Rara terbangun dari tidurnya. Aroma obat-obatan dan suasana rumah sakit masih harus Rara rasakan hari ini. Dia belum diperbolehkan untuk pulang, karena dokter bilang Rara kekuarangan cairan yang membuatnya harus diinfus lebih lama.Pintu ruang inap Rara terbuka, terlihat seorang perawat yang masuk membawakan Rara sarapan. “Selamat pagi, Bu. Sarapannya segera dimakan, ya,” ucap perawat dengan ramah. “Baik, sus. Terimakasih,” Rara membalas senyumannya, lalu perawat tadi meninggalkan ruangan Rara.Tak lama, pintu kembali terbuka. Kali ini Brian yang datang. Dia bergegas menghampiri Rara, saat melihat Rara sedang berusaha meraih gelas yang terletak di nakas. “Biar aku bantu,” ucap Brian. “Terimakasih, Brian. Kamu tidak pergi ke kantor?” “Aku akan pergi ke kantor setelah memastikan kamu menghabiskan sarapanmu dan meminum obatmu.” “Aku bukan anak kecil!” seru Rara sembari berdecak kesal.Brian tertawa dan mengusap kepala Rara gemas. Brian menemani Rara makan sambil sesekal
Sudah satu minggu Joe menemani Rara. Dia benar-benar menepati janjinya, meluangkan banyak waktu untuk Rara dan mengerjakan semua pekerjaan kantornya di rumah. Bahkan, Joe membuat sekertarisnya harus mondar-mandir dari kantor ke rumah Joe, untuk menyerahkan berkas penting atau sekedar meminta tanda tangan darinya. Selama di rumah, Joe benar-benar berubah. Dia sangat perhatian pada Rara, dan mencurahkan semua waktunya untuk Rara.Hari sudah mulai petang, Rara dan Joe sedang menonton film. Rara bersandar pada bahu Joe, sementara Joe merangkul Rara. Mereka sama-sama larut pada adegan demi adegan dalam film tersebut. Tiba-tiba, ponsel Joe berdering. Terlihat Clay meneleponnya berkali-kali, namun Joe enggan menjawabnya. Joe bahkan mematikan ponselnya, kemudian kembali fokus pada film. Rara menghela nafas, dia merasa sedikit bersalah pada Clay. “Berhenti menonton, aku mengantuk,” ucap Rara sambil beranjak pergi. “Masih pukul 8, benarkah kamu sudah mengantuk?” tanya Joe yang mengikuti R
Joe kembali ke ruangannya dan melihat Clay tertunduk lesu di kursi. Dia mendengus pelan, lalu berjalan menghampiri Clay. Joe pun duduk dihadapan Clay, lalu mengusap pipinya lembut. Clay menatap Joe sendu, “Joe, apa kamu akan meninggalkanku?” “Tentu tidak, Clay. itu tidak akan pernah terjadi.” “Lalu kenapa kamu sulit sekali dihubungi? Kamu bahkan meninggalkanku untuk mengejar Rara barusan.” “Sayang, Rara sedang sedih karena baru saja kehilangan janinnya. Keadaannya belum stabil, aku harus lebih sering menemaninya.” “Apa sekarang kamu mulai mencintainya?” tanya Clay dengan mata berkaca-kaca. Joe menatap Clay sendu, dia tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan. “Joe? Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Clay sekali lagi. “Clay, berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Aku masih mencintaimu, akan selalu begitu.” Entah apa yang harus dikatakan Joe untuk menenangkan Clay. Saat ini, Joe hanya bisa memeluk dan meyakinkannya bahwa perasaan Joe tidak akan pernah berub
Joe baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Clay yang sedang memengang ponsel miliknya. “Sayang? Kamu sedang apa?” tanya Joe. “Ah, aku hanya melihat-lihat isi galerimu,” jawab Clay berbohong. “Kemari Joe, aku ingin memelukmu.” Joe tersenyum gemas, lalu memeluk kekasihnya. “Kenapa kamu manja sekali, sih?” “Kenapa? Kamu tidak menyukainya?” “Suka, kok. Aku menyukai apapun yang ada padamu.” Clay tersenyum manis, lalu menyentuh kedua pipi Joe dengan tangannya. Dia menatap mata Joe lekat, lalu mencium bibir Joe dengan sekali kecupan. Joe tersenyum senang, kemudian mulai mencium Clay. Dia mengulum bibir ranum milik kekasihnya, lalu menggendong Clay menuju kamar tanpa melepas ciumannya. Joe menidurkan Clay di ranjang, lalu menahan tubuh mungil kekasihnya di bawah kungkungannya. Dia mencium Clay dengan intens, dan mulai turun ke leher hingga dada Clay. Tanpa sadar, Clay mulai melenguh pelan. Disaat yang bersamaan, Joe mendengar ponselnya terus berdering. Joe langsung m
