Tama menarik wadah salep yang Syera sembunyikan di belakang tubuh. Ketika hendak mengoleskan salep itu lagi, tak sengaja ia melihat beberapa luka lebam di kaki istrinya. “Sudah berapa lama ini terjadi? Kenaoa Kenapa kamu takut aku melihatnya?” Syera meringis pelan. Sesuai dugaannya, Tama pasti marah jika mengetahui keadaan kakinya. “Baru beberapa hari yang lalu. Kakiku hanya pegal, Mas. Aku juga tidak tahu kenapa ada lebam sekarang. Mungkin karena—” “Jangan beralasan karena cuaca dingin. Kenyataannya cuaca sekarang sangat panas! Apa pun alasannya, harusnya kamu tidak menyembunyikan hal-hal seperti ini dariku!” tegas Tama yang tampak kesal. “Kakimu lebam karena pegalnya terus dibiarkan. Kamu bisa meminta tolong, tapi kamu malah diam!” Tama mengoleskan krim tersebut dua kali lipat lebih banyak dari yang Syera lakukan. Kehangatan yang menjalari kakinya membuat pegal yang Syera rasakan mulai berkurang. Bukan hanya mengoleskan krim, Tama juga memijat betis istrinya tanpa ragu. Syera ing
Syera menatap keranjang bayi yang lengkap dengan sebuah selimut dan pakaian bayi berwarna merah muda di pangkuannya. Manik matanya memerah dan berkaca-kaca. Jika ia berkedip, sudah pasti air matanya akan menetes. Syera memeluk erat keranjang bayi berbahan rotan yang masih terlihat kokoh meski telah tersimpan puluhan tahun itu. Begitu juga dengan selimut dan pakaian yang ada di dalamnya. Warnanya tak terlihat memudar. Seolah-olah ingin menunggu sampai Syera melihatnya. Wanita itu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil sembari menghela napas panjang. Ia baru saja keluar dari restoran tempatnya bertemu dengan Aldo tadi. Setelah berusaha mempertahankan sikap tenangnya selama berada di dalam sana, nyatanya sekarang ia tak bisa berpura-pura lagi. “Hei, aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang, tapi jangan terlalu memikirkannya. Itu bisa memengaruhi kesehatan kalian.” Tama yang duduk di belakang kemudi sedikit menyerongkan tubuh ke arah Syera dan mengusap pipi wanita itu. Syer
Syera spontan bersingkut mundur melihat sosok yang dikenalinya. Sekaligus menjauh dari orang yang baru saja membekap mulutnya yang kini masih meringis kesakitan. Faisal Adiwijaya berdiri beberapa meter dari tempatnya berada dengan seringai aneh. Syera tidak terlalu bodoh untuk menyimpulkan jika Faisal satu komplotan dengan lelaki muda bertubuh kekar yang membekap mulutnya. Atau lebih tepatnya, pria paruh baya itulah yang memerintah lelaki yang mengikutinya tadi. Melihat Syera yang memasang ekspresi waspada membuat seringai yang menghiasi bibir Faisal semakin lebar. “Darimu ekspresimu, seperti kamu sudah mengerti kenapa saya ada di sini, ‘kan? Saya tahu kamu tidak bodoh.”Syera kembali bergerak mundur menyadari bahaya yang berada tepat di hadapannya. Otaknya memerintah untuk berlari ke tempat yang aman, namun ia tidak ingin terlihat ketakutan dan membuat Faisal semakin menekannya. Faisal menghentikan langkah tepat di hadapan Syera dan mencengkram sebelah tangan wanita itu. “Teri
Tama berdiri di dekat itu kamarnya dengan tangan terlipat di depan dada. Memperhatikan Syera yang sedang diperiksa oleh dokter. Lelaki itu masih menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan apa yang istrinya alami di pesta semalam. Sedangkan di tempatnya, Syera sebisa mungkin menghindari bertatapan dengan Tama. Sepulang dari pesta semalam, ia berhasil membuat lelaki itu tidak bertanya macam-macam. Tetapi, bukan tidak mungkin suaminya akan kembali mendesaknya. Syera pasti membeberkan apa yang terjadi semalam, tetapi tidak sekarang. Ia tidak memiliki bukti apa pun termasuk rekaman suara untuk membongkar semuanya. Semalam dirinya terlalu bodoh dan ketakutan sendiri sampai tidak kepikiran untuk merekam suara Faisal. “Hasil pemeriksaannya bagus. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya sarankan Nyonya Syera memperbanyak istirahat saja. Jangan terlalu banyak beraktivitas berat. Ini untuk vitamin tambahannya. Kalau begitu saya permisi dulu,” tutur sang dokter sembari menyerahkan vitamin
