"Waahh... Ternyata kantor Kak Daniel benar-benar besar. Mirip seperti punya Papa, tapi ini lebih bagus!" Frisca berdecak kagum melihat perusahaan milik Daniel. Padahal dulunya sering sekali Frisca datang ke tempat ini saat mengantarkan berkas milik Dante yang tertinggal, tapi siapa sangka kalau tempat ini adalah milik Daniel. Sementara Frisca kini berjalan tertinggal di belakang Daniel. Laki-laki itu tengah berbincang dengan salah satu orang-orangnya di dalam sana, Frisca masih berdiri di ambang pintu. Menatap banyak perubahan tentang kantor megah milik Daniel. "Emm... Maaf Pak Daniel, kalau boleh tahu dia kan Adiknya Pak Dante, bukan?" tanya salah satu karyawan Daniel menunjuk ke arah Frisca. Seketika Daniel membalikkan badannya menatap Frisca yang kini terlihat menatap seisi kantor itu. Daniel mengangguk pelan. "dia istriku." "Hah?!" pekik beberapa orang di sana yang sangat terkejut dengan pengakuan Daniel barusan. "I... Istri?!" pekik semua orang melebarkan kedua matanya. "
"Kalau kau sedang bersama Kakak, jangan galau-galau! Nanti yang ada Camelia menghajarku kalau dia tahu aku membuat galau!" Dante mengomeli Frisca seraya menata makanan di hadapan adiknya yang tengah sangat-sangat badmood. Gadis itu menatap makanan di hadapannya dengan tatapan tak selera. "Frisca sedih," ucap gadis itu murung. "Sedih terus. Kapan senengnya? Dengar Sayang, Kakak sekarang sudah menikah. Apapun yang kau rasakan pasti Kakak rasakan juga, hanya saja pernikahan Kakak tidak sebahagia pernikahanmu dengan Daniel. Kau tahu itu!" Frisca mengerutkan keningnya dan ia mulai mengambil sumpit di atas mangkuk ramen yang Dante belikan untuknya. Ia menatap Kakaknya dengan wajah lekat, Frisca sama sekali tidak paham dengan yang Dante maksud saat ini, tidak bahagia dengan pernikahannya dan merasa sangat sedih. "Maksud Kakak apa?" Polosnya Frisca bertanya. Dante tersenyum tipis. "Coba kau pikir, Kakak menikah dengan Camelia tanpa sepengetahuan siapapun. Kakak hanya memenuhi tanggung
"Dia masih tidak mau terbuka denganku," lirih Frisca duduk sendirian di ruang makan. Sesekali ia melirik suaminya yang sedang sibuk di ruangan kerjanya. Frisca sangat sedih menatap Daniel yang begitu tertutup. Rasa menyesal kembali menyeruak dalam hatinya. Frisca menutup kedua matanya dan menyembuhkan wajahnya di atas lipatan tangannya. "Kenapa tadi aku harus ikut ke kantor? Andai aku ke tempat Mama atau pulang sekalianpun, mungkin aku tidak akan merasakan perasaan ini. Menyebalkan!" umpat Frisca kesal dengan sendirinya. Helaan napas terdengar dari bibir Frisca, ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke kamarnya di lantai dua. Gadis itu melirik suaminya yang tidak menatapnya sedikitpun. 'Ayolah Frisca, cobalah untuk lebih dewasa dan lebih peka lagi.' Frisca meninggalkan tempat itu dan berjalan naik ke lantai dua. Sepeninggalnya, Daniel ternyata menatapnya dan laki-laki itu menunjukkan rasa bersalahnya. Dia dalam kamarnya, Frisca mencoba menghubungi Dante. Di setiap rasa
Frisca menggembung pipinya dan berdiri bosan di depan pintu apartemen milik Dante. Sudah dua jam lamanya ia diam di sana dan menunggu sang Kakak yang belum kunjung pulang. Sebelumnya Frisca sudah membuat janji dengan Dante, bahkan ia sembunyi-sembunyi dari Daniel. "Mana Kakak, lama sekali? Padahal hanya di bandara saja," ucap Frisca berulang kali ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Frisca kembali lagi duduk dan menyandarkan kepalanya. Ia mengambil satu bungkus permen dan memakannya untuk membuang rasa bosan. "Menunggu siapa?" tanya seorang laki-laki berjalan mendekati Frisca. Seketika Frisca berdiri menatap aneh pada orang asing tersebut. "Eum... Menunggu pemilik apartemen ini, Kakakku," jawab Frisca dengan sedikit was-was. Laki-laki itu mendekatinya dan kian dekat, ia juga menoleh ke kanan dan ke kiri melihat situasi yang sepi. "Ka-kau sendiri siapa?" Frisca gugup menatap laki-laki itu. "Ayo mampir ke apartemenku, setelah itu kita kenalan," aj
"Maafkan Mama ya Frisca, Mama baru bisa menjengukmu sekarang, kapan hari itu Mama sangat sibuk dan Miko juga sekolah." Silvia tersenyum manis pada Frisca dan wanita itu mengusap punggung tangan menantunya yang kini terbaring sakit. Senyuman manis Frisca berikan pada wanita itu, ia hanya mengangguk kecil. "Iya Ma, jangan khawatir. Frisca baik-baik saja kok." "Tapi Mama tetap saja kepikiran dan tidak bisa tenang, apalagi suamiku menghubungi Mama juga sangat mendadak." Silvia menoleh ke arah Daniel yang duduk di sofa bersama dengan Miko. Daniel hanya menoleh saja, laki-laki itu segera menurunkan Miko dari pangkuannya. Adik kecilnya berlari mendekati ranjang Frisca dan naik di sana. Anak itu hanya mau berinteraksi lebih dengan Frisca, meskipun terkesan kalau Frisca juga cukup asing untuknya. "Kak Frisca sakit apa? Panas ya?" tanya Miko meletakkan telapak tangannya di atas kening Frisca. Gadis itu seketika terkikik geli dan menggelengkan kepalanya saja. "Kakak tidak papa, Miko.
