Mobil baru saja memasuki halaman parkir tampak para tamu undangan sudah membubarkan diri.
Satu persatu meninggalkan tempat itu. Tergesa Burhan masuk kedalam mencari keberadaan istrinya di setiap sudut ruangan.
Sosok wanita yang teramat dicintainya itu sudah tidak ada. Burhan menendang apa saja yang ada di hadapannya.
Dia sangat frustasi, teringat Bella yang masih bungkam dalam mobil membuat emosinya semakin membuncah.
Pintu mobil dibuka kasar, menarik Bella keluar dari mobil.
“Katakan padaku apa yang kau lakukan,” pekik Burhan.
“Ti- tidakk tahu,” isak Bella.
“Jujur,” suara Burhan semakin menggelegar.
“A- aku tidak, ta-tahu,” jawab Bella ketakutan.
“Ck, tidak tahu tapi kau menangis." Burhan semakin geram pada tingkah Bella.
Bella hanya menggeleng tubuh tersungkur tepat dihadapan Burhan.
“Hei, kau tak perlu drama. Aku tidak akan peduli padamu.” Burhan berbalik memunggungi Bella.
“Maaf, ada apa Pak. Sebaiknya jika ada masalah selesaikan di rumah saja. Kasian istri Bapak,” tegur satpam yang bertugas.
Melihat sikap Burhan yang mengacuhkan wanita yang ada di hadapannya padahal tadi baru saja dinikahi.
“Dia, dia ah-“
Burhan tidak melanjutkan ucapannya. Dia berbalik menatap Bella masih dalam posisi semula.
Burhan menarik tangan bella masuk ke dalam mobil “Puas, puas kau permalukan aku. Sebenarnya apa yang kau mau!! Dari tadi aku tanya jawaban kau tidak jelas, justru semakin menangis.” Burhan mengepal tangan jika saja yang di hadapannya ini bukan wanita, sudah dihadiahinya bogem mentah.
Aaarrrrggggg .... Teriak Burhan memukul setir mobil. Bella terkejut mendengar teriakan Burhan.
“Bukan kau saja, Bang. Aku juga sangat sedih. Kak Nana menghilang begitu saja,” desah Bella. Dia tengah mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Burhan yang terus menyalahkannya.
“Apa,” bentak Burhan menyadari tatapan tajam Bella seakan ingin menelannya hidup-hidup.
“Kau." tunjuk Burhan tepat diwajah Bella.
Burhan kehabisan cara untuk membuat Bella membuka mulut.
“Baiklah jika kau tidak akan bicara, mari kita pulang. Kau harus layani aku sekarang,” ancam Burhan, tiba-tiba dia punya ide yang akan membuat Bella bicara.
Burhan tau Bella adalah gadis yang Sholehah dan sangat menyayangi Nana. Tentu Bella tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja saat Nana tidak ada.
Burhan melajukan kendaraan dengan kecepatan penuh. Supaya cepat sampai di rumah, tidak sabar untuk membuat Bella ketakutan.
“A-apa, apa Abang sudah tidak waras,” ujar Bella gelagapan kedua tangannya sibuk menutupi dua area sensitif miliknya.
Burhan yang melihat tingkah konyol Bella dari spion tengah, menyeringai jahat.
“Siapa suruh kau bermain-main denganku. Kau bukan Nana yang sangat aku cintai. Kau hanya orang asing yang terpaksa aku nikahi demi cintaku pada Nana,” batin Burhan.
Tin.
Tin.
Tiinnnn.
Burhan menekan klakson berkali-kali.
“Lama sekali, apa yang kalian kerjakan. Mau makan gaji buta, hah,” bentak Burhan pada kedua satpam yang bertugas menjaga rumah besarnya saat pintu pagar terbuka dengan sendirinya.
“Maaf pak, tadi saya lagi makan,” jawab salah satu satpam gugup sedang yang satunya hanya menunduk.
Buru-buru Burhan turun membuka pintu bagian belakang. Mencekal tangan Bella, jaga-jaga siapa tau gadis itu akan kabur.
Burhan melempar tubuh langsing Bella pada sofa ruang tamu. Setelah pintu rumah dibuka oleh Bi Siti.
Wanita paruh baya itu ternganga melihat pemandangan depan matanya.