[Aku pernah berhasil menghabisi Kirana. Bukan persoalan sulit menghabisi kalian semua. Ingatlah, tidak akan ada yang percaya padamu!]Pesan itu dikirim oleh nomor asing. Tidak ada juga nama sang pengirim di sana. Namun, Syera bisa menebak siapa pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan Faisal Adiwijaya. Seseorang yang telah menyebabkan seluruh kekacauan ini. Syera mencengkram ponselnya tanpa sadar. Ia tahu Faisal bukan hanya memberi ancaman belaka. Pria paruh baya itu akan merealisasikannya jika dirinya berani melawan. Faisal jauh lebih berbahaya dari suaminya. Kirana pasti mendapat ancaman-ancaman seperti ini juga sampai membuat wanita itu ketakutan. Entah apa salahnya sampai dirinya juga harus menerima teror yang sama. Padahal ia tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Kirana. “Kenapa kamu malah diam? Sebenarnya apa? Jangan menggantung kata-katamu. Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” desak Tama dengan mata memicing. Syera tertawa kaku. “Ya ampun, apa Mas tidak bisa berhenti be
“Kebetulan sekali kamu yang membukakan pintu. Bagaimana kabarmu?” Faisal yang melipat tangan di depan dada dan menyeringai ke arah Syera. Jemari Syera yang masih menyentuh gagang pintu gemetar tanpa bisa dicegah. Namun, sepersekian detik kemudian ekspresinya berubah. Ketakutannya berganti dengan sorot tajam dan tangan mengepal. Bak siap memberikan bogem mentah, Meski sudah jelas ia tidak akan melakukan itu. Syera tak menyangka jika tamu yang datang pagi-pagi begini adalah sosok yang sangat ia hindari. Sebelum kejadian di pesta itu terjadi, dirinya pasti akan menyambut kedatangan Faisal dengan senang hati. Namun, ia tidak akan beramah tamah lagi dengan seseorang yang tidur andil menghancurkan hidupnya. “Apa lagi yang Anda inginkan?!” desis Syera penuh penekanan. Namun, ia masih menjaga nada bicaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Faisal terkekeh pelan. “Santai saja. Saya tidak akan melakukan kejahatan di sini. Dan urusan saya dengan suamimu, bukan denganmu. Bisa kamu pa
“Bukannya tadi Mas bilang kita akan makan di luar? Kenapa malah ke sini?” sembur Syera spontan dengan alis menukik. “Aku mau pulang saja. Kalau Mas mau masuk ke sana, silakan. Aku bisa pulang naik taksi.”Syera merasa dibohongi oleh suaminya. Kalau tahu lelaki itu akan mengajaknya ke tempat ini, lebih baik ia tidak perlu ikut. Bukan karena dirinya takut bertemu Faisal atau Viandra. Tetapi, baginya mendatangi acara keluarga itu hanyalah membuang waktu. Sejak awal Syera sudah heran karena Tama malah menitipkan Elvina pada Utari bukannya mengajak bocah itu ikut serta. Padahal, biasanya Elvina selalu diajak jika mereka makan malam di luar. Ternyata Tama memang bukan mengajaknya makan di luar. Tama langsung menarik tangan Syera yang hendak membuka pintu mobil.“Tunggu dulu. Kamu tidak boleh pergi sendirian. Apa kamu tidak ingat apa yang terjadi beberapa hari lalu? Aku berjanji kita tidak akan lama-lama di sini.”Syera berdecak kesal. Justru berada di sini malah semakin berbahaya. Ini
Darah yang masih saja mengalir dari tangan Tama membuat Syera tak berhenti gemetar di tempat duduknya. Ia hampir menangis melihat suaminya terluka karena menyelamatkannya. Wanita itu bersikukuh ingin Tama dibawa ke rumah sakit, namun sang suami malah menolak dengan dalih ini hanya luka kecil. Tangan Tama memang hanya mengalami lecet karena terkena pecahan gelas yang Faisal lemparkan tadi. Namun, darah lelaki itu masih saja keluar padahal Syera sudah berusaha membersihkan dan menghentikan pendarahannya. “Mas, lebih baik kita ke rumah sakit sekarang, darahnya banyak sekali. Aku yakin lukanya pasti cukup dalam.” Syera kembali melontarkan permohonan dengan suara memelas dan mata berkaca-kaca. “Aku baik-baik saja. Biarkan aku saja yang mengobati luka ini, nanti juga darahnya akan berhenti sendiri “ Tama hendak mengambil kapas alkohol di tangan Syera, namun langsung dicegah oleh sang empunya. Meskipun dengan tangan sedikit gemetar, Syera tetap memaksakan mengobati Tama. Lelaki itu t