Nyatanya sampai seharian gadis bernama Violet itu masih berada di depan pintu kamar rawat inap Frisca. Daniel juga tidak mempedulikannya sama sekali, Frisca tidak tahu kenapa Daniel sampai sebenci ini, padahal dia adalah laki-laki yang baik. "Kak Daniel," panggil Frisca pada sang suami yang duduk mengupaskan apel untuknya. "Iya, Sayang?" Daniel mengangkat wajahnya. "Kenapa tidak kita bukakan saja pintunya buat Violet, kasihan dia," ujar Frisca menatapnya sedih. Daniel meletakkan piring berisi potongan apel, ia menghela napasnya panjang dan beralih menatap lekat-lekat pada Frisca. "Kalau aku bukakan pintu untuknya, tapi aku akan keluar. Aku kembali ke sini lagi malam. Mau?!" seru Daniel malah mengancam. Frisca mencebikkan bibirnya kesal. "Lagian kenapa Kak Daniel sebenci itu sama Violet. Sepertinya dia gadis yang baik." "Heem, tapi masa lalunya cukup buruk. Aku pernah dianggap sampah, dia pernah memintaku bersujud di kakinya." "Hah?!" Frisca memeluk kaget dan wajahnya syok tak
"Ternyata lucu juga mendengarkan orang polos bertemu dengan orang polos. Sama-sama manja, sama-sama lucu." Daniel terkekeh menatap istrinya yang kini berdiri di samping ranjang rumah sakit dan duduk di sana usai berhasil membujuk Violet untuk pulang."Kak Daniel sih, mana bisa mengusir Violet!" seru Frisca menatapnya sebal. "Bukan tidak bisa, Sayang. Tapi malas." Frisca meminum obatnya, ia duduk di atas ranjang dengan kedua kakinya yang kini menggantung. Gadis itu menatap Daniel dengan tatapan yang aneh. Apa yang tadi Violet katakan padanya tentang Papanya Daniel. Mungkin itu semua urusan Daniel dan keluarganya, tidak ada hubungannya dengan Frisca. "Kenapa diam saja, hem?" Daniel menatapnya lekat dan mendekat. Frisca seketika menggeleng cepat. "Tidak, tidak papa." "Kamu sendiri yang menawarkan diri menjadi temannya Violet. Siap-siap setiap hari bakal diganggu. Dia bakal setiap hari muncul di hadapan kamu," ujar Daniel mengusak pucuk kepala Frisca. "Tidak masalah. Tapi, dia jah
Pagi ini Bibi sudah gaduh mengetuk pintu kamar Frisca memekik memanggilnya berulang kali. Namun Nyonya dan Tuannya tidak cepat menjawab. Sedangkan Daniel di dalam, ia memeluk istri kecilnya yang sangat lelap di dalam dekapan hangatnya. "Tuan... Tuan Daniel, ada tamu di luar yang mencari Tuan! Tuan Daniel!" pekik Bibi meninggikan suaranya. Daniel berdecak kesal menyadari tidurnya diganggu, ia segera melepaskan pelukannya pada sang istri dan segera berjalan keluar dari dalam kamarnya. Bibi di sana menatap Daniel sambil terkekeh, ekspresi Tuannya seperti ingin berteriak. "Ada apa sih Bi... Masih pagi juga," seru Daniel menggaruk tengkuknya lehernya yang tak gatal. "Nyonya kecil sedang tidur, bisa-bisa dia ngamuk kalau Bibi keras-keras terikanya." "Ehe, maaf Tuan Daniel. Itu, anu... Di depan ada cewek yang nyari Nyonya, katanya temannya Nyonya," ujar Bibi tersenyum manis. Seketika Daniel keluar dan menutup pintu kamarnya. Laki-laki itu berjalan menuruni Anak tangga dan ia menatap