Bi Siti celingukan mencari keberadaan Nana. Wanita itu sangat menyayangkan Nana.
Nana besar dalam asuhannya bahkan saat kedua orang tua Nana tiada, ia masih setia merawat dan menjaga nana.
“Nana dimana Burhan,” Dia bertanya pada Burhan yang tidak menemukan sosok Nana.
“Nana menghilang, Bik,” jawab Burhan pelan.
Bagi Nana dan Burhan, Bi Siti bukan sekedar pembantu. Mereka sangat menghormatinya yang sudah seperti orang tua mereka sendiri.
“Kok bisa?” tanya Bi Siti khawatir.
“Itu lah sebabnya aku akan menghukum wanita ini. Aku yakin dia tau sesuatu tentang menghilangnya Nana,” tunjuk Burhan pada bella yang masih tersedu.
“Tidak mungkin Burhan. Bibi tau bagaimana mana Bella. Dia tidak sejahat itu," sanggah Bi Siti mendengar tuduhan sarkas Burhan.
“Tapi dia hanya diam saat aku tanya. Kalau tidak salah tidak akan dia diam. Wajah memelasnya membuat aku semakin muak. Bicaralah atau kau layani aku sekarang juga.” Burhan melangkah mendekati Bella.
“Su-sudah aku katakan. Aku tidak tahu, aarrggggg,” pekik Bella yang berusaha menjaga jarak dengan Burhan.
“A-abang gangguan jiwa,” lanjutnya lagi yang terus bergeser.
“Apa kau yang katakan. Aku tidak waras. Apa ada yang salah jika aku minta dilayani bukannya kau sudah menjadi milikku.” Burhan bertepuk tangan berjalan pelan kearah Bella.
“Hentikan, itu akan membuat dia ketakutan. Dia gadis baik-baik. Apa kamu tidak bisa melihat dia juga shock Nana pergi,” sela Bi Siti yang melihat Bella semakin terpojok.
“Urus dia bi.” pria tu naik ke lantai atas menuju kamarnya dan Nana.
Brakk ....
Bi Siti dan Bella terlonjak mendengar pintu yang ditutup kasar oleh Burhan.
“Sabarlah nak, bibik tahu kau juga tertekan. Tidak perlu bicara bila memang belum siap. Tenangkan pikiranmu percayalah Nana akan baik-baik saja. Bibi sangat mengenalnya, dia akan kembali bersama kita. Percayalah,” Bi Siti menenangkan Bella.
Mendengar kata-kata Bi Siti, Bella menghambur ke dalam pelukan wanita yang sudah seperti ibunya.
“A-aku sudah berusaha mencari Kak Nana disana Bi. Tapi, Kak Nana sudah pergi. Andai aku tahu bakal seperti ini biar Aku saja yang pergi bi,” isak Bella.
“Ini semua sudah menjadi ketentuan Tuhan nak. Jangan salahkan dirimu. Bibi sangat tahu kau gadis yang baik,” Bi Siti mengusap punggung Bella penuh kasih.“Terima kasih Bi, sudah percaya padaku. Aku tahu diri, tidak mungkin Aku menyakiti Kak Nana. Walau hanya seujung kuku. Dia telah memberikan Aku semuanya, Bi. Tidak ada yang Aku inginkan selain, selalu bersamanya. Kak Nana pulang lah. Aku takut kak,” racau Bella.“Bersihkan dirimu, jangan berpikir untuk pergi jika kamu menyayangi Nana. Bibi yakin Nana akan kembali." Bi Siti menuntun Bella kekamarnya. Kamar yang terletak di lantai satu. Bersebelahan dengan kamarnya.Rumah besar itu tidak memiliki kamar pembantu. Semua kamar berukuran sama seperti kamar utama dengan fasilitas yang sama.Nana tidak ingin membedakan antara pembantu dan dirinya. Baginya siapapun yang bekerja di rumahnya layak dihargai dan dihormati.Bukankah Dimata Tuhan semua orang sama yang membedakan hanya amal ibadah masing-masing.***Burhan mengitari bagian kamarnya.
