“Kenapa Mas yakin kalau dalang dari semuanya adalah orang yang sama?” tanya Syera yang masih duduk di pangkuan Tama. “Apa orang itu adalah salah satu investor yang tiba-tiba menarik dana dari perusahaan yang Mas pimpin?” “Aku hanya menebak-nebak. Entah benar atau tidak, aku juga tidak tahu. Dia tidak membatalkan kerja sama, tapi memperalat pihak lain untuk melakukan itu. Sementara, tangannya tampak bersih,” sahut Tama seraya kembali menyandarkan kepala di pundak Syera. “Alur permainannya mirip dengan saat dia mengganggu Kirana dulu. Dia membuat perusahaanku kacau hingga aku sibuk di sana dan mengabaikan keadaan di rumah. Sekarang ia melakukan itu lagi. Tapi, aku tidak sebodoh dulu sampai mengabaikan keluargaku!” imbuh lelaki itu lagi. Tama mengeratkan rengkuhannya pada perut Syera setelah mengusapnya sejenak. “Itulah kenapa aku melarang kamu pergi sendirian. Entah apa yang dia rencanakan di luar sana. Tapi, sudah pasti akan merugikan kita.” Syera spontan mengusap rambut sang suami
“Apa Mas memang selalu pamrih saat memberikan sesuatu? Bahkan, aku belum memakai barang-barang itu. Bagaimana kalau aku tidak menyukainya? Apa lebih baik aku kembalikan saja?” tanya Syera pada Tama yang kini memerangkapnya. Ia tidak marah, lebih cenderung gemas karena tingkah suaminya yang luar biasa. Pagi-pagi sekali dirinya sudah diberi kejutan yang luar biasa. Jujur saja ia sangat senang, namun tak berselang lama lelaki itu malah meminta sesuatu yang membuatnya geleng-geleng takjub. Sempat terlintas dalam benak Syera jika Tama pasti meminta sesuatu sebagai imbalan. Akan tetapi, ia tak menyangka lelaki itu akan meminta imbalan sekarang juga. Bahkan, ia baru saja bangun tidur dam belum sempat membersihkan diri sama sekali. Kepercayaan dirinya yang memang tidak pernah menyentuh 100% semakin berkurang. Sayangnya, Tama yang tampaknya sudah tidak sabaran tak memberinya jeda sama sekali. Seolah-olah tak terganggu dengan aroma-aroma tak sedap yang mungkin muncul dari tubuhnya. “Bukan pa
Nada bicara Rebecca memang halus, namun terasa menusuk tepat ke jantung Syera. Tidak ada ibu waras manapun yang sudi dipisahkan dengan darah dagingnya. Apalagi jika ada yang terang-terangan ingin menggantikan posisinya. Sekarang ia tahu jika Elena bukanlah sanak saudara Tama, melainkan seseorang yang akan bersanding dengan suaminya suatu saat nanti. Meskipun hatinya tak terima, Syera memilih diam. Mati-matian ia berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Tama saja tak pernah menyinggung persoalan itu selama ini. Dan ternyata pembahasan tersebut malah datang dari ibu mertuanya. Syera menatap Tama dan Elena yang sedang berjalan beriringan sembari bercengkrama. Kedua insan itu memang tampak sangat serasi. Terlihat seperti pasangan yang sempurna dan setara. Tidak seperti dirinya yang hanya berasal dari keluarga kalangan bawah. Bahkan, tak tahu bagaimana rupa ibu kandungnya sendiri. “Kamu dengar apa yang saya katakan tadi atau tidak?” Rebecca mengguncang lengan Syera y
“Hanya mantan kekasih ‘kan, Mbak? Masa lalu? Kenapa harus dibahas lagi?” Sebenarnya fakta ini sangat mengejutkan bagi Syera. Namun, ia berusaha tetap tenang seolah-olah tak terpengaruh dengan kata-kata wanita itu. Syera pikir Elena hanyalah wanita yang dijodohkan dengan Tama oleh Rebecca karena keduanya tampak setara. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Ternyata keduanya pernah memiliki hubungan spesial di masa lalu. Kenyataan itu berhasil menyentil relung hati Syera. Sudah jelas kedatangan wanita di hadapannya ini karena ingin kembali bersama Tama. Apalagi setelah melihat bagaimana gerak-gerik Elena, Syera yakin tidak salah menduga. “Tapi, masa lalu bisa menjadi masa depan, ‘kan?” Elena menyeringai lebar sembari bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. “3 tahun kami bersama dan itu bukan waktu yang sebentar. Aku mengenalnya jauh lebih lama dari kamu!” Syera masih mempertahankan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Elena telah berhasil menyulut emosinya dalam
