Share

Bab 06

Buru-buru Nana meninggalkan tempat itu menuju terminal. Kemarin dia hanya beruntung Burhan tidak menemukan dia.

Halte itu terletak tidak begitu jauh dari tempat acara, namun letaknya berlawanan dengan arah rumah.

Jika Burhan berpikir melewati jalan yang berlawanan itu sudah dipastikan dia akan menemukan Nana.

Dengan menempuh perjalanan selama empat jam sampailah Nana di depan rumah mewah warna abu-abu. Nuansa Arab jelas terasa saat dia memasuki pekarangannya.

Beruntung supir travel bersedia mengantar langsung ke alamat yang disebutkan Nana. Suami Zoya mempunyai pengaruh dalam dunia travel. Hampir semua supir mengenal suami Zoya.

Pintu terbuka lebar saat setelah Nana menekan bel. Dari dalam rumah muncul wanita muda mengenakan kaftan dan Khimar berwarna navy.

“Nana ...”

Wanita itu memeluk Nana lalu membawakannya masuk kedalam. Makanan dan minuman sudah tersedia diatas meja. Seperti permintaan Nana dalam pesan semalam, untuk melakukan penyambutan untuknya.

Zoya tidak banyak bicara, tampilan Nana yang hampir mirip gelandangan tidak membuat dia bertanya apa yang menimpa sahabatnya itu.

Dari semalam Zoya sudah menerka-nerka. Nana ada dalam masalah. Dia sangat paham watak Nana. Sahabatnya itu tidak akan pergi sendiri jika hatinya tidak baik.

Zoya hanya menunggu Nana untuk menjelaskan dengan sendirinya. Dia terus memperhatikan kondisi nana yang menyedihkan.

Nana mendaratkan bokongnya pada sofa abu-abu. Menikmati hidangan yang telah tersedia. Perutnya dari siang kemarin tidak diisi. Pikiran yang kalut membuat lupa rasa lapar.

Makanan telah habis separuh. Gelas dalam genggamannya sudah kosong. Tidak sengaja ujung matanya menangkap bayangan Zoya. Tengah memperhatikannya kalap melahap makanan.

Nana tersenyum simpul pandangannya beralih pada Zoya yang berdiri kedua tangannya bersedekap di dada.

“Ups, maaf lupa,” ujar Nana menutup mulut. Merasa bersalah tanpa dipersilahkan dia sudah melahapnya.

“Emangnya berapa lama kau tidak makan. Malu aku, orang kaya kok makan kayak orang kelaparan,” ejek Zoya.

Wajah nana mendadak muram. Awan hitam yang susah payahnya disembunyikan seketika menjadi hujan deras.

Pertahanannya runtuh, bendungan yang dia jaga roboh tak tersisa. Tangisnya semakin menjadi.

“Mami, Tante itu mengapa menangis,” tanya Azzam, anak pertama Zoya. Disusul anggukan oleh keempat adiknya. Anak ketiga Zoya angkat bicara “Siapa yang meninggal Mami.”

Nana menghentikan tangisnya. Tangisannya telah membuat seisi rumah heboh. Tak terkecuali anak-anak Zoya seketika berkumpul mengelilingi Nana.

“Tidak ada apa-apa sayang tadi makanan Tante dicuri kucing liar. Waktu Tante ingin mengejar tangan Tante hampir digigit,” kilah Nana yang malu karena ulahnya menjadi tontonan mereka.

Zoya menahan tawa dan berlalu kedapur. Mengambil air minum untuk Nana yang didepan sudah tandas tidak tersisa setetes pun.

“Makanya Tante lain kali makannya jangan sendirian. Dalam rezeki kita juga ada hak makhluk lain Tan,” ujar Azim. Nana tersenyum penuh arti menatap garang pada Zoya. Dari tadi hanya diam menikmati pemandangan yang langka.

“Astaga, Aku dinasehati bocah Lima tahun,” gumam Nana menepuk wajah dengan kedua telapak tangannya.

“Jangan katakan kami bocah tante! Panggilan aku Azzam, yang itu azim, ini Daffa, yang pegang robot enzio dan paling kecil gian,” seru Azzam ternyata mendengar apa yang dilakukan nana.

 “Sudah anak-anak, naik lah ke kamar kalian. Lanjutkan apa yang kalian kerjakan tadi. Teman Mami ini mau istirahat. Dia akan tinggal beberapa hari bersama kita. Besok kalian boleh bermain dengan Tante baik hati ini,”  perintah Zoya.

“Hore.” Jawab mereka serentak naik ke lantai atas.

“Mereka nurut, ya?” tanya Nana.

“Alhamdulillah, mereka nurut dan patuh meski aktif luar biasa,” jawab Zoya.

Nana masih menatap anak-anak Zoya hingga mereka hilang di balik pintu kamar. “Kapan rumahku akan seperti ini. Semoga Bella cepat hamil. Dan malaikat kecil akan meramaikan rumah."

“Hei, melamun nanti ayam tetangga semua mati,” Zoya menepuk pundak Nana.

“Sembarangan,” cibir Nana.

“Mari, kita ke kamar tamu. Kamu harus istirahat dan bersihkan dirimu yang sangat menyedihkan itu. Gunakan pakaian yang ada dalam lemari, itu memang sengaja disediakan untuk tamu,” jelas Zoya.

“Terima kasih untuk semuanya,” ungkap Nana setelah sampai dalam kamar. Zoya hanya tersenyum jalan keluar menutup pintu kamar.

 Nana mencium aroma tubuhnya sendiri. “Bau sekali, wajar dia mengatakan Aku mirip g*landangan.”

Nana bergegas masuk kamar mandi melepas apa saya yang melekat pada tubuh langsingnya. Membuangnya di tong sampah. Dia tidak ingin menggunakan lagi.

Nana berharap kesedihannya akan sirna bersama barang yang dibuangnya sampai di tempat pembuangan akhir.

Bella menguatkan hati harus segera bicara pada Burhan semalaman Nana tidak pulang. Entah dimana Nana saat ini, Bella sudah tidak bisa menunggu lebih lama tanpa melakukan apapun.

 

“Kak Nana kau di mana? Tidak tahukah kakak aku sangat kepikiran, kalau memang mau pergi mengapa tidak mengajakku sekalian. Aku tidak betah di rumah ini jika kakak tidak ada.”

 

Bella ingin mencari sendiri namun tidak tahu harus mencari kemana. Dia tidak hafal daerah sini, selama ini dia hanya bolak balik antara rumah dan panti tidak pernah berjalan sendiri.

 

Paling kemall itu pun bersama Nana dan tidak berminat memperhatikan jalanan sekitar.

 

Nana memang tidak pernah membatasi aktivitasnya bahkan Nana selalu menyarankan untuk jalan-jalan sekedar keliling komplek. Paling tidak Bella hafal jalanan kompleks yang banyak tikungan, kurang hafal saja dia nyasar.

 

Tapi memang dasar Bella yang terbiasa berdiam diri dalam rumah keluar saat ada keperluan tidak mengindahkan anjuran Nana. Sekarang barulah dia menyesal yang buta dengan lingkungan sekitar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status