasa yang menemaninya bermain. Tiada Frisca di antar mereka, tapi ada Miko yang berhasil membuat mereka semua tertawa senang dan gembira dengan tingkah konyol anak itu. "Mami sedang butuh banyak waktu untuk istirahat, Miko tidak boleh mengganggu Mami, nanti adiknya nangis. Katanya Miko mau ketemu sama adik," ujar Tarisa mengusap rambut hitam bocah itu. "Iya Oma, Miko nanti yang akan ngajak adik main, jalan-jalan, beli es krim, beli permen kapas dan-" "Dasar Bocil titisan Frisca, makan mulu otaknya!" sinis Daniel pada bocah itu.Johan tersenyum mendengar ejekan Dante. "Ya namanya juga bocah, saat kau seusia Miko, kau juga sering menguras dompet Papa, Niel," ujar laki-laki itu. Dante langsung menyipitkan matanya. "Hah? Masak?!" "Tanya saja sama Mamamu, sampai Mamamu tidak mau pergi ke mana-mana karena kau waktu kecil itu nakal!" Hal itu membuat Miko terkikik geli, bocah i
Saat Daniel dan Frisca akan pulang benar sekali dugaan mereka berdua kalau Miko langsung menangis dan ingin ikut serta pulang bersama mereka. Anak itu tidak mengerti, padahal Daniel dan Frisca yang pulang akan kembali lagi ke rumah Mama dan Papanya. "Mami sama papi pokoknya tidak boleh pulang!" pekik Miko menangis dalam gendongan Daniel. "Setelah ini Papi akan kembali lagi sayang, tapi hanya akan mengambil baju-baju milik Mami," ujar Daniel pada anaknya. "Papi bohong!" Anak itu berteriak dan ia menghentak-hentakkan kakinya seraya menggeleng-geleng kuat. Sedangkan Frisca, ia duduk di sofa bersama kakaknya dan memperhatikan suaminya yang tengah mati-matian membujuk putra kecilnya agar mau ditinggal pulang. "Papi pulang sendirian, Sayang. Mami tetap di sini sama Miko," ujar Frisca. Miko cemberut menatap Daniel. "Janji sama Miko kalau Papi harus kembali lagi ke sini. Semua orang pamit pergi dan mereka tidak kembali lagi, itulah yang Miko rasakan setelah ditinggal mama Silvia," ujar
Hari sudah malam, Daniel kini sudah berada di rumah kedua orang tua Frisca. Laki-laki itu baru saja menidurkan Miko, anaknya yang sudah mulai aktif-aktifnya dan suka sekali berlarian ke sana dan ke sini. Untunglah kedua orang tua Frisca yang mau diajak bekerja sama menjaga Miko. Bukan hanya itu saja, mereka juga sangat menyayangi Miko. "Aku perhatikan dari tadi kamu diam saja, apa ada masalah?" tanya Frisca berjalan mendekati suaminya yang duduk di sofa depan sendirian. "Tidak ada," jawab Daniel, kini laki-laki itu menyandarkan kepalanya di pundak Frisca dan mengecup pipi gembil istrinya. Namun setelah itu Frisca malah mendorongnya. Gadis itu menatapnya dengan tatapan sengit karena dia cukup peka kalau terjadi sesuatu yang disembunyikan dengan sengaja oleh Daniel. "Kau jangan sentuh-sentuh aku kalau aku menyembunyikan sesuatu dan tidak mau berbagi denganku!" seru Frisca mengancamnya. "Jauh-jauh sana!" "Sayang...." "Ah pokoknya tidak mau!" pekik Frisca kesal. Laki-laki itu baru