Buru-buru Nana meninggalkan tempat itu menuju terminal. Kemarin dia hanya beruntung Burhan tidak menemukan dia.Halte itu terletak tidak begitu jauh dari tempat acara, namun letaknya berlawanan dengan arah rumah.Jika Burhan berpikir melewati jalan yang berlawanan itu sudah dipastikan dia akan menemukan Nana.Dengan menempuh perjalanan selama empat jam sampailah Nana di depan rumah mewah warna abu-abu. Nuansa Arab jelas terasa saat dia memasuki pekarangannya.Beruntung supir travel bersedia mengantar langsung ke alamat yang disebutkan Nana. Suami Zoya mempunyai pengaruh dalam dunia travel. Hampir semua supir mengenal suami Zoya.Pintu terbuka lebar saat setelah Nana menekan bel. Dari dalam rumah muncul wanita muda mengenakan kaftan dan Khimar berwarna navy.“Nana ...”Wanita itu memeluk Nana lalu membawakannya masuk kedalam. Makanan dan minuman sudah tersedia diatas meja. Seperti permintaan Nana dalam pesan semalam, untuk melakukan penyambutan untuknya.Zoya tidak banyak bicara, tampi
Jangankan mencari keluar kompleks dalam kompleks saja harapan dia tersesat sangat besar.Bella menarik nafas dalam-dalam mempersiapkan mental apa yang akan terjadi. Dia menghampiri pria yang duduk di bibir kolam renang dengan jantung yang berdetak tak karuan.“Ba-bang, aku boleh duduk disini,” tanya Bella ragu.“Hmmm ...” respon Burhan tidak menoleh sama sekali.“Aku ingin menjelaskan,” Bella duduk sedikit menjauh menjaga jarak aman takut Burhan marah dan mengamuk seperti kemarin.Bisa saja Burhan akan menceburkannya ke dalam kolam. Jadi dengan jarak seperti ini dia punya kesempatan untuk melarikan diri.“Langsung saja,” hardik Burhan membuatnya Bella terkejut dan bergeser semakin jauh.“Waktu itu sebelum akad nikah aku sudah memiliki firasat jika kak Nana akan pergi. Maka dari itu aku memintanya duduk tidak jauh dari kita. Sebelum akad aku masih sempat menoleh padanya. Dia mengacungkan jempol bahwa dia tidak apa-apa. Jika saja waktu itu kak Nana bicara bahwa tidak sanggup aku rela pe
Kejadian ini begitu cepat, pernikahan dan menghilangnya Nana. “Kamu dimana, Dik,” gumam Burhan menatap pigura pernikahannya delapan tahun lalu.Pigura yang berukuran dua meter itu sengaja Nana pajang di ruang tengah. Katanya agar selalu ingat momen detik-detik menjadi nyonya Burhan wijaya.Dengan susah payah dia mencuri perhatian dan hati Nana. Hal yang sangat mustahil seorang pegawai rendahan sepertinya bisa mempersunting pewaris tunggal perkebunan tempatnya mengais rezeki.Untuk membiayai hidup sang ibu dan adiknya. Ibunya seorang janda, sang ayah meninggal saat dia duduk dibangku SMA. Memaksanya untuk kerja serabutan demi membantu sang ibu.Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan dan memilih jadi kuli panen perkebunan. Karna kegigihannya dalam enam bulan dia diangkat menjadi mandor lapangan.Itu awal dia melihat Nana, jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika dia harus memberi laporan tiap minggunya ke kantor, yang terletak tidak jauh dari kediaman Nana.
