Joe kembali ke ruangannya dan melihat Clay tertunduk lesu di kursi. Dia mendengus pelan, lalu berjalan menghampiri Clay. Joe pun duduk dihadapan Clay, lalu mengusap pipinya lembut. Clay menatap Joe sendu, “Joe, apa kamu akan meninggalkanku?” “Tentu tidak, Clay. itu tidak akan pernah terjadi.” “Lalu kenapa kamu sulit sekali dihubungi? Kamu bahkan meninggalkanku untuk mengejar Rara barusan.” “Sayang, Rara sedang sedih karena baru saja kehilangan janinnya. Keadaannya belum stabil, aku harus lebih sering menemaninya.” “Apa sekarang kamu mulai mencintainya?” tanya Clay dengan mata berkaca-kaca. Joe menatap Clay sendu, dia tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan. “Joe? Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Clay sekali lagi. “Clay, berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Aku masih mencintaimu, akan selalu begitu.” Entah apa yang harus dikatakan Joe untuk menenangkan Clay. Saat ini, Joe hanya bisa memeluk dan meyakinkannya bahwa perasaan Joe tidak akan pernah berub
Joe baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Clay yang sedang memengang ponsel miliknya. “Sayang? Kamu sedang apa?” tanya Joe. “Ah, aku hanya melihat-lihat isi galerimu,” jawab Clay berbohong. “Kemari Joe, aku ingin memelukmu.” Joe tersenyum gemas, lalu memeluk kekasihnya. “Kenapa kamu manja sekali, sih?” “Kenapa? Kamu tidak menyukainya?” “Suka, kok. Aku menyukai apapun yang ada padamu.” Clay tersenyum manis, lalu menyentuh kedua pipi Joe dengan tangannya. Dia menatap mata Joe lekat, lalu mencium bibir Joe dengan sekali kecupan. Joe tersenyum senang, kemudian mulai mencium Clay. Dia mengulum bibir ranum milik kekasihnya, lalu menggendong Clay menuju kamar tanpa melepas ciumannya. Joe menidurkan Clay di ranjang, lalu menahan tubuh mungil kekasihnya di bawah kungkungannya. Dia mencium Clay dengan intens, dan mulai turun ke leher hingga dada Clay. Tanpa sadar, Clay mulai melenguh pelan. Disaat yang bersamaan, Joe mendengar ponselnya terus berdering. Joe langsung m
Dokter menjahit telapak kaki Clay yang robek, sedangkan Joe dengan sabar menenangkan Clay yang masih meringis kesakitan. Tak henti-hentinya Joe menggenggam tangan Clay dan mengusap lembut kepalanya.Setelah selesai, mereka lalu pulang ke rumah Clay. Sesampainya di sana, Joe segera menggendong Clay masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di ranjang. "Aku akan pulang sebentar untuk mandi dan mengganti pakaian. Setelah itu, aku akan kembali sebelum berangkat ke kantor dan membawakan sarapan untukmu," ujar Joe sembari mengusap halus pipi Clay. "Baiklah, Joe. Aku akan menunggu."Joe pun beranjak dan melajukan mobilnya untuk pulang. Sepanjang perjalanan, Joe sangat frustasi memikirkan tentang bagaimana dirinya akan mengurus Clay selama dia sakit. Joe tidak mungkin berkata jujur pada Rara, lalu membuatnya terluka lagi.Tak lama kemudian, Joe pun sampai di rumah. "Joe? Kamu dari mana?" tanya Rara yang melihat Joe masuk. "Ah, tadi aku sedang ada sedikit masalah. Jadi aku pergi u
“Joe tidak akan menikah, kecuali dengan Clay!” Suara pria itu memenuhi ruangan. “Coba saja menikah dengannya! Kamu tidak akan mendapat sepeserpun dari harta Papa!” “Tapi, Pa! Joe mencintai Clay. Bagaimana bisa Joe menikah dengan wanita lain?” “Cinta hanya masalah waktu, Joe. Kamu akan mencintai istrimu saat sudah menikah nanti.” Kini mama Joe mencoba meyakinkan anaknya. “Tapi, ma—“ “Tidak ada tapi! Pilihannya adalah kamu menikahi wanita lain yang jauh lebih baik, atau kamu pergi dari rumah ini!” ucap papa Joe memotong kalimat anaknya.Joe hanya bisa mendengus kesal. Mengapa Papanya tidak menyukai Clay?Joe memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan tersebut, lalu keluar dari ruang kerja Papanya. Dia pergi dan mengendarai mobilnya cukup kencang. Kepalanya sangat sakit, karena semua tekanan dari Papanya. Papa Joe hanya memberikannya waktu dua bulan untuk membawa calon istrinya. “Dua bulan? Yang benar saja! Aku mencari pendamping hidup, bukan babby sitter,” keluh Joe dalam