“Darimana kamu bisa menyimpulkan aku cocok dengan Elena?” Mimik wajah Tama berubah tak santai. Lelaki itu mengubah posisinya menjadi duduk bersila dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Atau Mama yang mengatakan sesuatu?” Syera gelagapan. Jika dalam hal-hal seperti ini, Tama pasti dapat menebak dengan mudah. Sedangkan tentang tuduhan tak berdasar lelaki itu padanya, masih juga belum mendapat titik terang. Padahal ia merasa kata-katanya barusan tidak menjurus kemana-mana. “Tidak ada yang mengatakan apa pun. Aku hanya mengatakan pendapatku saat melihat kalian bersama. Hanya menebak-nebak, memangnya salah?” sahut Syera yang sebenarnya masih mencoba mencari jawaban lain. Sebenarnya Syera hanya ingin menanyakan mengenai perkembangan masalah yang terjadi di perusahaan Tama. Namun, ia malah keceplosan membahas tentang Elena karena suaminya lebih dulu membawa nama wanita itu. Jujur saja dirinya memang kesal karena merasa tak bisa membantu, sedangkan Elena begitu berjasa. Ditambah lag
Bentakan itu membuat Syera terkejut bukan main. Ia spontan melangkah mundur dengan mata membulat sempurna. Baru saja ia hendak menanyakan kenapa lelaki itu tiba-tiba pulang, namun dirinya lebih dulu mendapat bentakan kasar. “Maaf, Mas. Aku—” “Aku mengizinkanmu menyentuh barangku, tapi bukan berarti kamu bisa melihat semuanya!” desis Tama dengan suara tertahan. Lelaki itu menyambar amplop miliknya yang tergeletak di lantai dan sesuatu malah keluar dari lipatannya. Selembar foto berukuran kecil meluncur bebas dari dalam map tersebut. Syera mengerutkan keningnya mengetahui foto siapa itu. Faisal, paman dari mendiang Kirana. Tama yang menyadari itu langsung mengambil foto tersebut dan mengembalikan ke tempatnya. Syera tak mengerti mengapa Tama sangat panik melihat amplop tersebut di depan matanya. Ditambah lagi dengan foto Faisal yang berada di sana. Ia ingin menanyakan kejelasannya, tetapi wanita itu menyadari betapa panasnya atmosfer kali ini. Suaminya akan semakin murka jual ia beran
Tama menarik wadah salep yang Syera sembunyikan di belakang tubuh. Ketika hendak mengoleskan salep itu lagi, tak sengaja ia melihat beberapa luka lebam di kaki istrinya. “Sudah berapa lama ini terjadi? Kenaoa Kenapa kamu takut aku melihatnya?” Syera meringis pelan. Sesuai dugaannya, Tama pasti marah jika mengetahui keadaan kakinya. “Baru beberapa hari yang lalu. Kakiku hanya pegal, Mas. Aku juga tidak tahu kenapa ada lebam sekarang. Mungkin karena—” “Jangan beralasan karena cuaca dingin. Kenyataannya cuaca sekarang sangat panas! Apa pun alasannya, harusnya kamu tidak menyembunyikan hal-hal seperti ini dariku!” tegas Tama yang tampak kesal. “Kakimu lebam karena pegalnya terus dibiarkan. Kamu bisa meminta tolong, tapi kamu malah diam!” Tama mengoleskan krim tersebut dua kali lipat lebih banyak dari yang Syera lakukan. Kehangatan yang menjalari kakinya membuat pegal yang Syera rasakan mulai berkurang. Bukan hanya mengoleskan krim, Tama juga memijat betis istrinya tanpa ragu. Syera ing
Syera menatap keranjang bayi yang lengkap dengan sebuah selimut dan pakaian bayi berwarna merah muda di pangkuannya. Manik matanya memerah dan berkaca-kaca. Jika ia berkedip, sudah pasti air matanya akan menetes. Syera memeluk erat keranjang bayi berbahan rotan yang masih terlihat kokoh meski telah tersimpan puluhan tahun itu. Begitu juga dengan selimut dan pakaian yang ada di dalamnya. Warnanya tak terlihat memudar. Seolah-olah ingin menunggu sampai Syera melihatnya. Wanita itu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil sembari menghela napas panjang. Ia baru saja keluar dari restoran tempatnya bertemu dengan Aldo tadi. Setelah berusaha mempertahankan sikap tenangnya selama berada di dalam sana, nyatanya sekarang ia tak bisa berpura-pura lagi. “Hei, aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang, tapi jangan terlalu memikirkannya. Itu bisa memengaruhi kesehatan kalian.” Tama yang duduk di belakang kemudi sedikit menyerongkan tubuh ke arah Syera dan mengusap pipi wanita itu. Syer