“Jangan gitu Daffa, nanti tantenya jatuh,” tegur Zoya yang melihat putra ketiga menarik paksa tangan Nana.“Biarin Mi, supaya gabung sama kita. Cari keringat dari pada nangis-nangis teriak seperti tadi. Buat ribut aja,” bela Azzam tidak terima sang adik ditegur sang mami.Anak-anak Zoya yang bisa dikatakan nakal tetapi mereka sangat kompak jika ada yang membuat salah satu dari mereka tidak nyaman. Tentunya itu semua tidak lepas dari didikan Zoya dan sang suami yang luar biasa.Nana menyetir kuda, ingin sekali rasanya menghilang dari tempat itu sekarang juga. Tamparan keras baginya mendapat protes dari anak kecil atas tindakan konyol yang tidak bisa dikendalikan.“Yuk, sebentar saja. Dari pada diam saja. Mereka akan terus mengejek mu. Jangan ambil hati ya, Aku katakan padamu. Anak-anakku sangat aktif. Jangan sampai kamu tiba-tiba kabur karena ulah mereka,” ajak Zoya membawa Nana ketengah anak-anak.Nana sangat menikmati permainan hingga tak terasa matahari kian merangkak ke barat men
Bella terus memasukan nastar kedalam mulutnya hingga tinggal setengah toples seolah tidak terjadi apa-apa. Matanya masih fokus menatap layar datar empat puluh dua inci yang menayangkan acara tausiyah ustadz favoritnya.“Heh, berdiri kamu. Kamu tidak budek ‘kan?” Burhan menatap nyalang Bella yang masih terlihat santai, sama sekali tidak terganggu oleh ucapannya.“Woy, wanita aneh. Kamu dengar tidak,” bentak Burhan yang semakin geram.Bi Siti diam mematung tidak tahu harus berkata apa. Kali ini Burhan amat marah. Napasnya memburu, dadanya turun naik menahan amarah yang siap akan meledak.Bella meletakan toples diatas meja. Berdiri lalu jalan menuju kamar sengaja dia menyenggol bahu Burhan. Membuat darah lelaki tampan semakin mendidih.Burhan tidak jadi mengejarnya, tangan Burhan ditahan oleh bi Siti.“Istighfar, Nak. Tidak ada gunanya menyalahkan gadis itu. Bahkan Kamu usir pun dia Nana kita tidak akan kembali. Ini bukan salah dia. Apa kamu tidak bisa melihat luka di matanya? Dia juga t
“Aku belum siap, Zoy. Aku butuh waktu untuk mendamaikan hatiku.”“Maksudnya.” Alis Zoya menaut, bingung arah pembicaraan Nana.“Maaf untuk saat ini aku belum sanggup untuk berbagi cerita dengan siapapun.”“Kenapa? Suamimu menyakiti hatimu, atau dia berkhianat.”“Tidak, dia tidak pernah menyakitiku. Ah, sudah lupakan saja.” Nana mengibaskan tangannya pertanda tak ingin melanjutkan pembicaraannya.“Hmm, baiklah. Tapi, janji sebelum kamu meninggalkan rumahku. Kamu harus cerita sedikit saja ya. Siapa tahu Aku bisa membantumu.”“Aku pasti menceritakan semuanya tapi tidak sekarang. Betewe para jagoanmu kemana? Seharian ini aku tidak melihatnya. Atau aku yang lebih banyak di kamar.”Nana mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru, mencari sosok yang beberapa hari ini membuat hidupnye berwarna.“Weekend seperti ini mereka menginap dirumah ibunya mas Adam. Minggu sore baru diantar kesini.”“Yah, rumah sepi dunk.”“Begitulah, tapi tenang saja. Besok kita jalan-jalan sampai malam. Mau gak? Dari
“Buatkan Aku kopi saja,” pinta Burhan pada Bi Siti yang tengah membuat sarapan.“Kamu tidak tidur semalaman, Nak?” Bi Siti melihat lingkaran hitam disekitar mata Burhan menandakan kurang istirahat.“Iya Bi, aku memeriksa barang-barang Nana. Aku sempat menemukan fotonya bersama temannya. Sayangnya sewaktu aku membersihkan tumpahan air jadi gambarnya semakin pudar dan hilang,” cerita Burhan.“Artinya itu foto sangat lama. Apa kamu menemukan hal lain lagi,” tanya Bi Siti antusias.“Oh, iya. Dibelakangnya ada nama Nana dan Zoya,” terang Burhan.“Tunggu dulu, sepertinya Bibi mengenali nama itu,” Bi Siti berusaha mengingat siapa saja teman masa kecil Nana. Usianya yang tidak muda lagi membuatnya kesulitan mengingat semuanya.“Jangan paksakan, Bi,” tukas Burhan sembari menghisap kopi hitam yang ada di hadapannya.“Apa rencana hari ini. Kamu tidak pergi ke perkebunan,” lanjut Bi Siti yang telah selesai menghidangkan sarapan.Nasi goreng spesial Bi Siti julukan Nana pada nasi goreng buatannya.