“Apa? Menikah? Tapi, kita bahkan belum saling mengenal,” ujar Rara kaget.Bagaimana tidak, kalimat pertama yang Joe lontarkan saat bertemu Rara hari ini adalah ajakan untuk menikah. “Kenapa kaget? Aku akan membayarmu sangat mahal! Kamu tinggal sebutkan saja angkanya. Tenang saja, aku tidak akan menyentuh tubuhmu sedikitpun,” “Joe...” suara Rara tercekat, “Jangan bercanda. Mengapa kamu seolah menganggap pernikahan adalah hal yang remeh?” “Tidak usah berbelit-belit, waktuku tidak banyak! Jangan terlalu lama berpikir dan segera hubungi aku!"Rara sangat bingung dengan perubahan sikap Joe. Sebelumnya, dia adalah orang yang sangat sopan dan ramah. Tapi, malam ini Joe sangat ketus dan terlihat meremehkan Rara. “Kita perlu saling mengenal sebelum menikah! Kita harus saling mencintai untuk mengucap janji pernikahan!” Rara pun berteriak tepat sesaat setelah Joe mulai berjalan ke mobilnya untuk meninggalkan Rara. “Cinta?! Hahaha… sudah kuduga. Kamu memang sangat polos!” balas Joe yang
“Hah?! Menikah?! Apa aku tidak salah dengar?!” suara Brian terdengar lantang, hingga membuat beberapa pengunjung restaurant menengok ke arahnya dan Rara. “Sssst! Pelankan suaramu, Brian!” ujar Rara yang kini menutup mulut Brian dengan tangannya. “Menikah dengan siapa, Ra? Kenapa aku tidak pernah tahu kamu memiliki kekasih?” “Aku menyukai seorang pria sejak lama dan kemarin dia mengajakku menikah,” Rara terpaksa berbohong, tidak ingin sahabatnya ini khawatir. “Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya padaku?” “Maaf, Brian. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.” “Baiklah. Perkenalkan aku pada pria itu.” “Ja—Jangan! Ah, maksudku, Nanti! Ya, nanti akan aku kenalkan padamu.” “Kenapa nanti?” “Nanti, saat aku sudah siap,” ucap Rara sambil tertunduk. “Aku kecewa karena kamu tidak pernah memberitahuku tentang pria itu, tapi aku ikut bahagia atas pernikahanmu.” “Terimakasih, Brian.” Rara melemparkan senyum ke arah Brian.Rara merasa lega, karena sahabatnya tidak ba
Rara sedang berada di perjalanan untuk kembali ke kota. Dia sengaja mencari jadwal Bus paling pagi, agar segera pergi dari rumah Ibunya. Nanti sore saat sampai di kota, Rara harus segera pergi ke butik untuk mencoba gaun pengantinnya.Mama mertuanya memilih untuk memesan gaun pengantin baru untuk Rara. Beliau tidak mau Rara menggunakan gaun yang sudah pernah dipakai orang lain sebelumnya. Rara sangat bersyukur, karena meskipun Joe tidak memperlakukannya dengan baik, setidaknya orang tua Joe sangat menyayangi Rara.Saat masih di perjalanan, Rara mengirimkan pesan pada Joe. Dia mengingatkan Joe untuk menemaninya ke butik. Namun, dia kembali dibuat kesal oleh balasan pesan dari Joe. [Pergi saja sendiri, jangan manja! Kamu belum menjadi istriku, jadi aku tidak harus mengantarmu! Naik taksi saja!]Rara hanya bisa menghela nafas saat membaca pesan dari Joe. Dia enggan membalas pesan dan berdebat dengan cslon suaminya. Rara memilih untuk kembali memasukkan ponselnya kedalam tas.*** “Rar
Rara menatap foto pernikahan yang tergantung di dinding rumahnya. Dia tampak bahagia dalam foto itu. Meskipun, sebenarnya kebahagiaan itu adalah sebuah kebohongan.Setelah menikah, papa mertuanya membelikan Rara dan Joe sebuah rumah yang sangat mewah. Meski mertua Rara sangat memanjakannya, dia menolak untuk diberi pembantu rumah tangga, karena tidak terbiasa untuk dilayani. Rara memilih mengerjakan semuanya sendiri.Pagi ini, Rara memasak untuk sarapan. Sepertinya, Joe menyukai masakan Rara. Dia selalu tampak lahap saat makan bersama istrinya itu. Meski begitu, dia tidak pernah sekali pun memberi kalimat pujian pada Rara. Suasana Rumah selalu dingin dan tidak pernah ada percakapan di meja makan. “Jangan menungguku malam ini, aku pasti pulang malam karena akan mampir ke rumah Clay,” ujar Joe sambil beranjak dari kursinya untuk berangkat ke kantor.Rara hanya mengangguk pasrah. Dia tidak bisa menghentikan Joe, karena Rara tahu, dia lah orang ketiga dalam hubungan ini. Rara belum pern