Dokter menjahit telapak kaki Clay yang robek, sedangkan Joe dengan sabar menenangkan Clay yang masih meringis kesakitan. Tak henti-hentinya Joe menggenggam tangan Clay dan mengusap lembut kepalanya.Setelah selesai, mereka lalu pulang ke rumah Clay. Sesampainya di sana, Joe segera menggendong Clay masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di ranjang. "Aku akan pulang sebentar untuk mandi dan mengganti pakaian. Setelah itu, aku akan kembali sebelum berangkat ke kantor dan membawakan sarapan untukmu," ujar Joe sembari mengusap halus pipi Clay. "Baiklah, Joe. Aku akan menunggu."Joe pun beranjak dan melajukan mobilnya untuk pulang. Sepanjang perjalanan, Joe sangat frustasi memikirkan tentang bagaimana dirinya akan mengurus Clay selama dia sakit. Joe tidak mungkin berkata jujur pada Rara, lalu membuatnya terluka lagi.Tak lama kemudian, Joe pun sampai di rumah. "Joe? Kamu dari mana?" tanya Rara yang melihat Joe masuk. "Ah, tadi aku sedang ada sedikit masalah. Jadi aku pergi u
“Joe tidak akan menikah, kecuali dengan Clay!” Suara pria itu memenuhi ruangan. “Coba saja menikah dengannya! Kamu tidak akan mendapat sepeserpun dari harta Papa!” “Tapi, Pa! Joe mencintai Clay. Bagaimana bisa Joe menikah dengan wanita lain?” “Cinta hanya masalah waktu, Joe. Kamu akan mencintai istrimu saat sudah menikah nanti.” Kini mama Joe mencoba meyakinkan anaknya. “Tapi, ma—“ “Tidak ada tapi! Pilihannya adalah kamu menikahi wanita lain yang jauh lebih baik, atau kamu pergi dari rumah ini!” ucap papa Joe memotong kalimat anaknya.Joe hanya bisa mendengus kesal. Mengapa Papanya tidak menyukai Clay?Joe memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan tersebut, lalu keluar dari ruang kerja Papanya. Dia pergi dan mengendarai mobilnya cukup kencang. Kepalanya sangat sakit, karena semua tekanan dari Papanya. Papa Joe hanya memberikannya waktu dua bulan untuk membawa calon istrinya. “Dua bulan? Yang benar saja! Aku mencari pendamping hidup, bukan babby sitter,” keluh Joe dalam
“Apa? Menikah? Tapi, kita bahkan belum saling mengenal,” ujar Rara kaget.Bagaimana tidak, kalimat pertama yang Joe lontarkan saat bertemu Rara hari ini adalah ajakan untuk menikah. “Kenapa kaget? Aku akan membayarmu sangat mahal! Kamu tinggal sebutkan saja angkanya. Tenang saja, aku tidak akan menyentuh tubuhmu sedikitpun,” “Joe...” suara Rara tercekat, “Jangan bercanda. Mengapa kamu seolah menganggap pernikahan adalah hal yang remeh?” “Tidak usah berbelit-belit, waktuku tidak banyak! Jangan terlalu lama berpikir dan segera hubungi aku!"Rara sangat bingung dengan perubahan sikap Joe. Sebelumnya, dia adalah orang yang sangat sopan dan ramah. Tapi, malam ini Joe sangat ketus dan terlihat meremehkan Rara. “Kita perlu saling mengenal sebelum menikah! Kita harus saling mencintai untuk mengucap janji pernikahan!” Rara pun berteriak tepat sesaat setelah Joe mulai berjalan ke mobilnya untuk meninggalkan Rara. “Cinta?! Hahaha… sudah kuduga. Kamu memang sangat polos!” balas Joe yang
“Hah?! Menikah?! Apa aku tidak salah dengar?!” suara Brian terdengar lantang, hingga membuat beberapa pengunjung restaurant menengok ke arahnya dan Rara. “Sssst! Pelankan suaramu, Brian!” ujar Rara yang kini menutup mulut Brian dengan tangannya. “Menikah dengan siapa, Ra? Kenapa aku tidak pernah tahu kamu memiliki kekasih?” “Aku menyukai seorang pria sejak lama dan kemarin dia mengajakku menikah,” Rara terpaksa berbohong, tidak ingin sahabatnya ini khawatir. “Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya padaku?” “Maaf, Brian. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.” “Baiklah. Perkenalkan aku pada pria itu.” “Ja—Jangan! Ah, maksudku, Nanti! Ya, nanti akan aku kenalkan padamu.” “Kenapa nanti?” “Nanti, saat aku sudah siap,” ucap Rara sambil tertunduk. “Aku kecewa karena kamu tidak pernah memberitahuku tentang pria itu, tapi aku ikut bahagia atas pernikahanmu.” “Terimakasih, Brian.” Rara melemparkan senyum ke arah Brian.Rara merasa lega, karena sahabatnya tidak ba